Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Fikih
Dosen Pembina : Norwili, M.HI
Disusun
Oleh
AHMAD
ZARKASI : 100 211 0339
ARDY YUSMINATA : 100
113 0201
HABIBAH : 130 113 0301
LILIS KARLINA : 130 113 0300
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
JURUSAN TARBIYAH PRODI FISIKA
TAHUN 1435 H / 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum Islam atau sering
juga disebut fiqih mempunyai banyak
substansi yang terdapat dalam Alquran ataupun sunnah yang salah satu
substansinya munakahat.[1]
Bidang kajian diwilayah ini sangatlah luas meliputi kajian mengenai pernikahan,
talak, maupun rujuk. Dalam Alquran dengan indah disebutkan tentang tujuan
pernikahan ini, yang terdapat dalam firman Allah SWT, yang berbunyi:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.[2]
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis memaparkan
uraian singkat tentang fiqih Munakahat : (Almuharramat) wanita-wanita
yang haram di nikahi & putusnya perkawinan (talak) dan sebab-sebabnya.
1. Siapa
saja wanita-wanita yang tergolong haram di
nikahi dalam perspektif hukum Islam ?
2. Apa yang
menyebabkan putusnya perkawinan (talak) ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Agar pembaca memahami dan mengerti wanita-wanita yang tergolong haram di nikahi perspektif hukum Islam.
2. Agar pembaca memahami dan mengerti putusnya perkawinan (talak).
D. Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya
hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi
pembahasan pada makalah ini hanya sesuai yang terdapat dalam rumusan masalah
tersebut. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal di atas tidak
penulis uraikan pada makalah ini.
E. Metodologi Penulisan
Adapun metodologi yang penulis pergunakan dalam penulisan
makalah ini yaitu dengan metode research
library dengan menggunakan buku
perpustakaan dan browsing internet
sebagai bahan referensi dimana penulis mencari
literatur yang ada kaitannya dengan makalah yang penulis buat dan kemudian
penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.
A. Wanita Yang Haram di Nikahi
Pembagian Mahram Sesuai
Klasifikasi Para Ulama Tentang siapa saja yang menjadi mahram, para ulama
membaginya menjadi dua klasifikasi besar. Pertama mahram yang bersifat abadi,
yaitu keharaman yang tetap akan terus melekat selamanya antara laki-laki dan
perempuan, apa pun yang terjadi antara keduanya. Kedua mahram yang bersifat
sementara, yaitu kemahraman yang sewaktu-waktu berubah menjadi tidak mahram,
tergantung tindakan-tindakan tertentu yang terkait dengan syariah yang terjadi.
1.
Perempuan Yang Haram di
Nikahi Untuk Selamanya (Mahram Muabbad)
Keharaman selamanya di
sebabkan oleh tiga jenis hubungan, yaitu: Hubungan nasab, hubungan menyusui (radha),
dan hubungan pernikahan (mushahara).[3]
Mengenai ketiga hal di
atas, Allah swt. Berfirman:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ/ xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3 cÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇËÌÈ[4]
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.[5]
Berikut ini rincian
masing-masing sebab di atas
a)
Pengharaman Karena Hubungan Nasab
1)
Ibu, adalah perempuan yang mengandung dan melahirkan
laki-laki tadi, hubungan antara ibu dan anak inilah yang menyebabkan adanya
ikatan mahram.
2)
Anak Perempuan, adalah anak yang dilahirkan oleh istri maupun keturunan
laki-laki tadi.
3)
Saudara Perempuan, adalah perempuan yang lahir dari orang tua yang sama,
baik dari pihak ayah dan ibu maupun dari salah satu di antara keduanya.
4)
Amah, adalah bibi dari pihak ayah, perempuan yang menjadi
saudara kandung ayah, atau saudara perempuan ayah dari keturunan salah satu
orang tua ayah.
5)
Khalah, adalah bibi dari pihak ibu, perempuan yang menjadi
saudara kandung ibu, atau saudara kandung perempuan dari keturunan salah satu
keturunan ibu.
6)
Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan), adalah anak perempuan
dari saudara laki-laki, baik anak kandung maupun anak tiri.
7)
Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan), adalah anak perempuan
dari saudara perempuan, baik anak kandung maupun anak tiri.
b) Pengharaman karena
hubungan pernikahan
1) Mertua perempuan, adalah ibu dan nenek dari istri
2)
Anak tiri, adalah anak-anak
yang di bawa oleh istri, yakni anak perempuannya istri dari hasil perkawinan
dengan suami yang pertama, hal ini apabila sudah melakukan persetubuhan dengan
istrinya, dan apabila belum di campuri, maka tidak berdosa apabila di kawini.
3)
Istri
ayah / suami ibu. Seorang laki-laki tidak
diperbolehkan untuk menikahi istri ayahnya, meskipun belum terjadi hubungan
suami istri di antara keduanya, bahkan apabila mereka telah bercerai pun, tetap
tidak diperboleh kan untuk menikahi bekas istri ayah / bekas suami ibu.
c)
Pengharaman Karena Hubungan Persusuan
1)
Ibu yang menyusui ke atas (nenek dan seterusnya) yang dimaksud adalah ibu
yang menyusui dan ibunya ibu, dari nasab maupun dari persusan.
2)
Anak perempuan yang di susui ke bawah, yaitu anak perempuan
yang di susui air susu istri yang seorang laki-laki yang sebetulnya untuk anak kandung
laki-laki itu.
3) Anak-anak
perempuan dari bapak-ibu
persusuan, yang di maksud adalah saudara-saudara perempuan persusuan, anak-anak
perempuan mereka baik karena nasab maupun menyusui.
4) Tingkat
pertama dari anak-anak kakek dan nenek persusuan. Yang di maksud adalah
saudara-saudara perempuan ayah dan
saudara-saudara perempuan ibu sepersusuan.
2.
Perempuan Yang Haram di
Nikahi Untuk Selamanya (Mahram Muaqqad)
a.
Menikahi dua perempuan yang mahram.
b.
Menikahi istri orang lain.
c.
Status pernikahan perempuan ditalak tiga.
d.
Hukum menikahi budak perempuan.
e.
Menikahi perempuan yang berzina.
f.
Menikahi perempuan yang pernah dituduh berzina.
g.
Menikahi perempuan musyrik.
h.
Menikahi perempuan ahlul kitab.
i.
Menikahi perempuan shabi’ah.
j.
Menikahi perempuan majusi.
B. Putusnya
Perkawinan (talak) dan Sebab-sebabnya
1. Perceraian
Perceraian dalam istilah ahli fiqh di
sebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan membatalkan
perjanjian, sedangkan “furqah” berarti
bercerai (lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu di pakai oleh para ahli fiqh sebagai istilah, yang berarti perceraian
antara suami istri.
Perkataan talak dalam ahli fiqh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan
arti yang khusus. Talak dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian
baik yang dijatuhkan oleh suami, yang di tetapkan oleh hakim, maupun perceraian
yang dijatuhkan dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah
seorang dari suami atau istri. Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang di jatuhkan oleh pihak suami.
Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-istri itu ada yang di
sebabkan karena talak maka selanjutnya istilah talak yang di maksud di sini
ialah talak dalam arti yang khusus.
Meskipun islam tidak menyukai
terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh di
laksanakan setiap saat yang di kehendaki. Perceraian walaupun di perbolehkan
tetapi agama islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan
dengan asas-asas hukum islam.
Adapun sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan ialah: Talak, khulu’, syiqaq, fasakh, ta’lik
talak, ila’, zhihar, li’an, dan kematian.[7]
a. Talak
Menurut bahasa talak
artinya menceraikan atau melepaskan, sedangkan menurut istilah syara’ adalah
melepaskan ikatan perkawinan yang sah atau bubarnya hubungan perkawinan.
1.
Syarat-syarat menjatuhkan talak
Seperti kita ketahui bahwa talak pada dasarnya adalah
sesuatu yang tidak di perbolehkan / di benarkan, maka untuk sahnya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. syarat-syarat itu ada pada suami, istri, dan
sighat talak.
a)
Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan
talak ialah:
1. Berakal
sehat
2. Telah
baligh
3. Tidak
karena paksaan
Para ahli fiqh
sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah dewasa /
baligh dan atas kehendak sendiri bukan terpaksa atau ada paksaan dari pihak
ketiga. Dalam menjatuhkan talak suami tersebut harus dalam keadaan berakal
sehat, apabila akalnya sedang terganggu. Misalnya: orang yang sedang mabuk atau
orang yang sedang marah tidak boleh menjatuhkan talak. Mengenai talak orang
yang sedang mabuk kebanyakan para ahli fiqh berpendapat
bahwa talaknya tidak sah, karena orang yang sedang mabuk itu dalam bertindak
adalah di luar kesadaran. Sedangkan orang yang marah kalau menjatuhkan talak
hukumnya adalah tidak sah. Yang di maksud marah di sini ialah marah yang
sedemikian rupa, sehingga apa yang di katakannya hampit-hampir di luar
kesadarannya.
b)
Syarat-syarat seorang istri supaya sah di talak
suaminya ialah:
1. Istri
telah terikat dengan perkawinaan yang sah dengan suaminya. Apabila akad
nikahnya di ragukan kesahannya, maka istri itu tidak dapat di talak oleh
suaminya.
2. Istri
harus dalam keadaan suci yang belum di campuri suaminya dalam waktu suci itu.
3. Istri
yang sedang hamil.
2.
Syarat-syarat pada sighat talak
Sighat talak ialah perkataan / ucapan yang
diuacapkn oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak pada istrinya.
Sighat talak ini ada yang di ucapkan langsung. Seperti “saya jatuhkan talak
saya satu kepadamu”. Adapula yang di ucapkan secara sindiran (kinayah),
seperti “kembalilah ke orang tuamu” atau “ engkau telah aku lepaskan dari
padaku”. Ini di nyatakan sah apabila:
a) Ucapan
suami itu di sertai niat menjatuhkan talak kepada istrinya.
b) Suami
mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talak kepada istrinya.
Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk
menjatuhkan talak kepada istrinya maka sighat talak yang demikian tadi tidak
sah hukumnya.
Mengenai saat jatuhnya talak, ada yang jatuh
pada saat suami mengucapkan sighat talak (talak “munzis”) dan ada yang jatuh setelah syarat-syaratnya
dalam sighat talak terpenuhi (talak “muallaq”)
3.
Macam-Macam Talak
a. Talak
Raj’i adalah talak, di mana suami boleh merujuk
istrinya pada waktu iddah. Talak
Raj’i ialah talak satu atau talak dua yang tidak di sertai uang ‘iwald dari pihak istri.
b. Talak
Ba’in ialah talak satu atau dua yang di sertai dua ‘iwald dari pihak istri,
talak ba’in seperti ini di sebut talak ba’in kecil. Pada talak ba’in kecil
suami tidak boleh kembali istrinya dalam masa iddah. Kalau si suami hendak
mengambil bekas istrinya kembali harus dengan perkawinan batu yaitu dengan
melaksanakan akad nikah. Di samping talak ba’in kecil, ada talak ba’in besar,
ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang telah di jatuhkan oleh suami.
Talak ba’in besar ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini
kembali istrinya baik dalam masa ‘iddah maupun sesudah masa ‘iddah habis.
Sorang suami yang mentalak ba’in besar istrinya boleh mengawini istrinya
kembali kalau telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
I.
Istrinya telah kawin dengan laki-laki lain.
II.
Istrinya telah di campuri oleh suaminya yang
baru.
III.
Istrinya telah di cerai oleh suaminya yang
baru.
IV.
Telah habis masa ‘iddahnya.
c. Talak
Sunni, ialah talak yang di jatuhkan mengikuti ketentuan Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Yang termasuk
talak sunni ialah talak yang di jatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci dan belum di campuri dan pada saat
istri sedang hamil. Sepakat
para ahli fiqh,
hukumnya talak suami adalah halal.
d. Talak
bid’i, ialah talak yang di jatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-Qur’an
maupun Sunah Rasul. Hukumnya talak bid’i ialah:
1) Talak
yang di jatuhkan pada
istri yang sedang haid atau datang bulan.
2) Talak
yang di jatuhkan pada istri yang dalam keadaan suci tetapi suaminya telah menyetubuhinya.
3) Talak
yang di jatuhkan sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak istrinya untuk selama-lamanya.
b. Khuluk
Khuluk atau tebusan ialah
bentuk perceraian atau persetujuan suami-istri dengan jatuhnya talak satu dari
suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan khuluk. Ibnu Rusyd mengatakan
khuluk adalah “Seorang wanita memberikan pengganti atas perceraiannya”.[8]
Pada intinya khuluk adalah perceraian atas inisiatif istri.
Khuluk di atur pada Pasal 1 ayat 1
dan pasal 124 UU perkawinan.229. talak (yang dapat di rujuki) dua kali.
Setelah itu boleh di rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan Hukum-Hukum Allah. Jika kamu khawatir jika keduanya (suami-istri)
tidak dapat menjalankan Hukum-Hukum Allah, maka tidak ada dosa di atas keduaya
tentang bayaran yang di berikan oleh istri untuk menebus dirinya, itulah
Hukum-Hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar Hukum-Hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk
ini ialah untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si
istri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan
cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan istri kepada suaminya di sebut dengan kata
‘iwald.
Syarat-syarat
iwald ialah:
a.
Perceraian dengan khuluk itu harus di
laksanakan dengan kerelaan atau persetujuan suami-istri.
b.
Besar kecilnya uang tebusan harus di tentukan
dengan persetujuan barsama antara suami-istri.
Apabil tidak terdapat persetujuan antara
keduanya mengenai jumlah uang penebus, Hakim pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan itu. Khuluk dapat di jatuhkan
sewaktu-waktu, tidak usah menanti istri dalam keadaan suci dan belum di campuri,
hal ini di sebabkan karena khuluk itu terjadi atas kehendak istri sendiri.
c. Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut
istilah fiqh barati
perselisihan suami-istri yang di selesaikan dua orang hakam, satu orang dari
pihak suami dan yang satu orang dari pihak istri.
Menurut
Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh di angkat
menjadi hakam adalah sebagai berikut:
a.
Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.
b.
Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan
suami-istri itu.
c.
Kedua hakam itu di segani oleh kedua pihak
suami-istri.
d.
Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/di
rugikan apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.[9]
d. Fasakh
Secara bahasa fasakh
adalah membatalkan. Adapun secara terminologis, Professor Amir Syarifuddin
mengatakan fasakh adalah membatalkan atau merusak perkawinan.[10]
Ini
berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu
pihak oleh hakim pengadilan Agama. Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah istri.
Adapun alasan-alsan yang di perbolehkan seorang
istri menuntut fasakh di pengadilan:
a.
Suami sakit gila.
b.
Suami menderita penyakit menular yang tidak
dapat di harapkan dapat sembuh.
c.
Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan
untuk melakukan hubungan kelamin.
d.
Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi
nafkah pada istrinya.
e.
Istri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan
atau kedudukan suami.
f.
Suami pergi tanpa di ketahui tempat tinggalnya
dan tanpa berita, sehingga tidak di ketahui hidup atau mati dan waktunya sudah
cukup lama.
e. Taklik
Talak
Arti daripada taklik ialah
menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak ialah suatu talak yang di gantungkan pada suatu hal
yang mungkin terjadi yang telah di sebutkan dalam suatu perjanjian yang telah
di perjanjikan terlebih dahulu.
Di Indonesia pembacaan ta’lik talak di lakukan
oleh suami setelah akad nikah. Adapun sighat ta’lik talak yang tercantum dalam
buku nikah dari Departemen Agama adalah sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
a. Meninggalkan
istri saya tersebut enam bulan berturut-turut;
b. Atau
saya tidak memberi nafkah
wajib kepadanya tiga bulan lamanya;
c. Atau
saya menyakiti badan jasmani istri saya itu;
d. Atau
saya membiarkan / tidak memperdulikan istri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian istri saya tidak rela dan mengadukan
halnya kepada pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan
itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas
tersebut dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp……. Sebagai ‘iwald
(pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada
pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwald
(pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.
Talak satu yang di jatuhkan suami berdasarkan
ta’lik, mengakibatkan hak talak suami tinggal dua
kali, apabila keduanya kembali melakukan perkawinan lagi.
Apabila kita perhatikan jatuhnya talak dengan
ta’lik ini hampir sama dengan khuluk, sebab sama-sama di sertai uang ‘iwald
dari pihak istri. Sehingga talak yang di jatuhkan atas dasar ta’lik dianggap
sebagai talak ba’in, suami boleh mengambil istrinya kembali dengan jalan
melaksanakan akad nikah
baru.
f. Ila’
Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu
pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’mempunyai arti
khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni seorang suami bersumpah
untuk tidak menggauli
istrinya,[11]
waktunya tidak di tentukan dan selama itu istri tidak ditalak ataupun di
ceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita
adalah pihak istri karena keadaannya terkatung-katung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan
Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat
di peroleh ketentuan bahwa:
a.
Suami yang meng ila’ istrinya batasnya paling lama hanya antara empat bulan.
b.
Kalau batas waktu itu habis maka suami harus
kembali hidup sebagai suami-istri atau mentalaknya.
Bila
sampai batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum mentalak istrinya atau
meneruskan hubungan suami-istri, maka menurut imam Abu Hanifah suami yang diam
saja itu di anggap telah jatuh talaknya satu kepada istrinya.
Apabila
suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan istrinya, hendaklah ia menebus
sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam
hukum islam, yaitu:
a.
Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan
yang wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
b.
Memberikan pakaian untuk sepuluh orang miskin,
c.
Memerdekakan seorang budak,
d.
Kamu tidak sanggup juga maka, hendaklah kamu
berpuasa tiga hari,
Pembayaran
kafarah ini pun juga harus dilakukan apabila suami mentalak istrinya dan merujuknya
kembali pada masa ‘iddah atau dalam perkawinan baru setelah masa ‘iddah habis.[12]
g. Zhihar
Zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa
istrinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu
berarti suami telah menceraikan istrinya. Masa tenggang serta akibat zhihar
sama dengan ila’. Ketentuan mngenai zhihar ini di atur dalam Al-Qur’an surat
surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:
a.
Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi
orang Arab yang artinya suatu keadaan dimana seorang suami bersumpah bahwa bagi
istrinya itu sama dengan punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan
mencampuri istrinya lagi.
b.
Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar,
yang tidak di senangi oleh Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan
paksa.
c.
Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-istri. Kalau
hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar
kafarahnya lebih dulu.
d.
Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu
perbuatan di bawah ini dengan
berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni,
·
Memerdekakan seorang budak , atau
·
Puasa dua bulan berturut-turut, atau
·
Memberi makan
60 orang miskin.
h. Li’an
Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di
dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat tuhan apabila yang
mengucapkan sumpah itu berdusta.
Akibatnya ialah putusnya
perkawinan antara suami-istri untuk selama-lamanya.
Proses pelaksanaan perceraian karena li’an di
atur dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 6-9, sebagai
berikut:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3t öNçl°; âä!#ypkà HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/ ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 úüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ èp|¡ÏJ»sø:$#ur ¨br& |MuZ÷ès9 «!$# Ïmøn=tã bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÎ/É»s3ø9$# ÇÐÈ (#ätuôtur $pk÷]tã z>#xyèø9$# br& ypkô¶s? yìt/ör& ¤Nºy»pky «!$$Î/ ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 úüÎ/É»s3ø9$# ÇÑÈ sp|¡ÏJ»sø:$#ur ¨br& |=Òxî «!$# !$pkön=tæ bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÒÈ
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh isterinya
(berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar dan
(sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang
yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya
empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk
orang-orang yang dusta dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya
jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.[13]
Suami yang menuduh istrinya berzina harus
mengajukan saksi yang cukup yang turut menyaksikan perbuatan penyelewengan
tersebut
a.
Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya
ia tidak terkena hukuman menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali.
Empat kali dari sumpah itu ia menyatakan bahwa tuduhannnya benar, dan sumpah
kelima menyatakan bahwa ia sanggup menerima laknat Tuhan apabila tuduhannya tidak benar ( dusta ).
b.
Untuk membebaskan diri dari tuduhan si istri
juga harus bersumpah lima kali. Empat kali ia menyatakan tidak bersalah dan
yang kelima ia menyatakan sanggup menerima laknat tuhan apabila ia bersalah dan
tuduhan suaminya benar.
c.
Akibat dari sumpah ini istri telah terbebas
dari tuduhan dan ancaman hukuman, namun hubungan perkawinan menjadi putus untuk
selama-lamanya.[14]
i.
Kematian
Putusnya
perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau istri. Dengan
kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan
yang meninggal.
Walaupun dengan kematian suami tidak
dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi istri yang kematian
suami tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si
istri harus menunggu masa idahnya habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Wanita
yang haram di nikahi
Tidak
semua wanita muslimah itu dapat dijadikan istri, namun ada sebagian wanita yang
haram untuk di nikahi ( di peristri). Terbagi menjadi dua, yaitu keharaman untuk dinikahi
selamanya dan sementara.
Keharaman selamanya disebabkan oleh tiga jenis
hubungan,yaitu:
a. hubungan
nasab, yaitu hubungan yang timbul karena kelahiran
b. hubungan
menyusui (radha), yaitu hubungan yang timbul karena wanita menyusui seseorang
yang bukan anaknya sendiri
c. hubungan
pernikahan (mushahara), yaitu hubungan yang timbul adanya pernikahan.
2. Putusnya
Tali Perkawinan dan Sebab-sebab nya
Yang menjadi putusnya perkawinan ialah:
a.
Talak
b.
Khulu’
c.
Syiqaq
d.
Fasakh
e.
Ta’lik talak
f.
Ila’
g.
Zhihar
h.
Li’aan
i.
Kematian.
B. SARAN
Kami penulis
mengakui bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kesempurnaan, masih
banyak kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca, untuk perbaikan makalah kami, agar menjadi lebih baik dari
yang sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
a.
Buku
Ash Shabuni,
Muhammad Ali, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, diterjemahkan
oleh Mu’amal Hamidy dan Imron A.Manan, Surabaya: Bina Ilmu Offset, 2008.
Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh, Jilid I, Jakarta : Prenada
Media, 2003.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta : Mahkota Surabaya, 1989.
Husein
Bahreisj, Pedoman Fiqih Islam, Surabaya, Al-Iklas, 1986.
Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Labih,
mz &Muflihah, Fiqih Wanita Muslimah, Surabaya, Tiga Dua,1998.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih
lima mazhab, Jakarta : Lenterabasritamo, tt.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006.
Zakiyah,Ilmu Fiqih, Dana sakti,Yogyakarta,1945.
Zuhaili,
Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i, Jakarta: Almahira, 2010.
b.
Internet
Http://freeblogpanen.blogspot.com/2010/03/putusnya-perkawinan.html (di akses pada tanggal 15 Maret 2014)
Http://naniharyati.blogspot.com/2012/03/blog-post_17.html (di akses pada tanggal 13 Maret 2014 pukul 22.00
WIB.)
[1]Dalam hal substansi-substansi fiqh atau hukum Islam, para ulama-ulama kontemporer
berbeda pendapat dalam pembagian substansi fiqh. Mochtar Naim berpendapat bahwa
fiqh atau hukum Islam terbagi menjadi
ibadah, keluarga, muamalah, jinayah, jihad, dan
kenegaraan. Adapun Djazuli berpendapat bahwa substansi fiqh antara lain,
ibadah, munakahat, mawarits, muamalah, Jinayah, dan Siyasah. Namun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa fiqh
munakahat atau perkawinan merupakan salah satu substansi fiqh yang sangat perlu dikaji.
Lihat Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh, Jilid I, Jakarta : Prenada
Media, 2003, h. 348.
[3]Labih, mz &Muflihah, Fiqih Wanita Muslimah,
Surabaya: Tiga Dua,1998, h. 222-223.
[4]Q. S. An-Nisa [4] : 23.
[5]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta : Mahkota Surabaya, 1989, hlm. 71.
[6]Ibid.
[7] Http://freeblogpanen.blogspot.com/2010/03/putusnya-perkawinan.html (di akses pada tanggal 15 Maret 2014)
[8]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007, h. 133.
[9] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih
lima mazhab, Jakarta : Lenterabasritamo, h.441-442.
[10]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006,
h. 189.
[11]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, . . .h.
196.
[12] Husein Bahreisj, Pedoman
Fiqih Islam, Surabaya, Al-Iklas, 1986, h. 235-240.
[13]Pokok kandungan
ayat Q.S An-Nur: 6-13 ini adalah apabila seorang suami yang mendapati
istrinya atau menuduh istrinya berzina
maka harus mendatangkan empat orang saksi. Sedangkan apabila tidak dapat
mendatangkan empat orang saksi, maka bagi suami istri tersebut diwajibkan untuk
bersumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah dan yang sumpah
terakhir berbunyi: “Sesungguhnya laknat Allah atas kamu apabila kamu
termasuk orang yang berdusta”. Lihat: Muhammad Ali Ash Shabuni, Terjemahan
Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, diterjemahkan oleh Mu’amal Hamidy dan Imron
A.Manan, Surabaya: Bina Ilmu Offset, 2008, h. 572.
[14] Http://naniharyati.blogspot.com/2012/03/blog-post_17.html (di akses tanggal 13 Maret 2014 pukul 22.00 WIB.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar