Makalah kelompok IX
TASAWUF FALSAFI
Pemikiran Ibn Arabi dan Al-Jilli
Disusun
untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah :
Akhlak Tasawuf
Dosen : Dr. H. Khairil
Anwar. M.Ag
Disusun Oleh
TURIHAN
NIM. 130 211 0428
NORHASANAH
NIM. 130 211 0407
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI
AHWAL AL
SYAKHSHIYYAH
TAHUN
2014 M / 1435 H
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji
dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nyalah
sehingga makalah dengan judul “ Pemikiran
Ibn. Arabi dan Al-Jilli “ ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Akhlak Tasawuf, guna lebih mengetahui dan memahami Wahdatul Wujud Ibnu Arabi
dan Insan Kamil Al-Jilli. Kami berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat
memudahkan kita semua untuk lebih memahami apa itu Wahdatul Wujud dan
Al-Hallaj.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi
penulisan, susunan kata, kerapian dan Isi. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi
makalah ini untuk kedapannya.
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Palangka Raya, Februari 2014
Tim
|
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................................
ii
DAFTAR ISI............................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...............................................................................................
1
B.
Rumusan
Masalah..........................................................................................
1
C.
Tujuan
Penulisan............................................................................................
1
D.
Metode
Penulisan..........................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wahdatul Wujud menurut Ibn Arabi...........................................
3
B.
Pengertian
Insan Kamil menurut Al-Jilli........................................................
5
C.
Perbedaan
Paham Wahdatul Wujud dan Insan Kamil..................................
6
D.
Relevansi
Paham Wahdatul Wujud dan Insan Kamil....................................
6
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan....................................................................................................
8
B.
Kritik
dan Saran.............................................................................................
8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 9
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Tasawuf
falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (Ma’rifat)
dengan pendekatan rasio (filsafat) menuju ke tingkat tinggi, dan itu bukan
hanya mengenal tuhan saja (ma’rifatullah), melainkan kesatuan wujud (Wahdatul
Wujud). Tasawuf falsafi juga bisa di katakan sebagi tasawuf yang kaya dengan
pemikiran-pemikiran orang filsafat. Lahirnya tasawuf falsafi ini di mulai dari
asal mula pemahaman tasawuf yang bermacam-macam, sehingga banyak yang mencari
tahu untuk mengungkapkan pertama kali ajaran tasawuf tersebut.
Berkembangnya tasawuf membuat orang-orng
sufi menyingkap arti dari tasawuf falsafi itu seperti halnya Ibnu Al-Arabi,
seorang sufi ayng berpendapat bahwa proses segala sesuatu itu berasal dari yang
satu, yaitu kesatuan eksistensial (Wihdatul Wujud). Dan begitu juaga al-jilli
yangmengemukakan knsep tentang Insan Kamil. Yang diartikan sebgai manusia sempurna.
Adapun perbandingan ataupun perbedaan dari kedua paham tersebut akan di
bahas pada makalah ini dengan rumusan masalah sebagai berikut.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan wahdatul Wujud menurut Ibn. Arabi ?
2. Apa
yang dimaksud dengan Insan Kamil menurut Al-Jilli ?
3. Apa
perbedaan antar kedua paham Ibn. Arabi dan Al-Jilli ?
4. Bagaimana
relevansi kedua paham tersebut dalam konteks sekarang ini ?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian Wahdatul Wujud menurut Ibn. Arabi.
2. Untuk
mengetahui pengertian Insan Kamil menurut Al-Jilli.
3. Untuk
mengetahui perbedaan antar kedua paham Ibn. Arabi dan Al-Jilli.
4. Untuk
mengetahui bagaimana relevansi kedua paham Ibn. Arabi dan Al-Jilli dalam
konteks sekarang ini.
|
D.
|
Adapun metode yang kami gunakan dalam pembuatan makalah sederhana
ini yaitu:
1.
Metode
kepustakaan (Library Research),
2.
Metode
penelusuran internet (Web Search).
BAB
II
PEMBAHASAN
Tasawuf Falsafi ialah tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dengan visi rasional. Berbeda
dengan Tasawuf Akhlaki/amali yang masih berada dalam Tasawuf Sunni sebagaimana
tasawufnya ghazali, tasawuf Falsafi sering kali menggunakan terminologi
filsafat dalam pengungkapan ajarannya. Terminologi filsafat tersebut berasal
dari berbagai macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi para tokoh Tasawuf
Falsafi.[1]
Salah satu tokoh tasawuf falsafi ialah
Muhyiddin ibn Arabi ibn Ali (lahir di Murcia, Spanyol th.1165). Ibn Arabi
berasal dari suku al-Taiy, satu rumpun Arab al-Hatimi yang pada umumnya terdiri
dari keluarga-keluarga shaleh. Setelah menyelesaikan studinya di Seville, ia
pindah ke Tunisia di tahun 1202 M. Ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus
di tahun 1240 M.[2]
A.
Pengertian
Wahdatul wujud Menurut Ibn Arabi
Sebagai pokok persoalan, wahdatul wujud
adalah yang sebenarnya berhak mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan dan
wujud selain Tuhan adalah wujud bayangan. Pemikiran filsafat demikian
berkembang dan membias pada konsep insan kamil. Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat
disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah
menegakkan fahamnya dengan berdasarkan renungan pikir, filsafat, dan zauq
tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit
dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam
sebagaimana dialami al-Hallaj.[3]
|
|
Ringkasnya dalam tasawuf Ibn Arabi yang
bersatu dengan Tuhan bukan hanya manusia tetapi semua makhluk. Semuanya
mempunyai wujud yang satu dengan Tuhan. Selain itu, menurutnya paham
tasawufnya, Tuhan ingin melihat diri-nya dari luar diri-Nya maka dijadikan-Nya
alam.
Paham wahdatul wujud ini merupakan
perluasan dari paham hulul. Dikatakan demikian paham ini sebagai perluasan
darikonsepsi al-hulul adalah karena nasut yang ada dalam hulul ia ganti dengan
Khalq (makhluk), sedangkan lahut menjadi al-Haqq (Tuhan). Khalq dan al-haqq
adalah dua sisi bagi segala sesuatu, dua aspek yang ada pada segala sesuatu.
Aspek lahirnya disebut Khalq dan aspek yang sebelah batinnya disebut al-Haqq. Dengan
demikian segala sesuatu yang ada ini mengandung aspek lahir dan aspek batin
atau terdiri dari ard dan jauhar. Aspek
Khalq atau aspek luar memiliki sifat kemakhlukan atau nasut sedangkan
aspek batin atau al-Haqq memiliki sifat ke Tuhanan atau lahut. Tetapi aspek
yang terpenting adalah aspek batinnya atau aspek al-Haqq dan aspek ini yang
merupakan hakikat/esensi dari tiap-tiap yang wujud. Dari uraian tersebut sangat
jelas sekali bahwa Ibn arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam, wujud
Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi terkesan
menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain ia menyucikan Tuhan dari adanya
persamaan.[5]
B.
|
Insan kamil berasal dari bahasa Arab,
yaitu terdiri dari dua kata: Insan
dan Kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan Kamil berarti yang sempurna. Dengan
demikian, insan kamil yaitu manusia
yang sempurna.[6]
Insan Kamil juga berarti manusia yang
sehat dan terbina potensi rohaniyahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal
dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar
menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniyah itulah yang diharapkan
dari manusia Insan Kamil. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat
hidupnya didunia dan akhirat.[7]
Al Jilli adalah tokoh yang mengemukakan paham tentang “Insan Kamil”. Nama
lengkapnya ialah ’Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ’Abd al-Karim ibn Khalifah ibn
Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Namanya dinisbatkan dengan Al-jili karena ia berasal
dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher mengatakan, penisbatan itu bukan pada Jilan,
tetapi pada nama sebuah desa dalam distrik Bagdad
”jil’. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad. Al-Jilli
kecil dididik dengan penuh disiplin oleh ayahandanya. Menginjak masa remaja –
ketika Bagdad dikuasai pasukan Mongol – ia dan keluarganya hijrah ke Zabid di
Yaman. Disinilah ia belajar agama secara intensif, antara lain ia berguru
kepada Syekh Syarafuddin Ismail ibnu Ibrahim Al-Jabarti (W. 806 H). Belakangan
ia juga belajar kepada seorang sufi besar di Hindukusy, India, pada 709 H, tapi
tidak ada catatan berapa lama ia tinggal di India.[8]
Ia hanya menceritakan beberapa pengalamannya, antara lain ketika
berkenalan dengan tokoh-tokoh tarekat, terutama tarekat Naqsyabandiyah,
Khistiyah, dan Syuhrawardiyah. Perjalanannya ke Parsi (kini Iran) untuk bertemu
dengan beberapa guru sufi
di sana. Seperti halnya para sufi besar lainnya, ia juga menulis kitab tasawuf. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail, buku ini adalah bukunya yang paling poluler. Karya ini tersebar
di Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, beberapa kali diterbitkan maktabah shabihy
dan mushthafa al-Bab al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.[9]
|
C.
Perbedaan
Paham Wahdatul Wujud dan Insan Kamil
Sebenarnya wahdatul wujud mempunyai
pemahaman yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk ditangkap, untunglah Ibnu
Arabi selaku pencetus paham ini mengilustrasikan wahdatul wujud dengan sangat
jelas tentang hubungan tuhan dan alam dalam konsep keastuan wujud. Dalam
tasawwuf ibnu arabi bukan hanya manusia saja yang menyatu dengan tuhan akan
tetapi seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Tuhan di sini bukan
dalam artian esensi akan tetapi sifat-sifatNya yang indah.
Sedangkan Insan Kamil menjelaskan
tentang manusia sempurna. Dan dapat dikatakan pula bahwa manusia yang sempurna
adalah manusia yang sehat secara jasmani dan rohani. Dalam artian bahwa manusia
yang sehat dan terbina potensi rohaniah sehingga dapat berfungsi secara optimal
dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar
menurut akhlak islami.
D.
Relevansi
Paham Wahdatul Wujud dan Insan Kamil
Wahdatul
Al-Wujud Ibn Arabi adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan
al-wujud. Wahdat sendiri, tunggal atau kesatuan sedangkan al-wujud= ada. Jadi
Wahdatul Al-Wujud Ibn Arabi dapat diartikan kesatuan wujud. Kemunculannya
bermula dari pandangan Ibn Arabi bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya dari luar
diri-Nya maka dijadikan-Nya alam, alam merupakan cermin Tuhan.
|
Pada
dasarnya sama, namun perbedaannya hanya terletak pada penjabarannya saja, Wahdatul
wujud dan insan kamil adalah kedua paham yang cenderung meleburkan diri dalam
keadaan spiritual. Mereka meninggalkan kemewahan kehidupan dunia, terutama
al-arabi. Adapun al-jili meskipun membawa konsep kesatuan wujud dan tetap
konsisten terhadap ajarannya, namun dalam syariatnya ia tetap menjalankan
kewajiban ibadah, bahkan menurutnya semakin tinggi derajat manusia, semakin
banyak pula ibadah yang mesti dilakukannya.[12]
Sebagai
manusia modern kita harus seimbang, keseimbangan disini adalah dalam arti bahwa
kita tidak dapat selamanya hanya memikirkan akhirat, akan tetapi kehidupan
dunia juga perlu. Inilah insan kamil dalam kehidupan sekarang. Tidak perlu kita
membersihkan jiwa dengan meninggalkan kehidupan dunia untuk merasakan kehadiran
Allah dan melihat keberadaannya, yang
kita perlukan adalah bagaimana membersihkan hati dan kita mampu menempatkan
diri serta hati kita. Mengamalkan nama-nama Allah dalam kehidupan sehari-hari
merupakan bukti bahwa Allah ada bersama kita, baik dalam pekerjaan, menuntut
ilmu, maupun dalam aktivitas sehari-hari. Itulah cara kita untuk dapat
mengamalkan wahdatul wujud dan insan kamil dalam kehidupan kita.
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Menurut pemikiran
Ibnu Arabi tentang wahdatul wujud, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang
ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat dari wujud Khaliq tidak ada
perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Kalaupun ada yang mengira bahwa
antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut
pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap
hakikat apa yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu
berhimpun pada-Nya.
2.
Pemahaman
mengenai Insan Kamil (Manusia Sempurna) yang dikemukakan Al-Jilli adalah
manusia cerminan Tuhan atau nukhah. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia yang
sempurna adalah sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi kriteria-kriteria
tertentu
3.
Dalam tasawwuf
Ibnu Arabi bukan hanya manusia saja yang menyatu dengan tuhan akan tetapi
seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Sedangkan insan kamil
menjelaskan tentang manusia sempurna. Dan dapat dikatakan pula bahwa manusia
yang sempurna adalah manusia yang sehat secara jasmani dan rohani.
4.
Wahdatul wujud dan insan kamil adalah kedua
paham yang cenderung meleburkan diri dalam keadaan spiritual. Mereka
meninggalkan kemewahan kehidupan dunia, terutama al-arabi. Adapun al-jili
meskipun membawa konsep kesatuan wujud dan tetap konsisten terhadap ajarannya,
namun dalam syariatnya ia tetap menjalankan kewajiban ibadah, bahkan menurutnya
semakin tinggi derajat manusia, semakin banyak pula ibadah yang mesti
dilakukannya. Sebagai manusia modern kita harus seimbang, keseimbangan disini
adalah dalam arti bahwa kita tidak dapat selamanya hanya memikirkan akhirat,
akan tetapi kehidupan dunia juga perlu.
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini, pastilah terdapat banyak
kesalahan, baik di dalam penulisan maupun isi dari makalah di atas. Makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran demi
perbaikan makalah yang selanjutnya serta menuju arah yang lebih baik.
|
|
A.
Buku
Rahman, Fadli,
Akhlak Tasawuf: “Pengantar ke
Dunia Esoteris Islam”, Malang: In-TRANS Publishing, 2007.
Siregar, A. Rivay, Tasawuf: “Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme”. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002.
Nata, Abuddin,
Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2011.
Mustofa, A. Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka
Setia, 1999.
Hamka, Tasauf,
Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Mansur, Laily, Ajaran
dan Teladan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2002.
B.
Internet
Maulana, “Insan
Kamil” Http://icas.ac.id/insan-al-kamil-dalam-persepektif-abdulkarim-al-jilli/
(Di akses pada Rabu, 19 Februari 2014
pkl.04.15).
Akh Arif,
“Ibnu Arabi” Http://filsafatwikipedia.blogspot.com/2012/02/konsep-wahdatul-wujud-menurut-ibnu.html
(Di akses pada Jum’at, 21 Februari 2014 pkl.19.30).
Ahmad
Nasoha, “Wahdatul Wujud”, Http://nasoha-ujiantasawuf.blogspot.com/2011/06/ujian-tasawuf.html (Di akses pada Senin, 24 Februari 2014 pkl.22.45).
|
[1] Fadli Rahman, Akhlak
Tasawuf: “Pengantar ke Dunia Esoteris Islam”, Malang: In-TRANS Publishing,
2007, h. 137.
[2] A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002,
h. 171.
[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002,h. 253.
[4] Akh Arif, “Ibnu Arabi” Http://filsafatwikipedia.blogspot.com/2012/02/konsep-wahdatul-wujud-menurut-ibnu.html (Di akses pada Jum’at, 21
Februari 2014 pkl.19.30).
[5] A. Rivay Siregar, ”Tasawuf dari Sufisme klasik ke
Neo-Sufisme”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.h. 175
[6] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2011, h. 257.
[7] Ibid.h. 262.
[8] Ibid.,h.258
[9] Maulana, “Insan Kamil” Http://icas.ac.id/insan-al-kamil-dalam-persepektif-abdulkarim-al-jilli/ (Di akses pada Rabu, 19 Februari 2014 pkl.04.15).
[10] A. Mustofa, Akhlak
Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999,h. 278.
[11] Abuddin Nata, Akhlak tasawuf , Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011, h. 264.
[12] Ahmad Nasoha, “Wahdatul Wujud”, Http://nasoha-ujiantasawuf.blogspot.com/2011/06/ujian-tasawuf.html (Di akses pada Senin, 24 Februari 2014 pkl.22.45).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar