Kamis, 24 Juli 2014

TASAWUF FALSAFI Pemikiran Ibn Arabi dan Al-Jilli



Makalah kelompok  IX

TASAWUF FALSAFI
Pemikiran Ibn Arabi dan Al-Jilli
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen : Dr. H. Khairil Anwar. M.Ag






Disusun Oleh

TURIHAN
NIM. 130 211 0428

NORHASANAH
NIM. 130 211 0407






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
TAHUN 2014 M / 1435 H


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nyalah sehingga makalah dengan judul “ Pemikiran Ibn. Arabi dan Al-Jilli “ ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf, guna lebih mengetahui dan memahami Wahdatul Wujud Ibnu Arabi dan Insan Kamil Al-Jilli. Kami berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat memudahkan kita semua untuk lebih memahami apa itu Wahdatul Wujud dan Al-Hallaj.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi penulisan, susunan kata, kerapian dan Isi. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran  yang membangun demi makalah ini untuk kedapannya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb


Palangka Raya,   Februari 2014



      Tim






ii
 
 

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan............................................................................................ 1
D.    Metode Penulisan.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wahdatul Wujud menurut Ibn Arabi........................................... 3
B.     Pengertian Insan Kamil menurut Al-Jilli........................................................ 5
C.     Perbedaan Paham Wahdatul Wujud dan Insan Kamil.................................. 6
D.    Relevansi Paham Wahdatul Wujud dan Insan Kamil.................................... 6
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................................... 8
B.     Kritik dan Saran............................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 9










iii
 
 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (Ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) menuju ke tingkat tinggi, dan itu bukan hanya mengenal tuhan saja (ma’rifatullah), melainkan kesatuan wujud (Wahdatul Wujud). Tasawuf falsafi juga bisa di katakan sebagi tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran orang filsafat. Lahirnya tasawuf falsafi ini di mulai dari asal mula pemahaman tasawuf yang bermacam-macam, sehingga banyak yang mencari tahu untuk mengungkapkan pertama kali ajaran tasawuf tersebut.
Berkembangnya tasawuf membuat orang-orng sufi menyingkap arti dari tasawuf falsafi itu seperti halnya Ibnu Al-Arabi, seorang sufi ayng berpendapat bahwa proses segala sesuatu itu berasal dari yang satu, yaitu kesatuan eksistensial (Wihdatul Wujud). Dan begitu juaga al-jilli yangmengemukakan knsep tentang Insan Kamil. Yang diartikan sebgai manusia sempurna.
Adapun perbandingan ataupun perbedaan dari kedua paham tersebut akan di bahas pada makalah ini dengan rumusan masalah sebagai berikut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan wahdatul Wujud menurut Ibn. Arabi ?
2.      Apa yang dimaksud dengan Insan Kamil menurut Al-Jilli ?
3.      Apa perbedaan antar kedua paham Ibn. Arabi dan Al-Jilli ?
4.      Bagaimana relevansi kedua paham tersebut dalam konteks sekarang ini ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Wahdatul Wujud menurut Ibn. Arabi.
2.      Untuk mengetahui pengertian Insan Kamil menurut Al-Jilli.
3.      Untuk mengetahui perbedaan antar kedua paham Ibn. Arabi dan Al-Jilli.
4.      Untuk mengetahui bagaimana relevansi kedua paham Ibn. Arabi dan Al-Jilli dalam konteks sekarang ini.




1
 
 
D.   
2
 
Metode Penulisan
Adapun metode yang kami gunakan dalam pembuatan makalah sederhana ini yaitu:
1.      Metode kepustakaan (Library Research),
2.      Metode penelusuran internet (Web Search).



 

BAB II
PEMBAHASAN
Tasawuf Falsafi ialah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dengan visi rasional. Berbeda dengan Tasawuf Akhlaki/amali yang masih berada dalam Tasawuf Sunni sebagaimana tasawufnya ghazali, tasawuf Falsafi sering kali menggunakan terminologi filsafat dalam pengungkapan ajarannya. Terminologi filsafat tersebut berasal dari berbagai macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi para tokoh Tasawuf Falsafi.[1]
Salah satu tokoh tasawuf falsafi ialah Muhyiddin ibn Arabi ibn Ali (lahir di Murcia, Spanyol th.1165). Ibn Arabi berasal dari suku al-Taiy, satu rumpun Arab al-Hatimi yang pada umumnya terdiri dari keluarga-keluarga shaleh. Setelah menyelesaikan studinya di Seville, ia pindah ke Tunisia di tahun 1202 M. Ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus di tahun 1240 M.[2]
A.    Pengertian Wahdatul wujud Menurut Ibn Arabi
Sebagai pokok persoalan, wahdatul wujud adalah yang sebenarnya berhak mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan dan wujud selain Tuhan adalah wujud bayangan. Pemikiran filsafat demikian berkembang dan membias pada konsep insan kamil. Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan fahamnya dengan berdasarkan renungan pikir, filsafat, dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.[3]
3
 
Ajaran pertama dari Ibn Arabi adalah tentang wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang merupakan ajaran sentralnya. Menurutnya hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat dari wujud Khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Kalaupun ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya.
4
 
Ibn Arabi menyebut wujud, yang dimaksudkan adalah wujud mutlak, yaitu wujud tuhan. Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain wujud-Nya. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada wujud selain wujud tuhan, adapun Ibn Arabi menggunakan wujud terhadap selain tuhan yaitu wujud alam, yang pada hakikatnya wujud tersebut adalah milik tuhan yang dipinjamkan kepadanya, untuk hal ini Ibn Arabi memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.[4]
Ringkasnya dalam tasawuf Ibn Arabi yang bersatu dengan Tuhan bukan hanya manusia tetapi semua makhluk. Semuanya mempunyai wujud yang satu dengan Tuhan. Selain itu, menurutnya paham tasawufnya, Tuhan ingin melihat diri-nya dari luar diri-Nya maka dijadikan-Nya alam.
Paham wahdatul wujud ini merupakan perluasan dari paham hulul. Dikatakan demikian paham ini sebagai perluasan darikonsepsi al-hulul adalah karena nasut yang ada dalam hulul ia ganti dengan Khalq (makhluk), sedangkan lahut menjadi al-Haqq (Tuhan). Khalq dan al-haqq adalah dua sisi bagi segala sesuatu, dua aspek yang ada pada segala sesuatu. Aspek lahirnya disebut Khalq dan aspek yang sebelah batinnya disebut al-Haqq. Dengan demikian segala sesuatu yang ada ini mengandung aspek lahir dan aspek batin atau terdiri dari ard dan jauhar. Aspek  Khalq atau aspek luar memiliki sifat kemakhlukan atau nasut sedangkan aspek batin atau al-Haqq memiliki sifat ke Tuhanan atau lahut. Tetapi aspek yang terpenting adalah aspek batinnya atau aspek al-Haqq dan aspek ini yang merupakan hakikat/esensi dari tiap-tiap yang wujud. Dari uraian tersebut sangat jelas sekali bahwa Ibn arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam, wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi terkesan menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain ia menyucikan Tuhan dari adanya persamaan.[5]

B.    
5
 
Pengertian Insan Kamil menurut al-Jilli
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu terdiri dari dua kata: Insan dan Kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan Kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil yaitu manusia yang sempurna.[6]
Insan Kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniyahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniyah itulah yang diharapkan dari manusia Insan Kamil. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya didunia dan akhirat.[7]
Al Jilli adalah tokoh yang mengemukakan paham tentang “Insan Kamil”. Nama lengkapnya ialah ’Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn ’Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jili. Namanya dinisbatkan dengan Al-jili karena ia berasal dari Jilan. Akan tetapi, Goldziher mengatakan, penisbatan itu bukan pada Jilan, tetapi pada nama sebuah desa dalam distrik Bagdad ”jil’. Ia lahir pada awal Muharam (767 H/1365-6 M) di kota Bagdad. Al-Jilli kecil dididik dengan penuh disiplin oleh ayahandanya. Menginjak masa remaja – ketika Bagdad dikuasai pasukan Mongol – ia dan keluarganya hijrah ke Zabid di Yaman. Disinilah ia belajar agama secara intensif, antara lain ia berguru kepada Syekh Syarafuddin Ismail ibnu Ibrahim Al-Jabarti (W. 806 H). Belakangan ia juga belajar kepada seorang sufi besar di Hindukusy, India, pada 709 H, tapi tidak ada catatan berapa lama ia tinggal di India.[8]
Ia hanya menceritakan beberapa pengalamannya, antara lain ketika berkenalan dengan tokoh-tokoh tarekat, terutama tarekat Naqsyabandiyah, Khistiyah, dan Syuhrawardiyah. Perjalanannya ke Parsi (kini Iran) untuk bertemu dengan beberapa guru sufi di sana. Seperti halnya para sufi besar lainnya, ia juga menulis kitab tasawuf. Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat-i al-Awakhir wa al-Awail, buku ini adalah bukunya yang paling poluler. Karya ini tersebar di Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, beberapa kali diterbitkan maktabah shabihy dan mushthafa al-Bab al-Halabi di Kairo, dan Dar al-Fikr di Beirut.[9]
6
 
Menurut Al-Jili yang dimaksud Insan Kamil (Manusia Sempurna) adalah manusia cerminan Tuhan atau nukhah. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia yang sempurna adalah sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi kriteria-kriteria tertentu.[10] Ciri-ciri insan kamil tersebut yaitu, berfungsinya akal secara optimal, berfungsi intuisinya, mampu menciptakan budaya, menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan, berakhlak mulia dan berjiwa seimbang.[11]
C.    Perbedaan Paham Wahdatul Wujud dan Insan Kamil
Sebenarnya wahdatul wujud mempunyai pemahaman yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk ditangkap, untunglah Ibnu Arabi selaku pencetus paham ini mengilustrasikan wahdatul wujud dengan sangat jelas tentang hubungan tuhan dan alam dalam konsep keastuan wujud. Dalam tasawwuf ibnu arabi bukan hanya manusia saja yang menyatu dengan tuhan akan tetapi seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Tuhan di sini bukan dalam artian esensi akan tetapi sifat-sifatNya yang indah.
Sedangkan Insan Kamil menjelaskan tentang manusia sempurna. Dan dapat dikatakan pula bahwa manusia yang sempurna adalah manusia yang sehat secara jasmani dan rohani. Dalam artian bahwa manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniah sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak islami.
D.    Relevansi Paham Wahdatul Wujud dan Insan Kamil
Wahdatul Al-Wujud Ibn Arabi adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat sendiri, tunggal atau kesatuan sedangkan al-wujud= ada. Jadi Wahdatul Al-Wujud Ibn Arabi dapat diartikan kesatuan wujud. Kemunculannya bermula dari pandangan Ibn Arabi bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya dari luar diri-Nya maka dijadikan-Nya alam, alam merupakan cermin Tuhan.
7
 
Al- Jili adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad, ajarannya insan kamil al-jili. Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata, Insan dan Kamil, Insan berarti manusia, dan kamil berarti sempurna. Dengan demikian insan kamil berarti manusia yang sempurna. Menurut al-jilli insan kamil adalah nushkah atau copy Tuhan. Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki sifat-sifat yang seperti itu.
Pada dasarnya sama, namun perbedaannya hanya terletak pada penjabarannya saja, Wahdatul wujud dan insan kamil adalah kedua paham yang cenderung meleburkan diri dalam keadaan spiritual. Mereka meninggalkan kemewahan kehidupan dunia, terutama al-arabi. Adapun al-jili meskipun membawa konsep kesatuan wujud dan tetap konsisten terhadap ajarannya, namun dalam syariatnya ia tetap menjalankan kewajiban ibadah, bahkan menurutnya semakin tinggi derajat manusia, semakin banyak pula ibadah yang mesti dilakukannya.[12]
Sebagai manusia modern kita harus seimbang, keseimbangan disini adalah dalam arti bahwa kita tidak dapat selamanya hanya memikirkan akhirat, akan tetapi kehidupan dunia juga perlu. Inilah insan kamil dalam kehidupan sekarang. Tidak perlu kita membersihkan jiwa dengan meninggalkan kehidupan dunia untuk merasakan kehadiran Allah dan melihat keberadaannya,  yang kita perlukan adalah bagaimana membersihkan hati dan kita mampu menempatkan diri serta hati kita. Mengamalkan nama-nama Allah dalam kehidupan sehari-hari merupakan bukti bahwa Allah ada bersama kita, baik dalam pekerjaan, menuntut ilmu, maupun dalam aktivitas sehari-hari. Itulah cara kita untuk dapat mengamalkan wahdatul wujud dan insan kamil dalam kehidupan kita.



 
 






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Menurut pemikiran Ibnu Arabi tentang wahdatul wujud, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud makhluk merupakan hakikat dari wujud Khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Kalaupun ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya.
2.      Pemahaman mengenai Insan Kamil (Manusia Sempurna) yang dikemukakan Al-Jilli adalah manusia cerminan Tuhan atau nukhah. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia yang sempurna adalah sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi kriteria-kriteria tertentu
3.      Dalam tasawwuf Ibnu Arabi bukan hanya manusia saja yang menyatu dengan tuhan akan tetapi seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Sedangkan insan kamil menjelaskan tentang manusia sempurna. Dan dapat dikatakan pula bahwa manusia yang sempurna adalah manusia yang sehat secara jasmani dan rohani.
4.      Wahdatul wujud dan insan kamil adalah kedua paham yang cenderung meleburkan diri dalam keadaan spiritual. Mereka meninggalkan kemewahan kehidupan dunia, terutama al-arabi. Adapun al-jili meskipun membawa konsep kesatuan wujud dan tetap konsisten terhadap ajarannya, namun dalam syariatnya ia tetap menjalankan kewajiban ibadah, bahkan menurutnya semakin tinggi derajat manusia, semakin banyak pula ibadah yang mesti dilakukannya. Sebagai manusia modern kita harus seimbang, keseimbangan disini adalah dalam arti bahwa kita tidak dapat selamanya hanya memikirkan akhirat, akan tetapi kehidupan dunia juga perlu.
B.     Saran
Dalam pembuatan  makalah ini, pastilah terdapat banyak kesalahan, baik di dalam penulisan maupun isi dari makalah di atas. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah yang selanjutnya serta menuju arah yang lebih baik.


8
 
 
9
 
DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku
Rahman, Fadli,  Akhlak Tasawuf: “Pengantar ke Dunia Esoteris Islam”, Malang: In-TRANS Publishing, 2007.
Siregar, A. Rivay, Tasawuf: “Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme”. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Nata, Abuddin,  Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011.
Mustofa, A.  Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2002.

B.     Internet
Maulana, “Insan Kamil” Http://icas.ac.id/insan-al-kamil-dalam-persepektif-abdulkarim-al-jilli/ (Di akses pada Rabu, 19 Februari 2014 pkl.04.15).
Akh Arif, “Ibnu Arabi” Http://filsafatwikipedia.blogspot.com/2012/02/konsep-wahdatul-wujud-menurut-ibnu.html (Di akses pada Jum’at, 21 Februari 2014 pkl.19.30).
Ahmad Nasoha, “Wahdatul Wujud”, Http://nasoha-ujiantasawuf.blogspot.com/2011/06/ujian-tasawuf.html (Di akses pada Senin, 24 Februari 2014 pkl.22.45).



 
 


[1] Fadli Rahman,  Akhlak Tasawuf: “Pengantar ke Dunia Esoteris Islam”, Malang: In-TRANS Publishing, 2007, h. 137.
[2] A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT  RajaGrafindo Persada, 2002, h. 171.
[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002,h. 253.
[4] Akh Arif, “Ibnu Arabi” Http://filsafatwikipedia.blogspot.com/2012/02/konsep-wahdatul-wujud-menurut-ibnu.html (Di akses pada Jum’at, 21 Februari 2014 pkl.19.30).
[5] A. Rivay Siregar, ”Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neo-Sufisme”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.h. 175
[6] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011, h. 257.
[7] Ibid.h. 262.
[8] Ibid.,h.258
[9] Maulana, “Insan Kamil” Http://icas.ac.id/insan-al-kamil-dalam-persepektif-abdulkarim-al-jilli/ (Di akses pada Rabu, 19 Februari 2014 pkl.04.15).
[10] A. Mustofa,  Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999,h. 278.
[11] Abuddin Nata, Akhlak tasawuf , Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011, h. 264.
[12] Ahmad Nasoha, “Wahdatul Wujud”, Http://nasoha-ujiantasawuf.blogspot.com/2011/06/ujian-tasawuf.html (Di akses pada Senin, 24 Februari 2014 pkl.22.45).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar