Senin, 21 Juli 2014

MUSYARAKAH DAN BAGIAN-BAGIANNYA



MUSYARAKAH DAN BAGIAN-BAGIANNYA


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Fikih Mawaris II
Dosen Pembina : Dra. Hj. ST. Rahmah, M.Si






Oleh


AHMAD ZARKASI
NIM. 100 211 0339

SABARUDIN AHMAD
NIM. 110 211 0373







SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PALANGKA RAYA JURUSAN SYARI’AH (AHS)
TAHUN 1435 H / 2014 M





KATA PENGANTAR

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXF2KNs3sfwoZ_QA_HZ1mE9xwcFyxtqL0kcd2Ti3Vh44vUUkPveco1ColmynsfCNPBueKF94PRgKatOh62KORHrtt41Etrz02pgGvL74IdI8MG3FYw_g4aNRdQMG-9NYCb8hfUqar2EzQ/s1600/bismillahirrahmanirrahim-arabic-i121.jpg
           
Assalamualaikum, Wr.Wb.
            Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan karunia-Nyalah sehingga makalah dengan judul “MUSYARAKAH DAN BAGIAN-BAGIANNYA“ ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya, sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Fikih Mawaris II.      
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi penulisan, susunan kata, maupun isi materi. Dengan ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini, serta sebagai jembatan ilmu yang berujung pada intelektualitas.
            Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca. 
            Wassalamualaikum, Wr.Wb.



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam Hukum Waris Islam terdapat berbagai masalah-masalah khusus. Adapun masalah-masalah khusus yang dimaksud adalah persoala-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa (atau berdasarkan normatifnya yaitu Al-Qur’an).
Masalah-masalah khusus ini disebabkan karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan/dibagi secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus, dengan perkataan lain penyelesaian khusus ini hanya berlaku untuk persoalan-persoalan yang khusus pula, salah satunya dengan Musyarakah atau musyarikah yang berarti diserikatkan. Berdasarkan hal di atas, maka selanjutnya penulis akan menjelaskan Musyarakah atau musyarikah dan bagaimana cara pembagiannya.

B.  Rumusan Masalah
Untuk lebih memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis terlebih dahulu membuat rumusan masalah. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.   Apa yang dimaksud dengan musyarakah?
2.  
1
Bagaimana cara penyelesaian musyarakah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1.   Agar pembaca memahami dan mengerti yang dimaksud dengan Musyarakah?
2.   Agar pembaca memahami dan mengerti cara penyelesaian musyarakah?

D. Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi pembahasan pada makalah ini hanya sesuai yang terdapat dalam rumusan masalah tersebut. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal di atas tidak penulis uraikan pada makalah ini.

E.  Metode Penulisan
Adapun metode yang penulis pergunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan metode research library dengan menggunakan buku perpustakaan dan browsing internet sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang ada kaitanya dengan makalah yang penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Musyarakah
Musyarakah secara bahasa berarti berserikat. Maksudnya serikat antara dua orang atau lebih dalam suatu hal atau urusan.[1] Musyarakah merupakan persoalan khusus, yakni khusus untuk menyelesaikan persoalan warisan antara saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan) dengan saudara laki-laki sekandung.[2] Lebih jelasnya, musyarakah berlaku apabila ahli waris sebagai berikut:
1.      Suami
2.      Ibu atau nenek
3.      Saudara laki-laki atau perempuan seibu (2 atau lebih)
4.      Saudara laki-laki sekandung
Permasalahan tersebut jika diselesaikan sesuai bagiannya, maka saudara laki-laki sekandung sebagai ashabah tidak mendapat bagian. Karena telah habis dibagikan. Padahal kita ketahui, bahwa saudara laki-laki sekandung lebih dekat hubungannya dengan si mayit.
3
Sejarahnya pertama kali persoalan ini muncul pada masa Khalifah Umar Ibn Khattab ra. Pada awalnya umar memutuskan sesuai apa adanya sebagaimana di dalam Alqur’an. Yakni saudara laki-laki sekandung tidak mendapat bagian, karena habis tidak ada sisa harta.[3] Namun, ketika masalah itu diajukan kembali kepadanya, sebagian sahabat memberikan perumpamaan akan ketidak adilan penyelesaian dengan cara demikian. Ungkapan tersebut sebagai berikut:
 هُبْ اِنْ اَبَانَا كَانَ حَجَرًا مُلْقٰى فِى الْيَمِّ اَلَسْنَا مِنْ اُمِّ وَاحِدَةٍ
Artinya : “Taruhlah, andaikan ayah kami adalah sebongkah batu yang dilemparkan ke laut, bukankah kami ini berasal dari ibu yang satu juga?”[4]
Umar pun memutuskan bahwa mereka sama-sama mendapatkan bagian sepertiga dari harta waris. Baik laki-laki maupun perempuan. Pendapat ini disepakati oleh Zaid bin Tsabit dan sebagian besar sahabat. Selain itu Syafi’iyyah dan Malikiyyah juga mengambil pendapat ini.[5]
Namun, segolongan ulama lain tetap menyelesaikan permasalahan ini sesuai teks Alqur’an. Yakni saudara laki-laki sekandung tidak mendapat bagian. Ulama ini di antaranya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, kemudian diikuti juga oleh Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal.[6]
Menurut Amir Syarifuddin, jika dicermati, akan tampak bahwa akar permasalahan ini ialah benturan antara prinsip menjalankan faraid sesuai dengan tuntutan Alqur’an. Dan prinsip saudara kandung harus lebih utama daripada saudara seibu dalam kewarisan maupun dalam pembagian hak.[7]
Menurut penulis, untuk menyelesaikan persoalan semacam ini kami menggunakan cara musyarakah. Karena, prinsip keadilan dan tetap sesuai syariah. Bahwa saudara laki-laki sekandung mestinya mendapat bagian. Sebagaimana pendapat Umar bin Khattab, bahwa saya keluar dari Alquran tetapi saya masuk ke dalam Alqur’an.
B.  Cara Penyelesaian Musyarakah
Contoh di bawah ini kami ambil dari buku Fiqh Mawaris karya Ahmad Rofiq. Dalam penyelesaiannya digunakan dua cara, yakni cara musyarakah Umar bin Khattab dan cara Ali bin Abi Thalib.
1.      Seorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris suami, ibu, 2 saudara seibu, 2 saudara sekandung. Dengan jumlah harta Rp. 36.000.000,- maka bagian masing-masing adalah:
a.       Menurut prinsip musyarakah (Umar bin Khattab)
Ahli Waris
Bagian
Kpk 6
Harta Waris
Rp. 36.000.000,-
Penerimaan
Suami
½
3/6
3/6 x Rp. 36.000.000,-
Rp. 18.000.000,-
Ibu
1/6
1/6
1/6 x Rp. 36.000.000,-
Rp. 6.000.000,-
2 saudara seibu

1/3
2/6
2/6 x Rp. 36.000.000,-
Rp. 12.000.000,-
2 saudara sekandung
Jumlah
Rp. 36.000.000,-
Masing-masing saudara seibu maupun saudara sekandung menerima bagian:
1/4 x Rp. 12.000.000,- = Rp. 3.000.000,-
b.      Menurut versi Ali bin Abi Thalib
Ahli Waris
Bagian
Kpk 6
Harta Waris
Rp. 36.000.000,-
Penerimaan
Suami
½
3/6
3/6 x Rp. 36.000.000,-
Rp. 18.000.000,-
Ibu
1/6
1/6
1/6 x Rp. 36.000.000,-
Rp. 6.000.000,-
2 saudara seibu
1/3
2/6
2/6 x Rp. 36.000.000,-
Rp. 12.000.000,-
2 saudara sekandung
‘Ash
-
-
-
Jumlah
Rp. 36.000.000,-
Saudara sekandung tidak menerima bagian karena telah habis untuk ahli waris ashab al-furud al-muqaddarah.
Selanjutnya, masalah musyarakah juga bisa terjadi apabila ahli waris si mati terdiri dari: suami, nenek, 2 saudara laki-laki seibu, 2 saudara perempuan seibu, 2 saudara laki-laki sekandung dan 2 saudara perempuan sekandung. Jika harta warisannya Rp. 7.200.000,- maka bagian masing-masing adalah:





a.       Menurut ‘Umar bin Khattab


Ahli Waris
Bagian
Kpk 6
Harta Waris
Rp. 7.200.000,-
Penerimaan
Suami
½
3/6
3/6 x Rp. 7.200.000,-
Rp. 3.600.000,-
Nenek
1/6
1/6
1/6 x Rp. 7.200.000,-
Rp. 1.200.000,-
2 saudara seibu
   

      
       1/3

2/6


2/6 x  Rp. 7.200.000,-


Rp. 2.400.000,-
2 saudari seibu
2 saudara sekandung
2 saudari sekandung
Jumlah
Rp. 7.200.000,-

Masing-masing saudara seibu maupun saudara sekandung menerima bagian:
1/4 x Rp. 2.400.000,-= Rp. 600.000,-
b.      Menurut versi ‘Ali bin Abi Talib:
Ahli Waris
Bagian
Kpk 6
Harta Waris
Rp. 7.200.000,-
Penerimaan
Suami
½
3/6
3/6 x Rp. 7.200.000,-
Rp. 3.600.000,-
Nenek
1/6
1/6
1/6 x Rp. 7.200.000,-
Rp. 1.200.000,-
2 saudara seibu
      
       1/3
2/6
2/6 x Rp. 7.200.000,-
Rp. 2.400.000,-
2 saudari seibu
2 saudara sekandung
   

     Ash
-
-
-
2 saudari sekandung
Jumlah
Rp. 7.200.000,-

Masing-masing saudara seibu menerima:
¼ x Rp. 1.800.000,- = Rp. 450.000,- sementara saudara-saudari sekandung nihil

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam hukum waris terdapat masalah-masalah yang mana cara penyelesaiannya keluar dari jalur pembagian atas hak waris pada umumnya sebagaimana yang biasa dilakukan. Adapun penyelesaian yang dimaksud tersebut adalah dalam masalah musyarakah yaitu dengan cara menserikatkan antara bagian-bagian tertentu, seperti yang dilakukan Umar bin Khattab dalam ijtihadnya, kemudian diikuti Imam Malik, Syafi’i dan Ishaq bin Rahawaih.
            Langkah Umar memberi hak berbagi sama (musyarakah) saudara sekandung dan saudara seibu dengan alasan bahwa bagian-bagian saudara-saudara sekandung itu identik dengan bagian saudara-saudara seibu, disebabkan adanya persamaan jurusan dan kekerabatan. Karena itu tidak logis, sekiranya saudara-saudara yang hanya seibu dapat menggugurkan bagian saudara-saudara sekandung.

B.  Kritik dan Saran
8
Sebagai seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan.oleh sebab itu, dalam memandang segala sesuatu penulis sarankan agar dengan hati yang jernih sehingga mudah bagi kita menerima kebenaran, karena segala sesuatu mempunyai manfaat. Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata sempurna seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis masih memerlukan banyak masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


[1]Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, h. 132-133.
[2]Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 194.
[3]Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerj. Addys Aldizax dan Fathurrahman, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2001, h. 234.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6]Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2008, h. 114.
[7]Ibid., h. 115.
Palangka Raya,   Maret 2014



Penulis

 
 





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar