MUSYARAKAH DAN BAGIAN-BAGIANNYA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Fikih Mawaris II
Dosen Pembina : Dra. Hj. ST. Rahmah, M.Si
Oleh
AHMAD
ZARKASI
NIM.
100 211 0339
SABARUDIN AHMAD
NIM. 110 211 0373
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PALANGKA RAYA JURUSAN SYARI’AH (AHS)
TAHUN 1435 H / 2014 M
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum, Wr.Wb.
Puji dan syukur
penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan karunia-Nyalah sehingga
makalah dengan judul “MUSYARAKAH DAN BAGIAN-BAGIANNYA“ ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya, sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Fikih Mawaris II.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi
penulisan, susunan kata, maupun isi materi. Dengan ini penulis mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini, serta
sebagai jembatan ilmu yang berujung pada intelektualitas.
Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum, Wr.Wb.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di dalam Hukum Waris Islam terdapat berbagai masalah-masalah khusus. Adapun
masalah-masalah khusus yang dimaksud adalah persoala-persoalan kewarisan yang
penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa (atau berdasarkan
normatifnya yaitu Al-Qur’an).
Masalah-masalah khusus ini disebabkan karena adanya kejanggalan apabila
penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan/dibagi secara biasa.
Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta
warisan itu dilakukan secara khusus, dengan perkataan lain penyelesaian khusus
ini hanya berlaku untuk persoalan-persoalan yang khusus pula, salah satunya
dengan Musyarakah atau musyarikah yang berarti diserikatkan. Berdasarkan hal di
atas, maka selanjutnya penulis akan menjelaskan Musyarakah atau musyarikah dan
bagaimana cara pembagiannya.
B.
Rumusan Masalah
Untuk lebih memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis
terlebih dahulu membuat rumusan masalah. Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
1.
Apa yang dimaksud dengan musyarakah?
2.
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1.
Agar pembaca memahami dan mengerti yang dimaksud dengan
Musyarakah?
2.
Agar pembaca memahami dan mengerti cara penyelesaian
musyarakah?
D. Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah di
atas, maka penulis membatasi pembahasan pada makalah ini hanya sesuai yang
terdapat dalam rumusan masalah tersebut. Adapun hal lain yang tidak berhubungan
dengan hal di atas tidak penulis uraikan pada makalah ini.
E.
Metode Penulisan
Adapun metode yang penulis pergunakan dalam
penulisan makalah ini yaitu dengan metode research
library dengan menggunakan buku perpustakaan dan browsing internet sebagai
bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang ada kaitanya dengan makalah yang
penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Musyarakah
Musyarakah secara bahasa berarti
berserikat. Maksudnya serikat antara dua orang atau lebih dalam suatu hal atau
urusan.[1]
Musyarakah merupakan persoalan khusus, yakni khusus untuk menyelesaikan
persoalan warisan antara saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan) dengan
saudara laki-laki sekandung.[2]
Lebih jelasnya, musyarakah berlaku apabila ahli waris sebagai berikut:
1.
Suami
2.
Ibu atau nenek
3.
Saudara laki-laki atau perempuan seibu (2 atau lebih)
4.
Saudara laki-laki sekandung
Permasalahan tersebut jika diselesaikan sesuai bagiannya, maka
saudara laki-laki sekandung sebagai ashabah tidak mendapat bagian. Karena telah
habis dibagikan. Padahal kita ketahui, bahwa saudara laki-laki sekandung lebih
dekat hubungannya dengan si mayit.
هُبْ اِنْ اَبَانَا كَانَ حَجَرًا مُلْقٰى فِى الْيَمِّ اَلَسْنَا مِنْ اُمِّ
وَاحِدَةٍ
Artinya : “Taruhlah, andaikan ayah kami adalah sebongkah batu yang dilemparkan ke laut, bukankah kami ini berasal dari ibu yang satu juga?”[4]
Umar pun memutuskan bahwa mereka sama-sama mendapatkan bagian
sepertiga dari harta waris. Baik laki-laki maupun perempuan. Pendapat ini
disepakati oleh Zaid bin Tsabit dan sebagian besar sahabat. Selain itu
Syafi’iyyah dan Malikiyyah juga mengambil pendapat ini.[5]
Namun, segolongan ulama lain tetap menyelesaikan permasalahan ini
sesuai teks Alqur’an. Yakni saudara laki-laki sekandung tidak mendapat bagian.
Ulama ini di antaranya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, kemudian
diikuti juga oleh Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal.[6]
Menurut Amir Syarifuddin, jika dicermati, akan tampak bahwa akar
permasalahan ini ialah benturan antara prinsip menjalankan faraid sesuai dengan
tuntutan Alqur’an. Dan prinsip saudara kandung harus lebih utama daripada
saudara seibu dalam kewarisan maupun dalam pembagian hak.[7]
Menurut penulis, untuk menyelesaikan persoalan semacam ini kami
menggunakan cara musyarakah. Karena, prinsip keadilan dan tetap sesuai syariah.
Bahwa saudara laki-laki sekandung mestinya mendapat bagian. Sebagaimana
pendapat Umar bin Khattab, bahwa saya keluar dari Alquran tetapi saya masuk ke
dalam Alqur’an.
B.
Cara Penyelesaian Musyarakah
Contoh di bawah ini kami ambil dari
buku Fiqh Mawaris karya Ahmad Rofiq. Dalam penyelesaiannya digunakan dua
cara, yakni cara musyarakah Umar bin Khattab dan cara Ali bin Abi Thalib.
1.
Seorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris suami, ibu, 2
saudara seibu, 2 saudara sekandung. Dengan jumlah harta Rp. 36.000.000,- maka
bagian masing-masing adalah:
a.
Menurut prinsip musyarakah (Umar bin Khattab)
Masing-masing saudara seibu maupun saudara sekandung
menerima bagian:
1/4 x Rp. 12.000.000,- = Rp. 3.000.000,-
b.
Menurut versi Ali bin Abi Thalib
Saudara sekandung tidak menerima bagian karena
telah habis untuk ahli waris ashab al-furud al-muqaddarah.
Selanjutnya, masalah musyarakah juga
bisa terjadi apabila ahli waris si mati terdiri dari: suami, nenek, 2 saudara
laki-laki seibu, 2 saudara perempuan seibu, 2 saudara laki-laki sekandung dan 2
saudara perempuan sekandung. Jika harta warisannya Rp. 7.200.000,- maka bagian
masing-masing adalah:
a.
Menurut ‘Umar bin Khattab
Masing-masing saudara seibu maupun saudara sekandung
menerima bagian:
1/4 x Rp. 2.400.000,-= Rp. 600.000,-
b.
Menurut versi ‘Ali bin Abi Talib:
Masing-masing saudara seibu menerima:
¼ x Rp. 1.800.000,- = Rp. 450.000,- sementara
saudara-saudari sekandung nihil
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam hukum waris terdapat masalah-masalah
yang mana cara penyelesaiannya keluar dari jalur pembagian atas hak waris pada
umumnya sebagaimana yang biasa dilakukan. Adapun penyelesaian yang dimaksud
tersebut adalah dalam masalah musyarakah yaitu dengan cara menserikatkan antara
bagian-bagian tertentu, seperti yang dilakukan Umar bin Khattab dalam
ijtihadnya, kemudian diikuti Imam Malik, Syafi’i dan Ishaq bin Rahawaih.
Langkah Umar memberi hak berbagi sama (musyarakah)
saudara sekandung dan saudara seibu dengan alasan bahwa bagian-bagian
saudara-saudara sekandung itu identik dengan bagian saudara-saudara seibu,
disebabkan adanya persamaan jurusan dan kekerabatan. Karena itu tidak logis,
sekiranya saudara-saudara yang hanya seibu dapat menggugurkan bagian
saudara-saudara sekandung.
B.
Kritik dan Saran
[1]Ahmad
Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, h. 132-133.
[2]Dian
Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 194.
[3]Komite
Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerj. Addys
Aldizax dan Fathurrahman, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2001, h. 234.
[6]Amir
Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2008, h. 114.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar