Senin, 21 Juli 2014

Ayat Tentang Hak Rujuk, Iddah Wanita yang Haid dan Hikmah Iddah



Ayat Tentang Hak Rujuk, Iddah
Wanita yang Haid dan Hikmah Iddah



Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Tafsir Ahkam II
Dosen Pembimbing: H. Akhmad Dasuki, Lc, M.A.













Disusun oleh



AHMAD ZARKASI
NIM. 1002110339








SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1433 H / 2012 M

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
            Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan karunia-Nyalah sehingga makalah dengan judul “Ayat Tentang Hak Rujuk, Iddah Wanita Yang Haid dan Hikmah Iddah” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya, sebagai pemenuhan salah satu tugas Tafsir Ahkam II.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi penulisan, susunan kata, maupun isi materi. Dengan ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini, serta sebagai jembatan ilmu yang berujung pada intelektualitas.
            Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palangka Raya,   September 2012


                                                                                                               Penulis




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..........................................................................................    ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................    iii
BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang......................................................................................    1
B.       Rumusan Masalah.................................................................................    1
C.       Tujuan Penulisan...................................................................................    2
D.       Batasan Masalah...................................................................................   2
E.        Metode Penulisan.................................................................................   2
BAB II PEMBAHASAN
A.       Ayat dan terjemahan QS Al-Baqarah [2] : 231....................................    3
B.       Mufradat ayat QS Al-Baqarah [2] : 231...............................................   3
C.       Tafsir ayat QS Al-Baqarah [2] : 231.....................................................   3
D.       Ayat dan terjemahan QS Al-Baqarah [2] : 228....................................   6
E.        Mufradat ayat QS Al-Baqarah [2] : 228...............................................   7
F.        Tafsir ayat QS Al-Baqarah [2] : 228.....................................................   7
G.       Hikmah Iddah.......................................................................................    9
BAB III PENUTUP                                  
A.       Kesimpulan...........................................................................................    10
B.       Kritik dan Saran....................................................................................    10
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................    12




BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pernikahan adalah sesuatu hal yang disunnahkan dalam Islam, maka di dalam pernikahan harus disertai dengan keharmonisan, saling pengertian, saling kasih mengasihi, dan saling memahami antara satu dengan yang lain, akan tetapi manakala setelah perkawinan terjadi ternyata tidak berjalan dengan mulus dan terdapat berbagai halangan dan rintangan yang mengakibatkan tujuan perkawinan itu tidak bisa dicapai, dan sebagai puncaknya terjadilah perceraian. Akibat dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban bagi seorang wanita untuk “beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa tunggu”.
Apabila tidak ada jalan lain yang ditempuh, Allah swt tidak melarang adanya perceraian, akan tetapi hal yang demikian sungguh dibenci oleh Allah swt, akibat dari perceraian tersebut, maka pihak isteri mendapat ketentuan iddah, yaitu masa menanti setelah diceraikan oleh mantan suami, seperti iddah talak, iddah bagi wanita hamil iddah bagi wanita yang tidak haid (menopause), gadis kecil, iddah wanita yang haid, adapun untuk wanita yang ditalak tetapi belum dicampuri suami, maka tidak ada iddah atasnya, serta bagaimana pula dalam hak rujuknya, dan hikmah yang dapat diambil dalam penerapan iddah terhadap isteri.

B.  Rumusan Masalah
Adapun Rumusan dalam makalah ini, yaitu ;
1.    Ayat dan terjemahan QS Al-Baqarah [2] : 231?
2.    Mufradat ayat QS Al-Baqarah [2] : 231?
3.    Tafsir ayat QS Al-Baqarah [2] : 231?
4.    Ayat dan terjemahan QS Al-Baqarah [2] : 228?
5.    Mufradat ayat QS Al-Baqarah [2] : 228?
6.    Tafsir ayat QS Al-Baqarah [2] : 228?

C.  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah sebelumnya, maka makalah ini dibuat berdasarkan tujuan untuk menyerapi dan membahas lebih mengenai ayat-ayat tentang tentang hak rujuk, iddah wanita yang haid dan hikmah iddah.

D.  Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah diatas maka penulis membatasi pembahasan ini hanya sesuai dengan rumusan masalah. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal diatas tidak penulis uraikan pada makalah ini. 

E.  Metode Penulisan
                 Adapun metode penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode research library dengan menggunakan buku perpustakaan dan dari situs Internet sebagai bahan referensi.


BAB II
PEMBAHASAN


A.  QS Al-Baqarah [2] : 231
1.    Ayat dan Terjemahan
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r&  Æèdqä3Å¡øBr'sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& £`èdqãmÎhŽ|  7$rã÷èoÿÏ3 4 Ÿwur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uŽÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ ôs)sù zOn=sß ¼. . . çm|¡øÿtR .ÇËÌÊÈ 
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri . . .” (QS Al-Baqarah : 231)

2.    Penjelasan Mufradat
Kamu mentalak                                                                  :                      ãLäêø)¯=sÛ
Maka rujukilah mereka                                                       :            Æèdqä3Å¡øBr'sù           
Dengan cara yang ma’ruf                                                   :                       >$rá÷èoÿÏ3
Ceraikanlah mereka                                                            :                       £`èdqãmÎhŽ| 
Telah berbuat zalim                                                            :                       zOn=sß
Terhadap dirinya sendiri                                                    :                       çm|¡øÿtR
3.    Tafsir Ayat
a)      Hak Rujuk
Rujuk secara bahasa berarti tahapan kembali, sedangkan menurut syara’ artinya mengembalikan isteri dalam ikatan pernikahan setelah terjadi talak satu kali atau dua kali selain ba’in dan dilakukan ketika isteri dalam keadaan iddah, dan haruslah dilakukan dengan cara yang ma’ruf.
Firman Allah swt  >$rá÷èoÿÏ3 Æèdqä3Å¡øBr'sù Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS Al-Baqarah : 231) Maksudnya, adalah merujuk isteri dengan cara yang patut.[1]
Maka tidak sah meruju’ wanita yang dicerai bukan dengan talak, yaitu dengan fasakh, dan yang dicerai kurang dari talak tiga tapi memakai tebusan, misalnya khulu’, karena dikategorikan sebagai bain sugro dan telah menjadi wanita Ajnabiyyah.
Bila suami mentalak isterinya dengan talak tiga, maka tidak ada rujuk, yang bisa dilakukan adalah menunggu mantan isterinya itu habis masa iddah. Kemudian mantan isteri itu menikah dengan lelaki lain, kemudian ditalaknya, kemudian habis masa iddah. Baru dilakukan pernikahan baru dengan mantan suami pertama.
Adapun firman-Nya  7$rã÷èoÿÏ3÷£`èdqãmÎhŽ|  rr& Atau ceraikan mereka dengan cara yang makruf pula,” (QS Al-Baqarah : 231) yakni; meninggalkanya (tidak merujukinya) hingga masa iddahnya usai. Sedangkan yang disebut dengan makruf dalam rujuk adalah menunaikan segala apa yang menjadi kewajibannya. Sedangkan yang dimaksud dengan makruf dalam cerai adalah hendaknya dia tidak bermaksud untuk membuat sesuatu yang berbahaya bagi isterinya itu[2], misalnya dengan memanjangkan iddahnya dengan cara melakukan rujuk (setelah hampir habis masa iddahnya) sehingga menganiaya mereka sampai mereka terpaksa menebus diri, minta cerai dan menunggu lama. Inilah makna dari firman Allah, “Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.” Pendapat ini dikatakan oleh Al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan yang lainnya.
Firman Allah swt, çm|¡øÿtRôOn=sßs)sù zöy7Ï9ºsŒ@yèøÿtƒ`tBur “Barangsiapa melakukan demikian, berarti ia menganiaya dirinya” (QS Al-Baqarah : 231) dengan menghadapkan siksaan kepada Allah swt.
Bolehnya rujuk didasarkan pula pada firman Allah swt :
Firman Allah swt, $[s»n=ô¹Î)#ÿrߊ#ur&bÎ)7Ï9ºsŒÎû `ÏdÏjŠtÎ/ ,ymr& `åkçJs9qãèç/ur    , “Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.”( QS. Al-Baqarah : 228)
Yaitu suami yang mentalak isterinya berhak meminta isterinya untuk kembali kepadanya.[3]Apabila suami tadi tidak merujuk isterinya hingga masa iddahnya selesai, maka isterinya itu lebih berhak atas dirinya sendiri, karena ia telah menjadi orang asing bagi suaminya. Wanita yang telah habis masa iddahnya ini tidak boleh dirujuk kembali, kecuali dengan khitbah baru atau pernikahan baru yang disetujui oleh walinya dan disaksikan pula oleh paling sedikit dua orang saksi yang merupakan Ijma’ ulama.[4]
`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( QS. Al-Baqarah : 228) Yakni para isteri memiliki hak yang serupa dengan hak yang dimiliki oleh para suami, begitu juga dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh keduanya.
Ibnu Abbas menafsirkan: kata ×py_uyŠ pada ayat ini mengisyaratkan sebuah anjuran suami untuk mempergauli isterinya dengan baik dan memperluas bagi mereka dalam masalah keuangan dan akhlak, artinya alangkah lebih baik jika seorang suami lebih mengalah dan menahan diri dari harta yang diusahakannya, lalu Ibnu Athiyah mengomentarinya: penafsiran ini sungguh sangat baik.[5]
b)     Shighat Rujuk
Menurut Imam Syafi’i Shighat (ungkapan) rujuk hanya sah dengan menggunakan lafazh rujuk saja, bukan ungkapan lain seperti “bersenang-senang” dan “berhubungan intim”. Suami bisa mengatakan  “aku merujukmu”. Shighat rujuk seperti ini termasuk lafazh sharih, karena pengungkapannya secara jelas. Atau bisa juga dengan kalimat”aku mengawinimu” atau “aku menikahimu” tapi dengan niat rujuk. Kedua shighat yang terakhir ini termasuk rujuk secara kinayah. Jadi, rujuk sah dilakukan, baik secara kinayah maupun sharih.
Dalam qaul jadid disebutkan bahwa dalam rujuk tidak disyaratkan adanya persaksian sebab wanita yang dirujuk masih dalam ikatan pernikahan sebelumnya. Karena itu, rujuk tidak butuh wali dan keridhaan istri. Adapun ketentuan adanya saksi dalam ayat, “Rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian,” (QS. Ath Thallaq : 2) lebih mengarah pada hukum anjuran. Sebab, proses rujuk seperti itu akan aman dari tindakan penolakan. Persaksian hanya diwajibkan pada awal pernikahan. Selain itu, dalam rujuk, ikatan perkawinan telah terjalin.[6]

B.  QS Al-Baqarah [2] : 228
1.    Ayat dan Terjemahan
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$#  ÇËËÑÈ  
Artinya : “ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat . . .” (QS Al-Baqarah : 228)

2.    Penjelasan Mufradat

Wanita-wanita yang ditalak                                               :           M»s)¯=sÜßJø9$#ur
Tiga                                                                                    :                      psW»n=rO þQuru’ (masa suci)                                                                  :                       &äÿrãè%
Menciptakan                                                                       :                       ,n=y{
Di dalam                                                                             :                          Îû
Rahimnya                                                                           :              £`ÎgÏB%tnör&
Beriman                                                                    :                 `ÏB÷sãƒ
Hari                                                                                                :                     ÏQöquø9$#

3.    Tafsir Ayat
a) Iddah Talak Wanita yang Subur
Firman Allah swt  &äÿrãè% š£spsW»n=rO `ÎgÅ¡àÿRr'Î/ ÆóÁ­/uŽtItƒ àM»s)¯=sÜßJø9$#ur Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Yaitu apabila seorang suami menceraikan isterinya (talak satu atau talak dua) maka suami tersebut berhak merujuk isterinya. Namun jika ia menceraikan isterinya talak tiga maka rujuknya itu telak dinasakh dengan firman Allah swt.[7]
Apabila suami menalak isterinya dalam keadaan suci dan kemudian si isteri haid, masa ‘iddahnya habis setelah menjalani dua masa suci yang dan mulai masuk haid ketiga. Apabila dia menalak isterinya dalam kondisi haid, dia mesti menjalani ‘iddah selama tiga persucian yang sempurna. ‘Iddahnya selesai begitu haid keempat habis.
Perempuan yang dimaksud dalam ayat tersebut, ialah : yang sudah pernah dicampuri dan dalam keadaan tidak hamil (baik yang masih haidh ataupun yang sudah tidak haidh). Sebab perempuan yang belum pernah dicampuri tidak ada ‘iddahnya.
Dalam memahami kata quru’ terdapat perbedaan ulama, ada yang mengatakan suci, dan ada pula yang mengatakan haidh, adapun yang menyatakan bahwa quru’ berarti masa suci seperti Imam Syafii dan Imam Malik, alasannya adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata “Tahukah kamu, apakah aqra’ itu? Aqra’ ialah suci”. Imam Syafii mengatakan : Perempuan dalam hal ini lebih tahu. Sebab peristiwa itu hanya terjadi pada diri perempuan.  Diperkuat firman Allah swt, “Hendaklah kalian ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar), “ (QS. Ath-Thalaq [65] : 1).[8] Di mana sudah jelas, bahwa talak di waktu haidh itu dilarang. Maka yang dimaksud ayat ini, yaitu : talak mereka dalam keadaan suci. Jadi quru’ yang dimaksud dalam ayat di atas, berarti suci.[9]
b. Batas Minimal Iddah
Menurut Imam syafi’i minimal masa ‘iddah yang mungkin dijalani oleh wanita merdeka dengan patokan quru’ adalah tiga puluh dua hari plus waktu sesaat. Misalnya seorang suami menalak isterinya pada saat suci dan setelah talak dia masih dalam keadaan suci waktu sesaat, maka waktu tersebut termasuk quru’. Kemudian dia haid selama sehari (minimal masa haid), selanjutnya suci selama lima belas hari (minimal masa suci), yaitu quru’ kedua. Lalu dia haid sehari, kemudian memasuki masa suci selama lima belas hari, yaitu quru’ ketiga. Begitu dia memasuki haid ketiga, ‘iddahnya berakhir.
Contoh kasus masa iddah yang lama, misalnya seorang wanita haid selama lima belas hari (maksimal lama haid) dan memasuki masa suci selama setahun, misalnya atau lebih, maka dia harus menunggu selama tiga masa suci, meskipun dia harus menunggu bertahun-tahun.
££y÷(C. Hikmah Disyari‘atkannya ‘Iddah
Adapun hikmah disyariatkannya iddah, di antaranya adalah :
1.      Iddah atas wanita ialah untuk memastikan rahim wanita tersebut suci dari air mani suaminya pada saat ia diceraikan dan juga memastikan ia tidak hamil dari suami sebelumnya (jika ia menikah lagi) sebagai langkah mencegah percampuran keturunan.
2.    Agar isteri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami. Hal ini jika ‘iddah tersebut di karenakan oleh kematian suami.
3.      Bagi wanita yang diceraikan dengan talak yang masih boleh dirujuk (belum sampai talak 3), ini memberikan peluang kepada suaminya untuk memikirkan kembali saat-saat manis ketika mereka bersama dan kembali rujuk kepada isterinya setelah pikirannya kembali tenang (semoga yang lagi masa-masa ini bisa rujuk). Masa menunggu yang agak panjang ini memberikan peluang kepada suami isteri untuk menginsafi kembali kesalahan masing-masing dan mencari solusi perselisihan antara mereka dan memungkinkan bagi mereka untuk dapat bersatu kembali. Bukan cuma kedua pasangan, tapi keluarga pasangan pun juga mendapatkan peluang untuk mencari solusi agar anak-anak mereka tidak jadi berpisah.
4.      Bagi perceraian yang terjadi karena kematian suami (cerai mati), tujuan ‘‘iddah ialah agar isteri menjaga hak-hak suaminya, menghapuskan perasaan sedihnya, membuktikan kesetiannya kepada almarhum suami serta menjaga nama baik diri dan keluarga agar tidak digunjing oleh orang.
5.      Agama Islam meletakkan keluarga sebagai sesuatu yang tinggi dan mulia, terutama bagi pasangan suami isteri. Agama Islam sangat membenci perceraian dan keruntuhan mahligai rumah tangga. Makanya diberi kesempatan untuk mencegahnya, sehingga ada pihak yang memediasi dan kemudian membatalkan perceraian.
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Rujuk artinya kembali. Menurut syara’ adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dalam masa iddah sesudah ditalak raj’iy, bila seorang suami telah menceraikan istrinya, maka ia boleh  bahkan dianjurkan untuk rujuk kembali dengan syarat bila keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali (islah). Dengan arti bahwa keduanya benar-benar sama-sama saling mengerti dan penuh rasa tanggung jawab antara satu dengan lainnya, seperti yang tercantum dalam Alqur’an surah Al-Baqarah : 231, bahwa kewajiban seorang suami adalah merujuk dengan cara yang ma’ruf, akan tetapi bila suami mempergunakan kesempatan rujuk itu bukan untuk berbuat islah, bahkan bertujuan untuk menganiaya tanpa memberi nafkah, atau semata-mata untuk menahan istri agar jangan menikah dengan orang lain, maka suami tersebut tidak berhak untuk merujuk istrinya itu, malah haram hukumnya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam surah Al-baqarah 228, iddah wanita yang dalam keadaan sudah dewasa (sudah menstruasi) maka masa iddahnya tiga kali quru’ suci, adapun hikmah iddah banyak sekali yaitu mengetahui rahim isteri, agar isteri menjaga hak-hak suaminya, menghapuskan perasaan sedihnya, membuktikan kesetiannya kepada almarhum suami (bagi yang ditinggal mati suami), emberikan peluang kepada suami isteri untuk menginsafi kembali kesalahan masing-masing dan mencari solusi perselisihan antara mereka dan memungkinkan bagi mereka untuk dapat bersatu kembali.

B.  Kritik dan Saran
Allah telah mensyariatkan adanya Iddah bagi wanita, dan batas waktunya sudah ditentukan dalam Alquranul karim, akan tetapi para orientalis berdalih itu sudah tidak relevan karena sudah ada teknologi yang dapat memeriksa kehamilan, tetapi bagaimanapun Alquran harus kita laksanakan di dalam pensyariatannya, iddah bukan hanya dilihat dari satu aspek yaitu adanya bayi atau tidak, tetapi ditinjau dari berbagai aspek, seperti membuka peluang rujuk, agar isteri menjaga hak-hak suaminya, menghapuskan perasaan sedihnya, membuktikan kesetiannya kepada almarhum suami serta menjaga nama baik diri dan keluarga agar tidak digunjing oleh orang, dan masih banyak lagi hikmah-hikmah yang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Barudi, Imad Zaki, Tafsir Wanita, Cet. 1. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Al-Kahlany, Sayyidul Imam Muhammad bin Ismail, Terjemah Subulus Salam, terj. Abu Bakar Muhammad, Surabaya : Al Ikhlas, tt.
Al-Mabariy, Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz, Terjemah Fathul Mu’in Jilid III, terj. Drs. H. Aliy As’ad, Kudus : Menara Kudus, tt.
Al-Mahalli, Imam Jalaludin, Tafsir Jalalain, Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat Jilid I, terj. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996.
Al Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurtubhi, Cet. 1. Jakarta : Pustaka Azzam, 2008.
Ash-Shabuni, Muhammad ali, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2008.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i, Cet. 1. Jakarta : Amahira, 2010.




[1]Syaikh Imam Al Qurthubi. Tafsir Al Qurtubhi, Cet. 1. Jakarta : Pustaka Azzam, 2008, h. 330.
[2]Imam Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat Jilid I, terj. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996, h. 128.
[3]Syaikh Imam Al Qurthubi. Tafsir Al Qurtubhi, Cet. 1. Jakarta : Pustaka Azzam, 2008, h. 262.
[4]Ibid.
[5]Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurtubhi, Cet. 1. Jakarta : Pustaka Azzam, 2008, h. 275.
[6]Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i, Cet. 1. Jakarta : Amahira, 2010, h. 655.
[7]Syaikh Imam Al Qurthubi. Tafsir Al Qurtubhi, Cet. 1. Jakarta : Pustaka Azzam, 2008, h. 243.
[8]Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i, Cet. 1. Jakarta : Amahira, 2010, h. 5.
[9]Muhammad ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2008, h. 229.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar