Ayat Tentang Hak Rujuk, Iddah
Wanita yang Haid dan Hikmah
Iddah
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata
Kuliah: Tafsir Ahkam II
Dosen Pembimbing: H. Akhmad Dasuki, Lc, M.A.
Disusun
oleh
AHMAD ZARKASI
NIM. 1002110339
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1433 H / 2012 M
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji
dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan karunia-Nyalah
sehingga makalah dengan judul “Ayat Tentang Hak Rujuk, Iddah Wanita Yang Haid dan Hikmah
Iddah” ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya, sebagai pemenuhan salah satu tugas Tafsir Ahkam II.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi penulisan, susunan kata, maupun
isi materi. Dengan ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini, serta sebagai jembatan ilmu yang
berujung pada intelektualitas.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Palangka
Raya, September 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR
ISI.......................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................... 2
D. Batasan Masalah................................................................................... 2
E.
Metode Penulisan................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Ayat dan terjemahan
QS Al-Baqarah [2] : 231.................................... 3
B.
Mufradat ayat QS Al-Baqarah [2] : 231............................................... 3
C.
Tafsir ayat QS Al-Baqarah [2] : 231..................................................... 3
D.
Ayat dan terjemahan QS Al-Baqarah [2] : 228.................................... 6
E.
Mufradat ayat QS Al-Baqarah [2] : 228............................................... 7
F.
Tafsir ayat QS Al-Baqarah [2] : 228..................................................... 7
G. Hikmah Iddah....................................................................................... 9
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................... 10
B. Kritik dan Saran.................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah sesuatu hal yang disunnahkan dalam Islam, maka di
dalam pernikahan harus disertai dengan keharmonisan, saling pengertian, saling
kasih mengasihi, dan saling memahami antara satu dengan yang lain, akan tetapi manakala setelah perkawinan terjadi ternyata tidak berjalan dengan mulus dan
terdapat berbagai halangan dan rintangan yang mengakibatkan tujuan perkawinan
itu tidak bisa dicapai, dan sebagai puncaknya terjadilah perceraian. Akibat
dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban bagi seorang wanita
untuk “beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa tunggu”.
Apabila tidak ada jalan lain yang ditempuh, Allah swt tidak
melarang adanya perceraian, akan tetapi hal yang demikian sungguh dibenci oleh
Allah swt, akibat dari perceraian tersebut, maka pihak isteri mendapat
ketentuan iddah, yaitu masa menanti setelah diceraikan oleh mantan suami,
seperti iddah talak, iddah bagi wanita hamil iddah bagi wanita yang tidak haid
(menopause), gadis kecil, iddah wanita yang haid, adapun untuk wanita yang ditalak tetapi belum dicampuri suami, maka
tidak ada iddah atasnya, serta bagaimana pula dalam hak rujuknya, dan hikmah
yang dapat diambil dalam penerapan iddah terhadap isteri.
B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan dalam makalah ini, yaitu ;
1. Ayat dan terjemahan QS Al-Baqarah [2] : 231?
2. Mufradat ayat QS Al-Baqarah [2] : 231?
3. Tafsir ayat QS Al-Baqarah [2] : 231?
4. Ayat dan terjemahan QS Al-Baqarah [2] : 228?
5. Mufradat ayat QS Al-Baqarah [2] : 228?
6. Tafsir ayat QS Al-Baqarah [2] : 228?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah sebelumnya, maka makalah ini dibuat berdasarkan tujuan untuk
menyerapi dan membahas lebih mengenai ayat-ayat tentang tentang hak rujuk, iddah
wanita yang haid dan hikmah iddah.
D.
Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan
masalah diatas maka penulis membatasi pembahasan ini hanya sesuai dengan rumusan masalah. Adapun hal
lain yang tidak berhubungan dengan hal diatas tidak penulis uraikan pada
makalah ini.
E.
Metode Penulisan
Adapun
metode penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah
metode research library dengan
menggunakan buku perpustakaan dan
dari situs Internet sebagai bahan referensi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
QS Al-Baqarah [2] : 231
1.
Ayat dan Terjemahan
#sÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Æèdqä3Å¡øBr'sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& £`èdqãmÎh| 7$rã÷èoÿÏ3 4 wur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4 `tBur ö@yèøÿt y7Ï9ºs ôs)sù zOn=sß ¼. . . çm|¡øÿtR .ÇËÌÊÈ
Artinya : “Apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara
yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan,
karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian,
maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri . . .” (QS
Al-Baqarah : 231)
2.
Penjelasan
Mufradat
Kamu
mentalak : ãLäêø)¯=sÛ
Maka
rujukilah mereka : Æèdqä3Å¡øBr'sù
Dengan
cara yang ma’ruf : >$rá÷èoÿÏ3
Ceraikanlah
mereka : £`èdqãmÎh|
Telah
berbuat zalim : zOn=sß
Terhadap
dirinya sendiri : çm|¡øÿtR
3.
Tafsir
Ayat
a)
Hak
Rujuk
Rujuk secara bahasa berarti tahapan kembali, sedangkan menurut
syara’ artinya mengembalikan isteri dalam ikatan pernikahan setelah terjadi
talak satu kali atau dua kali selain ba’in dan dilakukan ketika isteri dalam keadaan
iddah, dan haruslah dilakukan dengan cara yang ma’ruf.
Firman Allah swt >$rá÷èoÿÏ3 Æèdqä3Å¡øBr'sù “Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS
Al-Baqarah : 231) Maksudnya, adalah merujuk isteri dengan cara yang patut.[1]
Maka tidak sah meruju’ wanita yang dicerai bukan dengan talak,
yaitu dengan fasakh, dan yang dicerai kurang dari talak tiga tapi memakai
tebusan, misalnya khulu’, karena dikategorikan sebagai bain sugro dan telah
menjadi wanita Ajnabiyyah.
Bila suami mentalak isterinya dengan talak tiga, maka tidak ada
rujuk, yang bisa dilakukan adalah menunggu mantan isterinya itu habis masa
iddah. Kemudian mantan isteri itu menikah dengan lelaki lain, kemudian
ditalaknya, kemudian habis masa iddah. Baru dilakukan pernikahan baru dengan
mantan suami pertama.
Adapun firman-Nya 7$rã÷èoÿÏ3÷£`èdqãmÎh|
rr&
“Atau
ceraikan mereka dengan cara yang makruf pula,” (QS Al-Baqarah : 231) yakni;
meninggalkanya (tidak merujukinya) hingga masa iddahnya usai. Sedangkan yang
disebut dengan makruf dalam rujuk adalah menunaikan segala apa yang menjadi
kewajibannya. Sedangkan yang dimaksud dengan makruf dalam cerai adalah
hendaknya dia tidak bermaksud untuk membuat sesuatu yang berbahaya bagi
isterinya itu[2],
misalnya dengan memanjangkan iddahnya dengan cara melakukan rujuk (setelah
hampir habis masa iddahnya) sehingga menganiaya mereka sampai mereka terpaksa
menebus diri, minta cerai dan menunggu lama. Inilah makna dari firman Allah, “Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka.” Pendapat ini dikatakan oleh Al-Hasan, Mujahid, Qatadah
dan yang lainnya.
Firman Allah swt, çm|¡øÿtRôOn=sßs)sù
zöy7Ï9ºs@yèøÿt`tBur “Barangsiapa melakukan demikian,
berarti ia menganiaya dirinya” (QS Al-Baqarah
: 231) dengan menghadapkan siksaan kepada Allah swt.
Bolehnya rujuk didasarkan pula pada firman Allah swt :
Firman Allah swt, $[s»n=ô¹Î)#ÿrß#ur&bÎ)7Ï9ºsÎû `ÏdÏjtÎ/ ,ymr& `åkçJs9qãèç/ur , “Dan
suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para
suami) itu menghendaki ishlah.”(
QS. Al-Baqarah : 228)
Yaitu suami yang mentalak isterinya berhak meminta isterinya untuk
kembali kepadanya.[3]Apabila
suami tadi tidak merujuk isterinya hingga masa iddahnya selesai, maka isterinya
itu lebih berhak atas dirinya sendiri, karena ia telah menjadi orang asing bagi
suaminya. Wanita yang telah habis masa iddahnya ini tidak boleh dirujuk kembali,
kecuali dengan khitbah baru atau pernikahan baru yang disetujui oleh walinya
dan disaksikan pula oleh paling sedikit dua orang saksi yang merupakan Ijma’
ulama.[4]
`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( QS. Al-Baqarah : 228) Yakni para isteri memiliki hak yang serupa
dengan hak yang dimiliki oleh para suami, begitu juga dengan
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh keduanya.
Ibnu Abbas menafsirkan: kata ×py_uy pada ayat ini mengisyaratkan sebuah
anjuran suami untuk mempergauli isterinya dengan baik dan memperluas bagi
mereka dalam masalah keuangan dan akhlak, artinya alangkah lebih baik jika
seorang suami lebih mengalah dan menahan diri dari harta yang diusahakannya,
lalu Ibnu Athiyah mengomentarinya: penafsiran ini sungguh sangat baik.[5]
b)
Shighat Rujuk
Menurut Imam Syafi’i Shighat (ungkapan) rujuk hanya sah dengan
menggunakan lafazh rujuk saja, bukan ungkapan lain seperti “bersenang-senang”
dan “berhubungan intim”. Suami bisa mengatakan
“aku merujukmu”. Shighat rujuk seperti ini termasuk lafazh sharih,
karena pengungkapannya secara jelas. Atau bisa juga dengan kalimat”aku
mengawinimu” atau “aku menikahimu” tapi dengan niat rujuk. Kedua shighat yang
terakhir ini termasuk rujuk secara kinayah. Jadi, rujuk sah dilakukan, baik
secara kinayah maupun sharih.
Dalam qaul jadid disebutkan bahwa dalam rujuk tidak
disyaratkan adanya persaksian sebab wanita yang dirujuk masih dalam ikatan
pernikahan sebelumnya. Karena itu, rujuk tidak butuh wali dan keridhaan istri.
Adapun ketentuan adanya saksi dalam ayat, “Rujuklah (kembali kepada) mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kalian,” (QS. Ath Thallaq : 2) lebih
mengarah pada hukum anjuran. Sebab, proses rujuk seperti itu akan aman dari
tindakan penolakan. Persaksian hanya diwajibkan pada awal pernikahan. Selain
itu, dalam rujuk, ikatan perkawinan telah terjalin.[6]
B.
QS Al-Baqarah [2] : 228
1.
Ayat dan Terjemahan
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ÇËËÑÈ
Artinya
: “ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat . . .” (QS Al-Baqarah :
228)
2.
Penjelasan
Mufradat
Wanita-wanita
yang ditalak : M»s)¯=sÜßJø9$#ur
Tiga : psW»n=rO þQuru’ (masa suci) : &äÿrãè%
Menciptakan : ,n=y{
Di dalam :
Îû
Rahimnya : £`ÎgÏB%tnör&
Beriman :
`ÏB÷sã
Hari :
ÏQöquø9$#
3.
Tafsir Ayat
a)
Iddah Talak Wanita yang Subur
Firman Allah swt &äÿrãè% £spsW»n=rO `ÎgÅ¡àÿRr'Î/ ÆóÁ/utIt àM»s)¯=sÜßJø9$#ur “ Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Yaitu apabila seorang
suami menceraikan isterinya (talak satu atau talak dua) maka suami tersebut
berhak merujuk isterinya. Namun jika ia menceraikan isterinya talak tiga maka
rujuknya itu telak dinasakh dengan firman Allah swt.[7]
Apabila suami menalak isterinya
dalam keadaan suci dan kemudian si isteri haid, masa ‘iddahnya habis setelah
menjalani dua masa suci yang dan mulai masuk haid ketiga. Apabila dia menalak
isterinya dalam kondisi haid, dia mesti menjalani ‘iddah selama tiga persucian
yang sempurna. ‘Iddahnya selesai begitu haid keempat habis.
Perempuan yang dimaksud dalam ayat
tersebut, ialah : yang sudah pernah dicampuri dan dalam keadaan tidak hamil
(baik yang masih haidh ataupun yang sudah tidak haidh). Sebab perempuan yang
belum pernah dicampuri tidak ada ‘iddahnya.
Dalam memahami kata quru’
terdapat perbedaan ulama, ada yang mengatakan suci, dan ada pula yang
mengatakan haidh, adapun yang menyatakan bahwa quru’ berarti masa
suci seperti Imam Syafii dan Imam Malik, alasannya adalah hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata “Tahukah kamu, apakah aqra’ itu? Aqra’
ialah suci”. Imam Syafii mengatakan : Perempuan dalam hal ini lebih tahu.
Sebab peristiwa itu hanya terjadi pada diri perempuan. Diperkuat firman Allah swt, “Hendaklah
kalian ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang
wajar), “ (QS. Ath-Thalaq [65] : 1).[8] Di
mana sudah jelas, bahwa talak di waktu haidh itu dilarang. Maka yang dimaksud
ayat ini, yaitu : talak mereka dalam keadaan suci. Jadi quru’ yang
dimaksud dalam ayat di atas, berarti suci.[9]
b. Batas
Minimal Iddah
Menurut Imam syafi’i minimal masa
‘iddah yang mungkin dijalani oleh wanita merdeka dengan patokan quru’ adalah
tiga puluh dua hari plus waktu sesaat. Misalnya seorang suami menalak isterinya
pada saat suci dan setelah talak dia masih dalam keadaan suci waktu sesaat,
maka waktu tersebut termasuk quru’. Kemudian dia haid selama sehari (minimal
masa haid), selanjutnya suci selama lima belas hari (minimal masa suci), yaitu
quru’ kedua. Lalu dia haid sehari, kemudian memasuki masa suci selama lima
belas hari, yaitu quru’ ketiga. Begitu dia memasuki haid ketiga,
‘iddahnya berakhir.
Contoh kasus masa iddah yang lama,
misalnya seorang wanita haid selama lima belas hari (maksimal lama haid) dan
memasuki masa suci selama setahun, misalnya atau lebih, maka dia harus menunggu
selama tiga masa suci, meskipun dia harus menunggu bertahun-tahun.
££y÷(C. Hikmah
Disyari‘atkannya ‘Iddah
Adapun
hikmah disyariatkannya iddah, di antaranya adalah :
1. Iddah atas wanita ialah untuk memastikan rahim wanita tersebut suci dari
air mani suaminya pada saat ia diceraikan dan juga memastikan ia tidak hamil
dari suami sebelumnya (jika ia menikah lagi) sebagai langkah mencegah
percampuran keturunan.
2.
Agar
isteri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga
suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami. Hal ini
jika ‘iddah tersebut di karenakan oleh kematian suami.
3. Bagi wanita yang diceraikan dengan talak yang masih boleh dirujuk (belum
sampai talak 3), ini memberikan peluang kepada suaminya untuk memikirkan
kembali saat-saat manis ketika mereka bersama dan kembali rujuk kepada
isterinya setelah pikirannya kembali tenang (semoga yang lagi masa-masa ini
bisa rujuk). Masa menunggu yang agak panjang ini memberikan peluang kepada suami
isteri untuk menginsafi kembali kesalahan masing-masing dan mencari solusi
perselisihan antara mereka dan memungkinkan bagi mereka untuk dapat bersatu
kembali. Bukan cuma kedua pasangan, tapi keluarga pasangan pun juga mendapatkan
peluang untuk mencari solusi agar anak-anak mereka tidak jadi berpisah.
4. Bagi perceraian yang terjadi karena kematian suami (cerai mati), tujuan
‘‘iddah ialah agar isteri menjaga hak-hak suaminya, menghapuskan perasaan
sedihnya, membuktikan kesetiannya kepada almarhum suami serta menjaga nama baik
diri dan keluarga agar tidak digunjing oleh orang.
5. Agama Islam meletakkan keluarga sebagai sesuatu yang tinggi dan mulia,
terutama bagi pasangan suami isteri. Agama Islam sangat membenci perceraian dan
keruntuhan mahligai rumah tangga. Makanya diberi kesempatan untuk mencegahnya,
sehingga ada pihak yang memediasi dan kemudian membatalkan perceraian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rujuk artinya kembali. Menurut syara’ adalah kembalinya
seorang suami kepada mantan istrinya dalam masa iddah sesudah ditalak raj’iy, bila
seorang suami telah menceraikan istrinya, maka ia boleh bahkan dianjurkan
untuk rujuk kembali dengan syarat bila keduanya betul-betul hendak berbaikan
kembali (islah). Dengan arti bahwa keduanya benar-benar sama-sama saling
mengerti dan penuh rasa tanggung jawab antara satu dengan lainnya, seperti yang
tercantum dalam Alqur’an surah Al-Baqarah :
231, bahwa kewajiban seorang
suami adalah merujuk dengan cara yang ma’ruf, akan tetapi bila suami
mempergunakan kesempatan rujuk itu bukan untuk berbuat islah, bahkan bertujuan
untuk menganiaya tanpa memberi nafkah, atau semata-mata untuk menahan istri
agar jangan menikah dengan orang lain, maka suami tersebut tidak berhak untuk
merujuk istrinya itu, malah haram hukumnya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam surah Al-baqarah 228,
iddah wanita yang dalam keadaan sudah dewasa (sudah menstruasi)
maka masa iddahnya tiga kali quru’ suci, adapun hikmah iddah banyak
sekali yaitu mengetahui rahim isteri, agar isteri menjaga hak-hak suaminya,
menghapuskan perasaan sedihnya, membuktikan kesetiannya kepada almarhum suami
(bagi yang ditinggal mati suami), emberikan peluang kepada suami isteri untuk
menginsafi kembali kesalahan masing-masing dan mencari solusi perselisihan
antara mereka dan memungkinkan bagi mereka untuk dapat bersatu kembali.
B. Kritik dan Saran
Allah
telah mensyariatkan adanya Iddah bagi wanita, dan batas waktunya sudah
ditentukan dalam Alquranul karim, akan tetapi para orientalis berdalih itu
sudah tidak relevan karena sudah ada teknologi yang dapat memeriksa kehamilan,
tetapi bagaimanapun Alquran harus kita laksanakan di dalam pensyariatannya, iddah
bukan hanya dilihat dari satu aspek yaitu adanya bayi atau tidak, tetapi
ditinjau dari berbagai aspek, seperti membuka peluang rujuk, agar isteri menjaga hak-hak suaminya, menghapuskan perasaan sedihnya,
membuktikan kesetiannya kepada almarhum suami serta menjaga nama baik diri dan
keluarga agar tidak digunjing oleh orang, dan masih banyak lagi
hikmah-hikmah yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Barudi, Imad Zaki, Tafsir Wanita, Cet. 1. Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Al-Kahlany, Sayyidul Imam Muhammad bin Ismail, Terjemah Subulus
Salam, terj. Abu Bakar Muhammad, Surabaya : Al Ikhlas, tt.
Al-Mabariy, Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz, Terjemah Fathul
Mu’in Jilid III, terj. Drs. H. Aliy As’ad, Kudus : Menara Kudus, tt.
Al-Mahalli, Imam Jalaludin, Tafsir Jalalain, Berikut Asbaabun
Nuzuul Ayat Jilid I, terj. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1996.
Al Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurtubhi, Cet. 1.
Jakarta : Pustaka Azzam, 2008.
Ash-Shabuni,
Muhammad ali, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Surabaya : PT. Bina Ilmu,
2008.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i, Cet. 1. Jakarta :
Amahira, 2010.
[1]Syaikh Imam Al
Qurthubi. Tafsir Al Qurtubhi, Cet. 1. Jakarta : Pustaka Azzam, 2008, h.
330.
[2]Imam
Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Berikut Asbaabun Nuzuul Ayat Jilid I,
terj. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996, h. 128.
[3]Syaikh Imam Al
Qurthubi. Tafsir Al Qurtubhi, Cet. 1. Jakarta : Pustaka Azzam, 2008, h.
262.
[4]Ibid.
[6]Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i, Cet. 1. Jakarta :
Amahira, 2010, h. 655.
[7]Syaikh Imam Al Qurthubi. Tafsir Al Qurtubhi, Cet. 1. Jakarta
: Pustaka Azzam, 2008, h. 243.
[8]Zuhaili,
Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i, Cet. 1. Jakarta : Amahira, 2010, h. 5.
[9]Muhammad ali
Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Surabaya : PT. Bina Ilmu,
2008, h. 229.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar