Kamis, 24 Juli 2014

Pemikiran Politik Islam Era Modern Abdul al-Wahhab Khallaf (1703-1792 M)



Pemikiran Politik Islam Era Modern
Abdul al-Wahhab Khallaf (1703-1792 M)
Banyak para intelektual Islam telah mendefinisikan politik  sesuai dengan kapasitas mereka, di antaranya yang penulis ambil pendapatnya yaitu pemikiran dari Abdul al-Wahhab Khallaf.
Abdul al-Wahhab Khallaf mendefinisikan Assiyasah (politik dalam bahasa Indonesia), adalah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi Negara Islam dengan cara menjamin perwujudan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan, dengan tidak melampaui batas-batas Sar’iyah dan pokok-pokok Sar’iyah yang bersifat umum, walaupun tidak ditetapkan di dalam nash dan hanya menyandarkan kepada pendapat mujtahid.
Sebagaimana yang penulis kutip pada bukunya J. Suyuthi Pulungan. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Sebagaimana yang disebutkan Abdul al-Wahhab Khallaf dalam bukunya yang berjudul Al-Siyāsat al-Syar’iyyat, ia membahas dasar-dasar politik dan pemerintahan dalam perspektif Islam. Pembahasannya ia kaitkan dengan upaya pelaksanaan prinsip-prinsip syariat Islam dan kemaslahatan umat. Artinya untuk melaksanakan dua aspek ini dari segi siyasah syar’iyah, memerlukan adanya lembaga sebagai instrumen pelaksanaannya, yaitu pemerintahan.
Menurut Abdul al-Wahhab Khallaf, bentuk suatu pemerintahan tercermin pada batas-batas hubungan kuat antara penguasa dan rakyat, serta perimbangan antara kekuasaan pemerintahan dan kebebasan rakyat. Berdasarkan keterangan ayat-ayat Alquran dan Hadis, pemerintahan dalam Islam menghendaki bentuk dusturiyah (kostitusional), dan bukan istibdadiyat (tirani).
Aspek-aspek penting asas siyasah dusturiyah menurut Abdul al-Wahhab Khallaf, adalah bentuk pemerintahan, hak-hak individu, dan bidang-bidang kekuasaan. Islam menghendaki pemerintahan konstitusional, sebab urusan pemerintahan bukan urusan dan hak monopoli orang-orang tertentu, melainkan urusan dan hak umat atau muslim agar bermusyawarah di antara mereka.
Tidak ada nash dalam Alquran dan Sunnah Nabi yang memerintahkan kaum muslimin agar kepemimpinan pasca Rasulullah berada di tangan keluarganya atau individu-individu tertentu. Tetapi diserahkan kepada kehendak umat untuk memilih orang-orang yang akan memegang kepemimpinan tertinggi. Kesimpulan ini ia perkuat pula dengan tradisi pengangkatan Khuafa al-Rasyidin melalui pemilihan dan dibaiat oleh umat.
Pertanggungjawaban pemerintah ada pada umat.  Hal ini dijelaskan oleh nash yang menuntut rakyat agar menggunakan hak berpendapat untuk memberi nasehat atau kontrol sosial terhadap wulāt al-amri (pemegang kekuasaan). Pertanggungjawaban pemerintah kepada umat dilakukan dengan jalan musyawarah. Pelaksanaan musyawarah dan nasehat agar sempurna bisa dilakukan oleh sekelompok orang tertentu, bila seluruh rakyat tidak bisa melakukannya.
Penjelasan tersebut mengandung makna, sendi-sendi pemerintahan dalam Islam adalah syūrā sebagai hukum dasar. Mengenai rinciannya diserahkan kepada umat untuk menetapkan sistemnya yang sesuai dengan keadaan, menentukan sistem pemilihan, syarat-syarat bagi orang yang akan dipilih, dan teknis pelaksanaannya. Sendi kedua dan ketiga adalah adanya pertanggungjawaban kepala negara, dan kewenangan kepala negara berasal dari baiat rakyat. Apa dan bagaimana sistem dan teknis pelaksanaan kedua sendi ini diserahkan kepada umat. Sendi-sendi ini menunjukkan bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan.
Oleh karena pemerintahan dalam Islam menghendaki pemerintahan konstitusional yang bersendikan musyawarah, kewenangan kepala negara berasal dari rakyat, dan adanya pertanggungjawaban kepala negara, maka konsekuensinya, kata Abdul al-Wahhab Khallaf Khallaf, harus ada pembagian kekuasaan. Ia menyebutkan, kekuasaan negara dapat didelegasikan kepada: 1) kekuasaan membuat undang-undang 2) kekuasaan peradilan atau kehakiman dan 3) kekuasaan melaksanakan undang-undang. Masing-masing istilah ini dapat diidentikan dengan istilah-istilah kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif dan kekuasaaan eksekutif.
 
Sumber :
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar