Selasa, 22 Juli 2014

STATUS ANAK ANGKAT DALAM KEWARISAN ISLAM



STATUS ANAK ANGKAT DALAM
KEWARISAN ISLAM



Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Fiqih Mawaris I
Dosen Pembimbing: Dra. Hj. ST. Rahmah, M.Si



STAIN by icah








Oleh


AHMAD ZARKASI
NIM. 1002110339
JUMAIDI
NIM. 1002110334
MUHAMMAD AKHYAR
NIM. 0902110316





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434 H / 2012 M


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Namun, demikian tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh keturunan. Sedang keinginan untuk mempunyai anak nampaknya begitu besar. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang mengangkat anak.
          Agama Islam pada dasarnya tidak melarang praktek pengangkatan anak, sejauh tidak mempengaruhi dan tidak merubah hubungan nasab atau keturunan antara  anak dengan orang tua kandungnya, Praktek pengangkatan anak akan dilarang ketika hal ini berakibat keluarnya anak angkat dari hubungan nasab atau keturunan antara anak dengan orang tua kandungnya sendiri dan masuk dalam hubungan nasab dengan orang tua angkatnya . Larangan  pengangkatan anak dalam arti benar-benar menjadikan sebagai anak kandung didasarkan pada Firman Allah SWT. Dalam surat  Al-ahzab (33) ayar 4 dan 5.
Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. 5. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.
Pengangkatan anak yang diperbolehkan hukum Islam juga tidak berpengaruh dalam hukum kewarisan. Dengan demikian Islam tidak menjadikan anak adopsi sebagai sebab terjadinya hak waris-mewarisi antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.

B.     Rumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis membuat suatu rumusan masalah yang akan diangkat sebagai topik pembahasan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini, adalah:
1.   Apa Pengertian Anak Angkat?
2.   Bagaimana Kedudukan Anak Angkat dalam Kewarisan Islam?
C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan yang ingin penulis capai antara lain:
1.   Agar pembaca dapat mengetahui, memahami pengertian anak angkat.
2.   Agar pembaca dapat Mengetahui, memahami kedudukan anak angkat dalam kewarisan Islam.
D.    Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi pembahasan ini sesuai yang terdapat dalam rumusan masalah. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal di atas tidak penulis uraikan pada makalah ini.
E.     Metode Penulisan
Adapun metode yang penulis pergunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan metode research library dengan menggunakan buku perpustakaan dan browsing internet sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang ada kaitanya dengan makalah yang penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Anak Angkat
Pengertian anak angkat secara bahasa (etimologis) dalam kamus Bahasa Indonesia dapat kita jumpai, arti anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disahkan sebagai anaknya sendiri.[1] Anak angkat dalam bahasa arab disebut “tabanni”  yaitu suatu kebiasaan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam yaitu apabila seorang yang mengangkat anak orang lain sebagai anak, yaitu berlakulah hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung dan menurut Muhammad Yunus mengartikannya dengan mengambil anak angkat. Pengangkatan anak juga dikenal dengan istilah adopsi yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “adoptie” atau “adopt “.  Pengertiannya dalam bahasa belanda menurut  kamus hukum adalah pengangkatanseorang  anak untuk dijadikan anak kandung.[2]
Jadi dari pengertian bahasa di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat menjadi anaknya sendiri.
Secara istilah (terminologis) menurut ulama fikih Mahmud Syaltut, beliau membedakan dua macam pengertian anak angkat, yaitu :
1.   Pernyataan seseorang terhadap anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.
2.   Pengertian yang difahamkan dari perkataan tabanni (mengangkat anak secara mutlak) menurut hukum adat dan tradisi yang berlaku pada manusia, yaitu memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain kedalam keluarganya yang tidak ada hubungan pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak yang sah, kemudian ia mempunyai hak dan kewajiban sebagai anak.[3]

Dari definisi yang diungkapkan Mahmud syaltut di atas, istilah pertama lebih tepat dalam pengangkatan anak, karena istilah yang kedua bertentangan dengan syariat Islam, bahwa anak angkat tidak boleh mutlak dianggap anak kandung, bahkan harus tetap dipanggil dengan nasab ayah kandungnya, berdasarkan QS Al Ahzab 4-5.

B.  Kedudukan Anak Angkat dalam Kewarisan Islam
Menurut ketentuan hukum Islam anak angkat tidak termasuk golongan ahli waris, maka dengan sendirinya anak angkat tersebut tidak akan memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya yang telah meninggal terlebih dahulu.[4] Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip sebab mewarisi dalam kewarisan Islam adalah nasab, perkawinan, ataupun wala’.
Berkenaan dengan hal tersebut, kalangan ulama mengajukan  pemikiran bahwa solusi memberikan harta kepada anak angkat adalah melalui konsep wasiat wajibah.[5] Teoritis hukum Islam (klasik dan kontemporer) berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wasiat wajib, jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya hanya anjuran, bukan wajib dengan tujuan untuk membantu meringankan yang bersangkutan dalam menghadapi kesulitan hidup. Akan tetapi sebagian ulama fikih lainnya seperti ibnu Hazm (Tokoh mazhab Az-Zahri), Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jari at-Tabari dan Abu Bakr bin Abdul Aziz (tokoh fikih Mazhab Hambali) berpendapat bahwa wasiat seperti ini hukumnya wajib.[6]
Adapun dalam penjelasan KHI dalam pasal 209, anak angkat dapat memperoleh bagian sebagai wasiat wajibah[7] dari harta warisan dengan pemikiran sebagai berikut :
1.   Bahwa dalam islam, anak angkat “dibolehkan” sebatas pemeliharaan, pengayoman, dan pendidikan, dan ‘dilarang’ memberi status sebagai layaknya anak kandung;
2.   Bahwa anak angkat dapat memperoleh harta dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat yang besarnya tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) harta orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia, bila orang tua angkatnya tidak meninggalkan wasiat ia dapat diberi berdasarkan wasiat wajibah;
3.   Bahwa pemberian wasiat  wajibah tidak boleh  merugikan hak-hak dari ahli waris, besarnya wasiat wajibah tersebut tidak boleh melebihi bagian ahli waris.  Bila harta orang tua angkat hanya sedikit, belum memadai untuk mensejahterakan ahli warisnya, maka tidak ada wasiat wajibah kepada anak angkat yang telah dilarang oleh Allah SWT memperlakukannya sebagai anak sendiri, sama saja dengan menentang hukum Allah.
4.   Bahwa bila ada sengketa tentang status anak angkat, harus dibuktikan dengan adanya putusan pengadilan.
5.   Bahwa bila ada sengketa tentang wasiat atau wasiat wajibah bagi anak angkat, maka harus ada putusan pengadilan yang menyatakan: anak angkat tersebut berhak atau tidak berhak atas wasiat atau wasiat wajibah.[8]
Dalam fikih Islam, wasiat wajibah umumnya lebih didasarkan kepada pemikiran akal, yang di satu sisi dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang yang dekat dengan pewaris, tetapi secara syar’i tidak memperoleh bagian dari jalur faraidh. Namun di sisi yang lain, keempat imam mazhab mengharamkannya jika hal itu akan memberikan madharat bagi ahli waris.[9]
Berdasarkan uraian di atas pemberian harta warisan kepada anak angkat dengan menggunakan konsep wasiat wajibah ke dalam KHI, pada umumnya bukan didasarkan kepada landasan syari’at (qath’iy al-dilalah), tetapi lebih didasarkan kepada logika hukum dan pertimbangan kemanusiaan ahli waris untuk memberikan sebagian harta waris kepada saudara atau anak angkat, meski secara syar’iy hal tersebut termasuk zhanniy al-dilalah. Harta waris sebesar 1/3 dari harta waris kepada anak angkat dengan menyandarkan hukum kepada wasiat wajibah, merupakan ijtihad yang baru, apabila merugikan ahli waris utama maka bertentangan dengan nash,[10] 



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disahkan sebagai anaknya sendiri, dan melalui pernyataan seseorang terhadap anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri.
Kedudukan anak angkat dalam kewarisan hokum islam tidak termasuk golongan ahli waris, maka dengan sendirinya anak angkat tersebut tidak akan memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya yang telah meninggal. Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip sebab mewarisi dalam kewarisan Islam adalah nasab, perkawinan, ataupun wala’. Berkenaan dengan hal tersebut, kalangan ulama mengajukan  pemikiran bahwa solusi memberikan harta kepada anak angkat adalah melalui konsep wasiat wajibah. umumnya lebih didasarkan kepada pemikiran akal, yang di satu sisi dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang yang dekat dengan pewaris, tetapi secara syar’i tidak memperoleh bagian dari jalur faraidh.

B.     Saran
Sebagai pertimbangan kemanusiaan anak angkat juga harus diperhatikan, yaitu dengan memberikan harta peninggalan dari orang tua angkatnya, dengan konsep wasiat wajibah, dengan catatan tidak memberikan mudharat kepada para ahli waris.





DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet. 1. Jakarta : Kementerian Agama RI, 2011.
Ji’iy Ri’ronah Muayyanah, Tesis : Tinjauan Hukum Terhadap Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya dalam Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam, Semarang, 2010.
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Cet.3, Kairo : Dar al Qalam, tt.
Purwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1976.

B.Internet




[1]Purwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1976, h. 38.
[3]Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Cet.3, Kairo : Dar al Qalam, tt, h. 321.
[4]Ji’iy Ri’ronah Muayyanah, Tesis : Tinjauan Hukum Terhadap Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya dalam Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam, Semarang, 2010, h. 77.
[5]Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet. 1. Jakarta : Kementerian Agama RI, 2011, h. 179.
[6]Ji’iy Ri’ronah Muayyanah, Tesis . . . h. 80.
[7]Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai kuasa atau aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dapat juga dikatakan bahwa wasiat wajibah itu adalah seorang yang meninggal, baik ia wasiat atau pun tidak berwasiat maka ia dianggap wasiat menurut hukum menurut orang tertentu.
[8]Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet. 1. Jakarta : Kementerian Agama RI, 2011, h. 189-190.
[9]Ibid., h. 190.
[10]Ibid.
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar