STATUS ANAK ANGKAT DALAM
KEWARISAN ISLAM
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas
Mata
Kuliah: Fiqih Mawaris I
Dosen Pembimbing: Dra. Hj. ST. Rahmah, M.Si
Oleh
AHMAD ZARKASI
NIM. 1002110339
JUMAIDI
NIM. 1002110334
MUHAMMAD AKHYAR
NIM.
0902110316
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434 H / 2012 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk
menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Namun, demikian tujuan tersebut
terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup,
tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh keturunan.
Sedang keinginan untuk mempunyai anak nampaknya begitu besar. sehingga kemudian
di antara merekapun ada yang mengangkat anak.
Agama Islam pada
dasarnya tidak melarang praktek pengangkatan anak, sejauh tidak mempengaruhi
dan tidak merubah hubungan nasab atau keturunan antara anak dengan orang
tua kandungnya, Praktek pengangkatan anak akan dilarang ketika hal ini berakibat
keluarnya anak angkat dari hubungan nasab atau keturunan antara anak dengan
orang tua kandungnya sendiri dan masuk dalam hubungan nasab dengan orang tua
angkatnya . Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar menjadikan
sebagai anak kandung didasarkan pada Firman Allah SWT. Dalam surat
Al-ahzab (33) ayar 4 dan 5.
Dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. 5. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.
Pengangkatan anak yang
diperbolehkan hukum Islam juga tidak berpengaruh dalam hukum kewarisan. Dengan
demikian Islam tidak menjadikan anak adopsi sebagai sebab terjadinya hak
waris-mewarisi antara anak angkat dengan orang tua angkatnya.
B.
Rumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam
penyusunan makalah ini, penulis membuat suatu rumusan masalah yang akan
diangkat sebagai topik pembahasan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini, adalah:
1.
Apa Pengertian Anak Angkat?
2. Bagaimana Kedudukan Anak Angkat dalam Kewarisan Islam?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka
tujuan penulisan yang ingin penulis capai antara lain:
1.
Agar pembaca dapat mengetahui, memahami pengertian anak angkat.
2.
Agar pembaca dapat Mengetahui, memahami kedudukan anak angkat
dalam kewarisan Islam.
D.
Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan
masalah di atas, maka penulis membatasi pembahasan ini sesuai yang terdapat
dalam rumusan masalah. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal di
atas tidak penulis uraikan pada makalah ini.
E. Metode
Penulisan
Adapun metode yang penulis pergunakan dalam penulisan
makalah ini yaitu dengan metode research library
dengan menggunakan buku perpustakaan dan
browsing internet sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang ada
kaitanya dengan makalah yang penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan
dalam bentuk makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Angkat
Pengertian anak angkat
secara bahasa (etimologis) dalam
kamus Bahasa Indonesia dapat kita jumpai, arti anak angkat yaitu anak orang
lain yang diambil dan disahkan sebagai anaknya sendiri.[1] Anak angkat dalam bahasa
arab disebut “tabanni” yaitu suatu kebiasaan pada masa jahiliyah dan
permulaan Islam yaitu apabila seorang yang mengangkat anak orang lain sebagai
anak, yaitu berlakulah hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung dan menurut
Muhammad Yunus mengartikannya dengan mengambil anak angkat. Pengangkatan anak
juga dikenal dengan istilah adopsi yang berasal dari bahasa Inggris yaitu
“adoptie” atau “adopt “. Pengertiannya dalam bahasa belanda menurut
kamus hukum adalah pengangkatanseorang anak untuk dijadikan anak kandung.[2]
Jadi dari pengertian
bahasa di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa anak angkat adalah anak orang
lain yang diangkat menjadi anaknya sendiri.
Secara istilah (terminologis) menurut ulama fikih Mahmud
Syaltut, beliau membedakan dua macam pengertian anak angkat, yaitu :
1. Pernyataan seseorang
terhadap anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain ke dalam
keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian
nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan
sebagai anak kandungnya sendiri.
2. Pengertian yang
difahamkan dari perkataan tabanni (mengangkat anak secara mutlak) menurut hukum
adat dan tradisi yang berlaku pada manusia, yaitu memasukkan anak yang
diketahuinya sebagai anak orang lain kedalam keluarganya yang tidak ada
hubungan pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak yang sah, kemudian ia
mempunyai hak dan kewajiban sebagai anak.[3]
Dari definisi yang
diungkapkan Mahmud syaltut di atas, istilah pertama lebih tepat dalam
pengangkatan anak, karena istilah yang kedua bertentangan dengan syariat Islam,
bahwa anak angkat tidak boleh mutlak dianggap anak kandung, bahkan harus tetap
dipanggil dengan nasab ayah kandungnya, berdasarkan QS Al Ahzab 4-5.
B. Kedudukan Anak Angkat
dalam Kewarisan Islam
Menurut ketentuan hukum
Islam anak angkat tidak termasuk golongan ahli waris, maka dengan sendirinya
anak angkat tersebut tidak akan memperoleh harta warisan dari orang tua
angkatnya yang telah meninggal terlebih dahulu.[4] Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui
untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip sebab mewarisi dalam
kewarisan Islam adalah nasab, perkawinan, ataupun wala’.
Berkenaan dengan hal
tersebut, kalangan ulama mengajukan
pemikiran bahwa solusi memberikan harta kepada anak angkat adalah
melalui konsep wasiat wajibah.[5] Teoritis hukum Islam
(klasik dan kontemporer) berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wasiat wajib,
jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya hanya anjuran, bukan wajib dengan
tujuan untuk membantu meringankan yang bersangkutan dalam menghadapi kesulitan
hidup. Akan tetapi sebagian ulama fikih lainnya seperti ibnu Hazm (Tokoh mazhab
Az-Zahri), Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jari at-Tabari dan Abu Bakr bin Abdul
Aziz (tokoh fikih Mazhab Hambali) berpendapat bahwa wasiat seperti ini hukumnya
wajib.[6]
Adapun dalam penjelasan KHI
dalam pasal 209, anak angkat dapat memperoleh bagian sebagai wasiat wajibah[7] dari harta warisan dengan
pemikiran sebagai berikut :
1. Bahwa dalam islam, anak angkat “dibolehkan” sebatas pemeliharaan,
pengayoman, dan pendidikan, dan ‘dilarang’ memberi status sebagai layaknya anak
kandung;
2. Bahwa anak angkat dapat memperoleh harta dari orang tua angkatnya
berdasarkan wasiat yang besarnya tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) harta
orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia, bila orang tua angkatnya tidak
meninggalkan wasiat ia dapat diberi berdasarkan wasiat wajibah;
3. Bahwa pemberian wasiat
wajibah tidak boleh merugikan
hak-hak dari ahli waris, besarnya wasiat wajibah tersebut tidak boleh melebihi
bagian ahli waris. Bila harta orang tua
angkat hanya sedikit, belum memadai untuk mensejahterakan ahli warisnya, maka
tidak ada wasiat wajibah kepada anak angkat yang telah dilarang oleh Allah SWT
memperlakukannya sebagai anak sendiri, sama saja dengan menentang hukum Allah.
4. Bahwa bila ada sengketa tentang status anak angkat, harus
dibuktikan dengan adanya putusan pengadilan.
5. Bahwa bila ada sengketa tentang wasiat atau wasiat wajibah bagi
anak angkat, maka harus ada putusan pengadilan yang menyatakan: anak angkat
tersebut berhak atau tidak berhak atas wasiat atau wasiat wajibah.[8]
Dalam fikih Islam,
wasiat wajibah umumnya lebih didasarkan kepada pemikiran akal, yang di satu
sisi dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang yang dekat
dengan pewaris, tetapi secara syar’i tidak memperoleh bagian dari jalur
faraidh. Namun di sisi yang lain, keempat imam mazhab mengharamkannya jika hal
itu akan memberikan madharat bagi ahli waris.[9]
Berdasarkan uraian di
atas pemberian harta warisan kepada anak angkat dengan menggunakan konsep
wasiat wajibah ke dalam KHI, pada umumnya bukan didasarkan kepada landasan
syari’at (qath’iy al-dilalah), tetapi lebih didasarkan kepada logika hukum dan
pertimbangan kemanusiaan ahli waris untuk memberikan sebagian harta waris
kepada saudara atau anak angkat, meski secara syar’iy hal tersebut termasuk
zhanniy al-dilalah. Harta waris sebesar 1/3 dari harta waris kepada anak angkat
dengan menyandarkan hukum kepada wasiat wajibah, merupakan ijtihad yang baru, apabila
merugikan ahli waris utama maka bertentangan dengan nash,[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak angkat yaitu anak
orang lain yang diambil dan disahkan sebagai anaknya sendiri, dan melalui pernyataan
seseorang terhadap anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain ke
dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian
nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan
sebagai anak kandungnya sendiri.
Kedudukan anak angkat
dalam kewarisan hokum islam tidak termasuk golongan ahli waris, maka dengan
sendirinya anak angkat tersebut tidak akan memperoleh harta warisan dari orang
tua angkatnya yang telah meninggal. Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan
dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip sebab mewarisi dalam kewarisan Islam
adalah nasab, perkawinan, ataupun wala’. Berkenaan dengan hal
tersebut, kalangan ulama mengajukan
pemikiran bahwa solusi memberikan harta kepada anak angkat adalah
melalui konsep wasiat wajibah. umumnya lebih didasarkan kepada pemikiran akal,
yang di satu sisi dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang
yang dekat dengan pewaris, tetapi secara syar’i tidak memperoleh bagian dari
jalur faraidh.
B. Saran
Sebagai pertimbangan kemanusiaan
anak
angkat juga harus diperhatikan, yaitu dengan memberikan harta peninggalan dari
orang tua angkatnya, dengan konsep wasiat wajibah, dengan catatan tidak memberikan
mudharat kepada para ahli waris.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Habiburrahman,
Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Cet. 1. Jakarta : Kementerian Agama RI, 2011.
Ji’iy Ri’ronah
Muayyanah, Tesis : Tinjauan Hukum Terhadap Pengangkatan Anak
dan Akibat Hukumnya dalam Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Kompilasi
Hukum Islam, Semarang, 2010.
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa,
Cet.3, Kairo : Dar al Qalam, tt.
Purwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 1976.
B.Internet
Http://grupsyariah.blogspot.com/2012/04/makalah-kedudukan-anak-angkat-terhadap.html,
di unduh pada 13 November 2012.
[1]Purwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 1976, h. 38.
[2]Http://grupsyariah.blogspot.com/2012/04/makalah-kedudukan-anak-angkat-terhadap.html,
di unduh pada 13 November 2012.
[3]Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Cet.3, Kairo : Dar al Qalam,
tt, h. 321.
[4]Ji’iy Ri’ronah
Muayyanah, Tesis : Tinjauan Hukum Terhadap Pengangkatan Anak
dan Akibat Hukumnya dalam Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Kompilasi
Hukum Islam, Semarang, 2010, h. 77.
[5]Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Cet. 1. Jakarta : Kementerian Agama RI, 2011, h. 179.
[6]Ji’iy Ri’ronah
Muayyanah, Tesis . . . h. 80.
[7]Wasiat wajibah adalah
tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai kuasa atau aparat
Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah
meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dapat
juga dikatakan bahwa wasiat wajibah itu adalah seorang yang meninggal, baik ia
wasiat atau pun tidak berwasiat maka ia dianggap wasiat menurut hukum menurut
orang tertentu.
[8]Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Cet. 1. Jakarta : Kementerian Agama RI, 2011, h. 189-190.
[10]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar