Selasa, 22 Juli 2014

PEMANFAATAN BARANG GADAI OLEH PEMEGANG GADAI



PEMANFAATAN BARANG GADAI
 OLEH PEMEGANG GADAI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Perbandingan Mazhab Fikih
Dosen Pembina : Dra. Hj. St Rahmah M.Si
    Tri Hidayati, SHI., M.H.





Oleh


AHMAD ZARKASI
NIM. 100 211 0339

ANAS
NIM. 112 211 0379






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434 H / 2013 M



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam masyarakat kita, ada cara gadai yang hasil barang gadaian itu, langsung dimanfaatkan oleh pemegang gadai (orang yang memberi piutang). Banyak terjadi, terutama di desa-desa, bahwa sawah dan kebun yang digadaikan langsung dikelola oleh pegadai dan hasilnya pun sepenuhnya dimanfaatkannya.
Ada cara lain, bahwa sawah atau kebun yang dijadikan jaminan itu, diolah oleh pemilik sawah atau kebun itu, tetapi hasilnya dibagi antara pemilik dan pemegang gadai. Seolah-olah jaminan itu milik pemegang gadai selama piutangnya belum dikembalikan.
Pada dasarnya pemilik barang seperti sawah (ladang), dapat mengambil manfaat dari sawah (ladang) itu, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Jaminan itu tidak menutupi yang punyanya dari manfaat barang barang (yang digadaikan) itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia (juga) wajib memikul beban (pemeliharaan).” (HR. Syafi’i dan Daru-Quthni)
Kendatipun pemilik barang (jaminan) boleh memanfaatkan hasilnya, tetapi dalam beberapa hal dia tidak boleh bertindak untuk menjual, mewakafkan atau menyewakan barang jaminan itu, sebelum ada persetujuan dari pemegang gadai.
Apabila kita pahami hadis di atas, maka apa yang berlaku dalam masyarakat kita, sudah menyalahi ketentuan agama, karena seolah-olah pemegang gadai berkuasa penuh atas barang jaminan itu. Cara seperti demikian, merupakan pemerasan dan sama dengan praktek riba.
Dari permasalahan di atas, ulama mazhab berbeda-beda dalam menentukan siapa saja yang berhak memanfaatkannya barang gadai, orang yang menggadaikan barang gadaikah atau pemegang gadai kah? Maka dalam makalah ini penulis, memaparkan pengertian gadai/rahn, landasan hukum gadai/rahn, dan bagaimana pemanfaatan barang gadai oleh orang yang menggadaikan atau pemegang gadai.
B.  Rumusan Masalah
1.   Apa pengertian gadai /rahn?
2.   Apa landasan hukum gadai/rahn?
3.   Bagaimana perbedaan pendapat ulama mazhab mengenai pemanfaatan barang gadai oleh orang yang menggadaikan?
4.   Bagaimana perbedaan pendapat ulama mazhab mengenai pemanfaatan barang gadai oleh pemegang gadai?

C. Tujuan Penulisan
1.   Agar pembaca mengetahui dan memahami pengertian gadai /rahn.
2.   Agar pembaca mengetahui dan memahami landasan hukum gadai/rahn.
3.   Agar pembaca mengetahui dan memahami bagaimana perbedaan pendapat ulama mazhab mengenai pemanfaatan barang gadai oleh orang yang menggadaikan.
4.   Agar pembaca mengetahui dan memahami bagaimana perbedaan pendapat ulama mazhab mengenai pemanfaatan barang gadai oleh pemegang gadai.

D. Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi pembahasan pada makalah ini hanya sesuai yang terdapat dalam rumusan masalah tersebut. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal di atas tidak penulis uraikan pada makalah ini.

E.  Metode Penulisan
Adapun metode yang penulis pergunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan metode research library dengan menggunakan buku perpustakaan dan browsing internet sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang ada kaitanya dengan makalah yang penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Gadai /Rahn
Secara etimologi, rahn berarti اَلثُّبُوْتُ وَالدَّوَامُ yaitu tetap dan lama atau berarti اَلْحَبْسُ وَالُّزُوْمُ yaitu pengekangan dan keharusan.[1] Adapun penggadaian dalam syariat, para ulama mendefinisikan dengan penetapan sebuah barang yang memiliki nilai finansial dalam pandangan syariat sebagai jaminan bagi utang di mana utang tersebut atau sebagian darinya dapat dibayar dengannya. Apabila seseorang berutang kepada orang lain dan sebagai kompensasinya dia menyerahkan kepada orang itu sebuah rumah atau seekor binatang yang terikat, misalnya, sampai dia melunasi utangnya maka ini adalah penggadaian secara syar’i.[2]
Ulama Fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn:
a.    Menurut ulama Syafi’iyah:
جَعَلُ عَيْنٍ وَثِيْقَةً بِدَيْنٍ يَسْتَوْ فَى مِنْهَا عِنْدَ تَعَدُّرِ وَفَائِهِ.
Artinya : “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.”    
b.   Menurut ulama Hanabilah:
اَلْمَالُ الَّذِيْ يَجْعَلُ وَثِيْقَةً بِالدَّيْنِ لِيَسْتَوْفَى مِنْ ثَمَنِهِ اِنْ تَعَدَّ رَ اِ سْتِيْفَا ؤُ ه مِمَّنْ هُوَ لَهُ.
Artinya : “Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.”

B.  Landasan Hukum Gadai/Rahn
Dasar untuk berlakunya hukum Gadai itu ialah firman Allah Swt dan Sunnah Rasulullah Saw, Allah Ta’ala berfirman:
a.    Al-Qur’an
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B (. . .  ÇËÑÌÈ  
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai), sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”. (QS. Al-Baqarah : 283)[3]

b.   As-Sunah
عَنْ عَائِشَةَ رَ.ع. أَنَّ رَسُوْ لَ اللهِ ص.م. اِشْتَرَى مِنْ يَهُوْ دِ يٍّ طَعَا مًاوَرَ هَنَهُ دَرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ. (رواه البخارى ومسلم)
         Artinya : “Dari Siti Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi.” (HR. Bukhari dan Muslim)[4]

C. Pemanfaatan Barang Gadai
1.   Pemanfaatan Barang Gadai oleh Orang yang Menggadaikan
Di antara para ulama terdapat dua pendapat, jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang orang yang menggadaikan untuk memanfaatkan barang gadai, sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memudharatkan pemegang gadai. Uraiannya adalah sebagai berikut.
a.    Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa seizin pemegang gadai, begitu pula pemegang gadai tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin orang yang menggadaikan. Mereka beralasan bahwa barang gadai harus tetap dikuasai oleh pemegang gadai selamanya. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah, sebab manfaat yang ada dalam barang gadai pada dasarnya termasuk gadai/rahn.
b.   Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika pemegang gadai mengizinkan orang yang menggadaikan untuk memanfaatkan barang gadai, akad menjadi batal. Adapun pemegang gadai dibolehkan memanfaatkan barang gadai sekadarnya (tidak boleh lama) itu pun atas tanggungan orang yang menggadaikan. Sebagian ulama Malikiyah berpendapat, jika pemegang gadai terlalu lama memanfaatkan barang gadai, ia harus membayarnya. Sebagian lainnya berpendapat tidak perlu membayar. Pendapat lainnya diharuskan membayar, kecuali jika orang yang menggadaikan mengetahui dan tidak mempermasalahkannya.
c.    Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa orang yang menggadaikan dibolehkan untuk memanfaatkan barang gadai. Jika tidak menyebabkan barang gadai berkurang, tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya, dan lain-lain. Akan tetapi, jika menyebabkan barang gadai berkurang, seperti sawah, kebun, orang yang menggadaikan harus meminta izin kepada pemegang gadai.[5]
Dari perbedaan pendapat di atas, penulis cenderung setuju kepada pendapat yang tidak memperbolehkan orang yang menggadaikan untuk memanfaatkan barang gadai kecuali telah mendapatkan izin, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah, sebab itu merupakan kekuasaan pemegang gadai.
2.   Pemanfaatan Barang Gadai oleh Pemegang Gadai
a.    Pendapat Ulama Syafi’iyah
Pendapat Imam Syafi’i tentang pengambilan manfaat dari hasil barang gadai oleh pemegang gadai, seperti yang disebutkan dalam kitab al-umm, beliau mengatakan: “Manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada suatupun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai”
Bahwa yang berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan itu adalah orang yang menggadaikan barang tersebut dan dan bukan pemegang gadai. Meskipun yang mempunyai hak untuk mengambil manfaat dari barang jaminan itu orang yang menggadaikan, namun kekuasaan atas barang jaminan gadai itu ada di tangan si pemegang gadai.[6] Ulama Syafi’iyah menambahkan, pemegang gadai tidak memiliki hak untuk memanfaatkan barang gadai, hal ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw riwayat asy-Syafi’I, Daruquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya[7]
Menurut Imam Syafi’i bahwa pihak yang harus bertanggung jawab bila barang jaminan gadai rusak atau musnah adalah pihak yang menggadaikan, baik yang berhubungan dengan pemberian keperluan hidup atau yang berhubungan dengan penjagaan, karena dialah yang memiliki barang tersebut dan dia pula yang bertanggungjawab atas segala resiko yang menimpa barang tersebut, sebagaimana baginya pula manfaat yang dihasilkan dari barang gadai.

b.   Pendapat Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah memperbolehkan pemegang gadai memanfaatkan barang gadai jika diizinkan oleh orang yang menggadaikan atau disyaratkan ketika akad, dan barang gadai tersebut berupa barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas.[8]

c.    Pendapat Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pemegang gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai, sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya., meskipun memperoleh izin dari dari orang yang menggadaikan barang, bahkan mengategorikannya sebagai riba.[9] Dan menurut sebagian ulama Hanafiyah, barang gadai boleh untuk diambil manfaatnya oleh pemegang gadai apabila telah mendapat izin dari orang yang menggadaikan barang. [10]Adapun alasan mereka membolehkan pemegang gadai mengambil manfaat barang gadai berdasar Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّهْنُ مَحْلُوْبٌ مَرْكُوْبٌ (رواه البخارى)

Artinya :Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: barang jaminan utang dapat ditunggangi dan diperah susunya.” (HR. Bukhari)
Dalam hal ini ulama Hanafiyah berpendapat, apabila barang gadai dibiarkan tidak dimanfaatkan oleh pemegang gadai, maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut. Kemudian jika setiap saat orang yang menggadaikan barang harus datang kepada pemegang gadai untuk mengambil manfaat dari barang gadai, maka akan mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak. Begitu juga sebaliknya, apabila setiap waktu pemegang gadai harus memelihara dan menyerahkan manfaat barang gadai kepada orang yang menggadaikan barang.[11] Jadi, pemegang gadai boleh memanfaatkan barang gadaian itu atas seizin pemiliknya. Sebab pemilik barang itu boleh mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendakinya, termasuk pegadai dapat mengambil manfaat dan tidak termasuk riba.[12]

d.   Pendapat Ulama Hanabilah
Menurut ulama Hanabilah, jika barang gadai berupa hewan, pemegang gadai boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekadar mengganti biaya, meskipun tidak diizinkan oleh orang yang menggadaikan barang. Adapun barang gadai selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan, kecuali atas izin orang yang menggadaikan barang.[13]
Ulama Hanabilah berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, dan Tarmidzi dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Saw:
اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَ كَانَ مَرْهُوْنًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ.
Artinya : “Binatang tunggangan ditunggangi karena biaya hidupnya apabila digadaikan dan susu binatang perahan diminum karena biaya hidupnya apabila digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum menanggung biaya hidupnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Tarmidzi)
Dari perbedaan pendapat di atas, penulis cenderung mengikuti pendapat yang memperbolehkan pemegang gadai untuk memanfaatkan barang gadai, dengan izin orang yang menggadaikan, akan tetapi hanya bersifat pemeliharaan seperti hewan, maka diperlukan makanannya, atau juga seperti sawah atau ladang diolah supaya tidak mubazir (tidak produktif). Dan hal yang perlu diingat, bahwa hasilnya tidak boleh menjadi hak sepenuhnya pemegang gadai seperti yang berlaku dalam masyarakat dan praktek semacam inilah yang diupayakan supaya lurus dan sejalan dengan ajaran Islam, karena hal demikian mengandung riba. Karena bisa dengan solusi hasilnya dapat dibagi antara orang yang menggadaikan dan pemegang gadai, atas kesepakatan bersama. Adapun barang gadai selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan seperti emas, kendaraan, dll.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara bahasa rahn berarti tetap dan lama, sedangkan secara istilah rahn adalah penetapan sebuah barang yang memiliki nilai finansial dalam pandangan syariat sebagai jaminan bagi utang di mana utang tersebut atau sebagian darinya dapat dibayar dengannya. Landasan hukumnya adalah Al-Qur’an dan As-Sunah, seperti QS. Al-Baqarah ayat 283, HR. Bukhari dan Muslim.
Pemanfaatan Barang Gadai oleh Pemegang Gadai terdapat berbedaan pendapat di kalangan para ulama, ulama Syafi’iyah tidak memperbolehkan karena manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada suatupun dari barang jaminan itu bagi yang menerima. Ulama Malikiyah tidak membolehkan pemegang gadai memanfaatkan barang gadai, jika hutang itu berupa pinjaman. Hanafiyah tidak boleh memanfaatkan barang gadai, sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya., meskipun memperoleh izin dari dari orang yang menggadaikan barang. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, barang gadai boleh untuk diambil manfaatnya oleh pemegang gadai apabila telah mendapat izin dari orang yang menggadaikan barang. Menurut ulama Hanabilah, jika barang gadai berupa hewan, pemegang gadai boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekadar mengganti biaya, meskipun tidak diizinkan oleh orang yang menggadaikan barang. Adapun barang gadai selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan, kecuali atas izin orang yang menggadaikan barang.

B.  Kritik dan Saran
Sebagai seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan.  Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata sempurna seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis masih memerlukan banyak masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


[1]H. Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, 2001, hlm. 159.
[2]Sayyiq Sabiq, Fiqh Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2009, hlm. 125.
[3]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Mahkota Surabaya, 1989, hlm. 71.
[4]H. Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, 2001, hlm. 160-161.
[5]H. Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, 2001, hlm. 172-173.
[7]Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008,  hlm. 267.
[8]H. Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah,  . . . hlm. 174.
[9]Ibid., hlm. 76-77. 
[10]Syaikh Mahmoud Syaltout, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, hlm. 310.
[11]Http://rabiyal-yusra.blogspot.com/2012/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none. html?zx = f1dfb8226d 4fbaf4 (di akses pada tanggal 29 Maret 2013 pukul 20.00 WIB).
[12]M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 258.
[13]H. Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, 2001, hlm. 174.
 

1 komentar:

  1. Assalaamu alaikum wrwb.
    Mohon ijin kopas. Semoga menjadi amal jariyah.
    Syukran katsiiraa.

    BalasHapus