PEMANFAATAN BARANG GADAI
OLEH PEMEGANG GADAI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata
Kuliah: Perbandingan Mazhab Fikih
Dosen
Pembina : Dra. Hj. St Rahmah M.Si
Tri Hidayati,
SHI., M.H.
Oleh
AHMAD
ZARKASI
NIM.
100 211 0339
ANAS
NIM. 112 211 0379
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434
H / 2013 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam masyarakat kita, ada cara gadai yang
hasil barang gadaian itu, langsung dimanfaatkan oleh pemegang gadai (orang yang
memberi piutang). Banyak terjadi, terutama di desa-desa, bahwa sawah dan kebun
yang digadaikan langsung dikelola oleh pegadai dan hasilnya pun sepenuhnya
dimanfaatkannya.
Ada cara lain, bahwa sawah atau kebun yang
dijadikan jaminan itu, diolah oleh pemilik sawah atau kebun itu, tetapi
hasilnya dibagi antara pemilik dan pemegang gadai. Seolah-olah jaminan itu
milik pemegang gadai selama piutangnya belum dikembalikan.
Pada dasarnya pemilik barang seperti sawah
(ladang), dapat mengambil manfaat dari sawah (ladang) itu, berdasarkan sabda
Rasulullah Saw: “Jaminan itu tidak menutupi yang punyanya dari manfaat
barang barang (yang digadaikan) itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia (juga)
wajib memikul beban (pemeliharaan).” (HR. Syafi’i dan Daru-Quthni)
Kendatipun pemilik barang (jaminan) boleh
memanfaatkan hasilnya, tetapi dalam beberapa hal dia tidak boleh bertindak
untuk menjual, mewakafkan atau menyewakan barang jaminan itu, sebelum ada
persetujuan dari pemegang gadai.
Apabila kita pahami hadis di atas, maka apa
yang berlaku dalam masyarakat kita, sudah menyalahi ketentuan agama, karena
seolah-olah pemegang gadai berkuasa penuh atas barang jaminan itu. Cara seperti
demikian, merupakan pemerasan dan sama dengan praktek riba.
Dari permasalahan di atas, ulama mazhab
berbeda-beda dalam menentukan siapa saja yang berhak memanfaatkannya barang
gadai, orang yang menggadaikan barang gadaikah atau pemegang gadai kah? Maka
dalam makalah ini penulis, memaparkan pengertian gadai/rahn, landasan hukum
gadai/rahn, dan bagaimana pemanfaatan barang gadai oleh orang yang menggadaikan
atau pemegang gadai.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian gadai /rahn?
2.
Apa landasan hukum gadai/rahn?
3.
Bagaimana perbedaan pendapat ulama mazhab mengenai pemanfaatan barang gadai
oleh orang yang menggadaikan?
4.
Bagaimana perbedaan pendapat ulama mazhab mengenai pemanfaatan barang gadai
oleh pemegang
gadai?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Agar pembaca mengetahui dan memahami pengertian gadai /rahn.
2.
Agar pembaca mengetahui dan memahami landasan hukum
gadai/rahn.
3.
Agar pembaca mengetahui dan memahami bagaimana perbedaan
pendapat ulama mazhab mengenai pemanfaatan
barang
gadai
oleh orang yang menggadaikan.
4.
Agar pembaca mengetahui dan memahami bagaimana perbedaan
pendapat ulama mazhab mengenai pemanfaatan
barang
gadai
oleh pemegang
gadai.
D. Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah di
atas, maka penulis membatasi pembahasan pada makalah ini hanya sesuai yang
terdapat dalam rumusan masalah tersebut. Adapun hal lain yang tidak berhubungan
dengan hal di atas tidak penulis uraikan pada makalah ini.
E.
Metode Penulisan
Adapun metode yang penulis pergunakan dalam
penulisan makalah ini yaitu dengan metode research
library dengan menggunakan buku perpustakaan dan browsing internet sebagai
bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang ada kaitanya dengan makalah yang
penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Gadai /Rahn
Secara etimologi, rahn berarti اَلثُّبُوْتُ وَالدَّوَامُ yaitu tetap dan lama atau berarti اَلْحَبْسُ وَالُّزُوْمُ yaitu pengekangan dan keharusan.[1] Adapun penggadaian dalam syariat, para ulama
mendefinisikan dengan penetapan sebuah barang yang memiliki nilai finansial
dalam pandangan syariat sebagai jaminan bagi utang di mana utang tersebut atau
sebagian darinya dapat dibayar dengannya. Apabila seseorang berutang kepada
orang lain dan sebagai kompensasinya dia menyerahkan kepada orang itu sebuah
rumah atau seekor binatang yang terikat, misalnya, sampai dia melunasi utangnya
maka ini adalah penggadaian secara syar’i.[2]
Ulama Fiqh berbeda pendapat dalam
mendefinisikan rahn:
a.
Menurut ulama Syafi’iyah:
جَعَلُ عَيْنٍ وَثِيْقَةً بِدَيْنٍ يَسْتَوْ فَى مِنْهَا
عِنْدَ تَعَدُّرِ وَفَائِهِ.
Artinya : “Menjadikan
suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika
berhalangan dalam membayar utang.”
b.
Menurut ulama Hanabilah:
اَلْمَالُ الَّذِيْ يَجْعَلُ وَثِيْقَةً بِالدَّيْنِ
لِيَسْتَوْفَى مِنْ ثَمَنِهِ اِنْ تَعَدَّ رَ اِ سْتِيْفَا ؤُ ه مِمَّنْ هُوَ لَهُ.
Artinya : “Harta
yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang
berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.”
B.
Landasan Hukum Gadai/Rahn
Dasar untuk berlakunya hukum Gadai itu ialah
firman Allah Swt dan Sunnah Rasulullah Saw, Allah Ta’ala berfirman:
a.
Al-Qur’an
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B (.
. . ÇËÑÌÈ
Artinya
: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai), sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang”. (QS. Al-Baqarah : 283)[3]
b.
As-Sunah
عَنْ
عَائِشَةَ رَ.ع. أَنَّ رَسُوْ لَ اللهِ ص.م. اِشْتَرَى مِنْ يَهُوْ دِ يٍّ طَعَا
مًاوَرَ هَنَهُ دَرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ. (رواه
البخارى ومسلم)
Artinya : “Dari
Siti Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dengan
menggadaikan baju besi.” (HR. Bukhari dan Muslim)[4]
C.
Pemanfaatan Barang Gadai
1.
Pemanfaatan Barang Gadai oleh Orang yang Menggadaikan
Di antara para
ulama terdapat dua pendapat, jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang orang yang
menggadaikan untuk memanfaatkan barang gadai, sedangkan ulama Syafi’iyah
membolehkannya sejauh tidak memudharatkan pemegang gadai. Uraiannya adalah
sebagai berikut.
a. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang
menggadaikan tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa seizin pemegang gadai,
begitu pula pemegang gadai tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin orang yang
menggadaikan. Mereka beralasan bahwa barang gadai harus tetap dikuasai oleh
pemegang gadai selamanya. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah,
sebab manfaat yang ada dalam barang gadai pada dasarnya termasuk gadai/rahn.
b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika
pemegang gadai mengizinkan orang yang menggadaikan untuk memanfaatkan barang
gadai, akad menjadi batal. Adapun pemegang gadai dibolehkan memanfaatkan barang
gadai sekadarnya (tidak boleh lama) itu pun atas tanggungan orang yang
menggadaikan. Sebagian ulama Malikiyah berpendapat, jika pemegang gadai terlalu
lama memanfaatkan barang gadai, ia harus membayarnya. Sebagian lainnya
berpendapat tidak perlu membayar. Pendapat lainnya diharuskan membayar, kecuali
jika orang yang menggadaikan mengetahui dan tidak mempermasalahkannya.
c. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa orang yang
menggadaikan dibolehkan untuk memanfaatkan barang gadai. Jika tidak menyebabkan
barang gadai berkurang, tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya,
menempatinya, dan lain-lain. Akan tetapi, jika menyebabkan barang gadai
berkurang, seperti sawah, kebun, orang yang menggadaikan harus meminta izin
kepada pemegang gadai.[5]
Dari perbedaan
pendapat di atas, penulis cenderung setuju kepada pendapat yang tidak
memperbolehkan orang yang menggadaikan untuk memanfaatkan barang gadai kecuali
telah mendapatkan izin, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah, sebab itu merupakan kekuasaan pemegang gadai.
2.
Pemanfaatan Barang Gadai oleh Pemegang Gadai
a. Pendapat Ulama
Syafi’iyah
Pendapat Imam
Syafi’i
tentang pengambilan manfaat dari hasil barang gadai oleh pemegang gadai,
seperti yang disebutkan dalam kitab al-umm, beliau mengatakan: “Manfaat
dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada suatupun dari
barang jaminan itu bagi yang menerima gadai”
Bahwa yang
berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan itu adalah orang yang menggadaikan
barang tersebut dan dan bukan pemegang gadai. Meskipun yang mempunyai hak untuk mengambil manfaat dari barang jaminan itu
orang yang menggadaikan, namun kekuasaan atas barang jaminan gadai itu ada di
tangan si pemegang gadai.[6] Ulama
Syafi’iyah menambahkan, pemegang gadai tidak memiliki hak untuk memanfaatkan
barang gadai, hal ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw riwayat asy-Syafi’I,
Daruquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, “Tidak terlepas kepemilikan
barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan
menanggung risikonya”[7]
Menurut Imam Syafi’i
bahwa pihak yang harus bertanggung jawab bila barang jaminan gadai rusak atau
musnah adalah pihak yang menggadaikan, baik
yang berhubungan dengan pemberian keperluan hidup atau yang berhubungan dengan
penjagaan, karena dialah yang memiliki barang tersebut dan dia pula yang
bertanggungjawab atas segala resiko yang menimpa barang tersebut, sebagaimana
baginya pula manfaat yang dihasilkan dari barang gadai.
b. Pendapat Ulama
Malikiyah
Ulama Malikiyah memperbolehkan pemegang gadai memanfaatkan barang gadai
jika diizinkan oleh orang yang menggadaikan atau disyaratkan ketika akad, dan
barang gadai tersebut berupa barang yang dapat diperjualbelikan serta
ditentukan waktunya secara jelas.[8]
c.
Pendapat Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pemegang gadai tidak boleh memanfaatkan barang
gadai, sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya., meskipun
memperoleh izin dari dari orang yang menggadaikan barang,
bahkan mengategorikannya sebagai riba.[9] Dan
menurut sebagian ulama Hanafiyah, barang gadai boleh untuk diambil manfaatnya oleh pemegang
gadai apabila telah mendapat izin dari orang yang menggadaikan barang. [10]Adapun
alasan mereka membolehkan pemegang gadai mengambil manfaat barang gadai berdasar Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّهْنُ مَحْلُوْبٌ مَرْكُوْبٌ (رواه البخارى)
Artinya : “Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda:
barang jaminan utang dapat ditunggangi dan diperah susunya.” (HR. Bukhari)
Dalam hal ini ulama Hanafiyah berpendapat, apabila
barang gadai dibiarkan tidak dimanfaatkan oleh pemegang gadai, maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut. Kemudian jika
setiap saat orang yang menggadaikan barang harus datang kepada pemegang gadai untuk mengambil manfaat dari barang gadai, maka akan mendatangkan mudharat
bagi kedua belah pihak. Begitu juga sebaliknya, apabila setiap waktu pemegang gadai harus memelihara dan menyerahkan manfaat barang gadai kepada orang yang
menggadaikan barang.[11] Jadi, pemegang gadai boleh memanfaatkan
barang gadaian itu atas seizin pemiliknya. Sebab pemilik barang itu boleh
mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendakinya, termasuk pegadai dapat
mengambil manfaat dan tidak termasuk riba.[12]
d. Pendapat Ulama Hanabilah
Menurut
ulama Hanabilah, jika barang gadai berupa hewan, pemegang gadai boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau
mengambil susunya sekadar mengganti biaya, meskipun tidak diizinkan oleh orang
yang menggadaikan
barang. Adapun barang gadai selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan, kecuali
atas izin orang yang menggadaikan barang.[13]
Ulama Hanabilah berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Abu Daud, dan Tarmidzi dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah Saw:
اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَ كَانَ مَرْهُوْنًا وَلَبَنُ الدَّرِّ
يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ.
Artinya : “Binatang tunggangan ditunggangi karena biaya hidupnya
apabila digadaikan dan susu binatang perahan diminum karena biaya hidupnya
apabila digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum menanggung biaya
hidupnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Tarmidzi)
Dari perbedaan pendapat di atas, penulis cenderung
mengikuti pendapat yang memperbolehkan pemegang gadai untuk memanfaatkan barang
gadai, dengan izin orang yang menggadaikan, akan tetapi hanya bersifat
pemeliharaan seperti hewan, maka diperlukan makanannya, atau juga seperti sawah
atau ladang diolah supaya tidak mubazir (tidak produktif). Dan hal yang perlu
diingat, bahwa hasilnya tidak boleh menjadi hak sepenuhnya pemegang gadai
seperti yang berlaku dalam masyarakat dan praktek semacam inilah yang
diupayakan supaya lurus dan sejalan dengan ajaran Islam, karena hal demikian
mengandung riba. Karena bisa dengan solusi hasilnya dapat dibagi antara orang
yang menggadaikan dan pemegang gadai, atas kesepakatan bersama. Adapun barang gadai selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan seperti emas, kendaraan, dll.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara bahasa rahn berarti tetap dan
lama, sedangkan secara istilah rahn adalah penetapan sebuah barang yang
memiliki nilai finansial dalam pandangan syariat sebagai jaminan bagi utang di
mana utang tersebut atau sebagian darinya dapat dibayar dengannya. Landasan
hukumnya adalah Al-Qur’an dan As-Sunah, seperti QS. Al-Baqarah ayat 283, HR. Bukhari dan
Muslim.
Pemanfaatan Barang Gadai oleh Pemegang Gadai
terdapat berbedaan pendapat di kalangan para ulama, ulama Syafi’iyah tidak
memperbolehkan karena manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang
menggadaikan, tidak ada suatupun dari barang jaminan itu bagi yang menerima.
Ulama Malikiyah tidak membolehkan pemegang gadai
memanfaatkan barang gadai, jika hutang itu berupa pinjaman. Hanafiyah tidak
boleh memanfaatkan barang gadai, sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak
boleh memanfaatkannya., meskipun memperoleh izin dari dari orang yang menggadaikan barang. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, barang gadai boleh untuk diambil manfaatnya
oleh pemegang gadai apabila telah mendapat izin dari orang yang menggadaikan
barang. Menurut ulama Hanabilah, jika barang gadai berupa hewan, pemegang gadai boleh memanfaatkan seperti
mengendarai atau mengambil susunya sekadar mengganti biaya, meskipun tidak
diizinkan oleh orang yang menggadaikan barang. Adapun barang gadai selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan, kecuali
atas izin orang yang menggadaikan barang.
B. Kritik dan
Saran
Sebagai seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata
sempurna seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu
penulis masih memerlukan banyak masukan yang sifatnya membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
[3]Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Mahkota
Surabaya, 1989, hlm. 71.
[6]Http://fatimaajja.blogspot.com/2012/07/study-komporatif-tentang-pemanfaatan.html(di akses pada tanggal 29 Maret 2013
pukul 20.00 WIB).
[10]Syaikh Mahmoud Syaltout, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, hlm. 310.
[11]Http://rabiyal-yusra.blogspot.com/2012/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.
html?zx = f1dfb8226d 4fbaf4 (di akses pada
tanggal 29 Maret 2013 pukul 20.00 WIB).
[12]M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah),
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 258.
[13]H.
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, 2001, hlm. 174.
Assalaamu alaikum wrwb.
BalasHapusMohon ijin kopas. Semoga menjadi amal jariyah.
Syukran katsiiraa.