Rabu, 23 Juli 2014

KAIDAH-KAIDAH FIKIH TENTANG AHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH



KAIDAH-KAIDAH FIKIH TENTANG AHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Qawaidul Fiqhiyah
Dosen Pembina : Abdul Helim, M.Ag


 


Oleh


AHMAD ZARKASI
NIM. 100 211 0339

DESI SULISTYOWATI
NIM. 100 211 0337





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434 H / 2013 M

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ahwal Asy-Syakhshiyyah atau hukum keluarga adalah hukum yang telah dilaksanakan di dunia Islam, bahkan telah menjadi hukum adat mereka. Sehingga kesadaran untuk menerapkan hukum keluarga di dunia Islam sangatlah tinggi, bukan saja di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi di negara-negara sekuler di mana kaum muslimin menjadi penduduk yang minoritas pun, hukum keluarga Islam ini diterapkan dan ditaati oleh keluarga-keluarga muslim, seperti di Birma, Singapura, dan Filipina Selatan (Mindanau).[1]
Hukum keluarga ini diperkenalkan oleh para ulama kepada masyarakat melalui dakwahnya dan sekaligus memberikan contoh pelaksanaannya di dalam kehidupan sehari-hari. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menjadikan hukum Islam dibidang hukum keluarga ini menjadi hukum adatnya, karena para da’i dan contoh kehidupan serta lembaga-lembaga pendidikan merujuk kepada mazhab tertentu, maka wajar apabila dibanyak negara warna mazhab masih tampak di dalam undang-undang hukum perkawinannya.

A.    Rumusan Masalah
Untuk lebih memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis terlebih dahulu membuat rumusan masalah. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.   Apa saja kaidah-kaidah fikih khusus di bidang ahwal asy-syakhshiyyah?

B.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini, antara lain.
1.   Untuk mengetahui dan memahami kaidah-kaidah fikih khusus di bidang ahwal asy-syakhshiyyah.

C.    Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah diatas maka penulis membatasi pembahasan ini hanya sesuai dengan rumusan masalah. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal di atas tidak penulis uraikan pada makalah ini.

D.    Metodologi Penulisan
            Adapun metodologi penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah research library dengan menggunakan buku perpustakaan dan dari situs Internet sebagai bahan referensi.


BAB II
PEMBAHASAN

A. KAIDAH-KAIDAH FIKIH KHUSUS DI BIDANG AHWAL ASY-SYAKHSHIYYAH
Kaidah yang khusus di bidang ahwal asy-syakhshiyyah (hukum keluarga) menjadi penting karena perhatian sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis kepada masalah-masalah keluarga sangat besar. Hal ini terbukti jumlah ayat yang berhubungan dengan hukum keluarga menempati nomor dua setelah ibadah mahdhah. Artinya, Al-Qur’an dan Al-Hadis setelah memberi tuntunan yang cukup untuk pembinaan pribadi muslim dengan ajaran ibadah mahdhah, kemudian beralih kepada pembinaan kehidupan keluarga muslim yang menjadi unsur terkecil dalam pembinaan masyarakat dan komunitas muslim.[2]
Dalam hukum Islam, hukum keluarga ini meliputi : pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri (keluarga), dan hibah di kalangan keluarga. Kaidah-kaidah yang khusus di bidang ini antara lain:
1.    
الأَصْلُ فِي الَإ بْضَاعِ التَّحْرِيْمُ
Artinya: “Hukum asal pada masalah seks adalah haram
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelas dan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.[3] Contohnya, pemuda dan pemudi haram melakukan seks di luar nikah, akan tetapi berbeda halnya apabila pemuda dan pemudi tersebut telah melakukan akad nikah, maka menjadi halal apabila melakukan seks.
2.    
لَا حَقَّ لِلزَّوْ جِ عَلَى زَو جَتِهِ إِلَّا فِي حُدُوْدِ يَمْسِ لِلزَّوَاجِ وَلَا حَقَّ لِلزَّوْ جَةِ عَلَى زَوْجِهَا إِلَّا فِي حُدُوْدِأَوَامِرِ الشَّرْعِ فِيْمَا يَمْسِى الزَّوَاجِ
Artinya: “Tidak ada hak bagi suami terhadap isterinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan tidak ada hak bagi isteri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas perintah syariah yang berhubungan dengan pernikahan”
Kaidah di atas menggambarkan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri yang sama sebagai subjek hukum yang penuh. Apabila suami memberikan sesuatu sebagai hibah kepada isterinya atau isteri memberikan sesuatu kepada suaminya, maka seorang pun tidak dapat mencampurinya. Masing-masing pihak, suami atau isteri tidak boleh menarik kembali hibahnya setelah penyerahan atau ijab kabul terjadi.[4] Contohnya juga seperti harta isteri yang didapat dari orang tuanya, maka suami tidak boleh mengambilnya, kecuali atas izin isterinya.
3.    
كُلُّ امْرَأَتَيْنِ لَوْ قُدَّرَتْ إحْدَاهُمَا ذَ كَرًا وَحُرِّ مَتْ عَلَيْهِ الأُخْرَى فَلَا يَجُوزُ الجَمْعُ بَيْنَهُمَا
Artinya: “Setiap dua orang wanita apabila salah satunya ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-laki dan diharamkan untuk nikah di antara keduanya, maka kedua wanita haram untuk dimadu”
Contohnya, haram memadu seorang wanita dengan bibinya, karena apabila bibi itu kita anggap laki-laki, maka haram dia menikahi keponakannya. Demikian pula memadu seorang wanita dengan anak perempuan saudara wanita tersebut. Haram pula memadu seorang wanita dengan perempuan dari anaknya. Haram memadu seorang perempuan dengan saudaranya, karena apabila salah seorangnya dianggap laki-laki, dia haramkan nikah dengan saudarannya.
4.    
النِّكَاحُ لَا يُفْسِدُ بِفَسَادِ الصدَا قِ
Artinya: “Akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar”
Contohnya, Anton mewakilkan dalam akad nikah dengan menyebut maharnya kemudian si wakil menambah mahar tadi, misalnya dari 100 gram emas menjadi 150 gram emas, maka nikahnya tetap sah dan kepada wanita tadi diberikan mahar mitsli.
5.    
كُلُّ عُضْوٍ حَرَّمَ النَّظْرَ إِلَيْهِ حَرَّمَ مَسَّهُ بِطَرِيْقٍ أَوْلَى
Artinya: “Setiap anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula dirabanya”
6.    
لَايُجَوِّ زُ مُسْلِمُ كَافِرَةً
Artinya: “Wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir”
Contohnya, Abu Bakar adalah seorang muslim yang memiliki anak beragama kafir, maka ia tidak boleh atau tidak sah menjadi wali anaknya yang kafir tadi. Wanita yang kafir tidak memilki wali nasab, tetapi dapat diwakilkan oleh wali hakim.
7.    
مَنْ عَلَقَ الطَّلَاقَ بِصِفَةٍ لَم يَقَعْ دُوْنَ وُجُوْدِهَا
Artinya: “Barangsiapa yang menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh tanpa terwujudnya sifat tadi”
Di Indonesia sudah umum menggantungkan talak kepada sesuatu hal, yaitu yang disebut dengan ta’liq talak. Talak menjadi jatuh apabila ta’liq talaknya terwujud dengan syarat si isteri tidak rela dan mengajukan gugatan ke pengadilan.[5]
Contohnya, Qadir sewaktu akad nikah menyebut ta’liq talak, maka apabila dilanggar, talak tersebut jatuh dengan terwujudnya sifat tersebut, umpamanya tidak memberi nafkah isteri selama tiga bulan.
8. 
كُلُّ فِرْقَةٍمِنْ طَلَاقٍ أَوْ فَسْخٍ بَعْدَ الوَطَءِ تُوْ جَبُ العِدَّةُ
Artinya: “Setiap perceraian karena talak atau fasakh sesudah campur, maka wajib ‘iddah”
9.    
كُلُّ مَنْ أَدْلَى إِلَى الهَا لك بِوَاسِطَةٍ فَلَا يَرِثُ بِوُجُوْدِهَا
Artinya: “Setiap orang yang dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka dia tidak mewarisi selama perantara itu ada”
Contohnya, antara kakek dan bapak. Kakek tidak dapat waris selama bapak orang yang meninggal masih hidup, karena kakek dihubngkan dengan orang yang meninggal melalui bapak. Demikian juga anak laki-laki dengan cucu laki-laki. Cucu laki-laki tidak dapat waris selama ada anak laki-laki dari orang yang meninggal, karena cucu laki-laki dihubungkan dengan orang yang meninggal melalui anak laki-laki.
10.   
كُلُّ مَنْ وَرَثَ شَيْئًا وَرَثَهُ بِحُقُوْ قِهِ
Artinya: “Setiap orang yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya (yang bersifat harta)”
Contohnya, hak terhadap utang atau gadai atau juga hak cipta yang diwariskan. Maka kedudukan ahli waris dalam hal ini menduduki kedudukan orang yang meninggal.
11.   
أَنَّ الأَقْوَى قرَا بة يَحْجُبُ الأَ ضْعَفَ مِنْهُ
Artinya: “Kekerabatan yang lebih kuat menghalangi kekerabatan yang lebih lemah”
Contohnya, saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki sebapak dalam mendapatkan warisan. Artinya, apabila ahli waris terdiri dari saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki sebapak, maka yang mendapat harta warisan hanya saudara laki-laki sekandung, karena kekerabatannya lebih kuat yaitu melalui garis ibu dan bapak. Sedangkan saudara laki-laki sebapak kekerabatannya lebih lemah karena hanya melalui garis bapak.
12.   
لَاتِرْ كَةَ إِلَّابَعْدَ سَدَادِ الدَّيْن
Artinya: “Tidak ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas utang (orang yang meninggal)”
Artinya, sebelum utang-utang orang yang meninggal dibayar lunas, maka tidak ada harta warisan. Seperti diketahui bahwa dalam hukum waris Islam, harta peninggalan tidak dibagi dahulu sebelum diambil pembiayaan kematian kemudian untuk utang. Kalau masih ada sisanya dipotong lagi untuk wasiat maksimal sepertiga. Sisanya dibagi di antara para ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam.[6]
Kaidah di atas dipertegas lagi dengan kaidah:
لَامِلْكِيَةَ لِلْوَرَثَةِ إِلَّا بَعْدَ سَدَادِ الدَّيْن
Artinya: “Tidak ada hak kepemilikan harta bagi ahli waris setelah dilunasinya utang”
13.   
لَايَصِحّ الوَصِيَّةُ بِكُلِّ الماَ لِ
Artinya: “Tidak sah wasiat dengan keseluruhan harta”
Dhabith ini kemudian dipertegas oleh hadis nabi yang menyebutkan bahwa maksimal wasiat adalah sepertiga dari harta warisan dan sepertiga itu sudah banyak.[7]
Contohnya, Usman yang memiliki harta 10 Trilliun, maka tidak boleh mewasiatkan harta tersebut semuanya, karena maksimalnya hanya 1/3, jadi batasannya yang dapat diwasiatkan 3 Trilliun.
14.   
كُلُّ مَنْ مَاتَ مِنْ المسْلِمِيْنَ لَاوَارِثَ لَهُ فَمَالَهُ لِبَيْتِ الماَلِ
Artinya: “Setiap orang Islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya diserahkan kepada Bait al-Mal”
Contohnya, Saiful Unus yang tidak memiliki keluarga satupun, beliau juga memiliki harta berlimpah, maka harta tersebut diserahkan kepada Bait al-Mal.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam hukum Islam, hukum keluarga ini meliputi : pernikahan, waris, wasiat, wakaf dzurri (keluarga), dan hibah di kalangan keluarga. Kaidah-kaidah yang khusus di bidang ini antara lain: 1) Hukum asal pada masalah seks adalah haram. 2) Tidak ada hak bagi suami terhadap isterinya kecuali dalam batas-batas pernikahan dan tidak ada hak bagi isteri terhadap suaminya kecuali dalam batas-batas perintah syariah yang berhubungan dengan pernikahan. 3) Setiap dua orang wanita apabila salah satunya ditakdirkan (dianggap) sebagai laki-laki dan diharamkan untuk nikah di antara keduanya, maka kedua wanita haram untuk dimadu. 4) Akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar. 5) Setiap anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih haram pula dirabanya. 6) Wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir. 7) Barangsiapa yang menggantungkan talak kepada suatu sifat, maka talak tidak jatuh tanpa terwujudnya sifat tadi. 8) Setiap orang yang dihubungkan kepada yang meninggal melalui perantaraan, maka dia tidak mewarisi selama perantara itu ada. 9) Setiap orang yang mewarisi sesuatu, maka dia mewarisi pula hak-haknya (yang bersifat harta). 10) Kekerabatan yang lebih kuat menghalangi kekerabatan yang lebih lemah. 11) Tidak ada harta peninggalan kecuali setelah dibayar lunas utang 12) Tidak sah wasiat dengan keseluruhan harta. 13) Setiap orang Islam yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartanya diserahkan kepada Bait al-Mal.

B.  Kritik dan Saran
Sebagai seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan.oleh sebab itu, dalam memandang segala sesuatu penulis sarankan agar dengan hati yang jernih sehingga mudah bagi kita menerima kebenaran, karena segala sesuatu mempunyai manfaat. Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata sempurna seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis masih memerlukan banyak masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


[1]A. Djazuli, Ilmu Fiqih : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: kencana, 2006, hlm. 169.
[2]A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah -masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 122.
[3]Ibid.
[4]A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam. . . hlm. 123.
[5]A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam. . . hlm. 125.
[6]A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam. . . hlm. 127.
[7]A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-kaidah Hukum Islam. . . hlm. 128.
 



5 komentar: