AGAMA DALAM MASYARAKAT PRIMITIF
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Perbandingan
Agama
Dosen Pembina : Drs.
H. Jirhanuddin, M.Ag
Oleh
AHMAD
ZARKASI
NIM.
100 211 0339
JUMAIDI
NIM. 100 211 0334
YAKIN SOLEH
NIM. 100 211 0333
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434
H / 2013 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama dan
Primitif masing-masing memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di
salah artikan oleh orang-orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi
Agama dan posisi keadaan yg sangat sederhana pada suatu kehidupan.
Pada dasarnya agama primitif
mempunyai dua asal-usul yaitu : Pertama suatu ajaran yang bersumber
langsung dari Tuhan yang berupa wahyu yang kemudian diturunkan kepada manusia,
yang dimulai dengan
diturunkannya Adam kedunia, namun terjadi penyelewengan agama oleh para
pemeluknya. Sehingga agama yang pada dasarnya monotheisme menjadi politeisme kemudian dapatmenjadi animisme dan dinamisme . Maka oleh sebab itu Tuhan
menurunkan kembali utusannya guna meluruskan penyelewengan tersebut. Kedua agama bersumber pada kajian antropologis,
sosiologis, historis, dan psikologis, karena agama merupakan suatu fenomena
sosial ataupun spiritual yang mengalami evolusi dari bentuk yang sederhana ,
biasa disebut dengan agama primitif, kepada bentuk yang sempurna.
Maka dari itu, penulis selanjutnya
akan mengupas dalam makalah ini, pengertian agama primitif, dan bentuk-bentuk
agama primitif.
B.
Rumusan
Masalah
Untuk lebih memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis
terlebih dahulu membuat rumusan masalah. Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
1.
Apa
pengertian agama primitif?
2.
Bagaimana
bentuk-bentuk agama primitif?
3. Bagaimana pro-kontra tentang kepercayaan primitif?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini, antara lain.
1.
Agar pembaca mengetahui dan memahami
pengertian agama primitif.
2. Agar pembaca
mengetahui dan memahami bentuk-bentuk agama primitif.
3.
Agar pembaca mengetahui dan memahami pro-kontra tentang kepercayaan primitif?
D. Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan
masalah diatas maka penulis membatasi pembahasan ini hanya sesuai dengan
rumusan masalah. Adapun hal
lain yang tidak berhubungan dengan hal diatas tidak penulis uraikan pada
makalah ini.
E.
Metodologi Penulisan
Adapun metodologi penulisan yang
penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah research library dengan menggunakan buku perpustakaan dan dari
situs Internet sebagai bahan referensi.
a.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama Primitif
Primitif adalah sebuah kata sifat yang menunjukkan keadaan yang
sederhana, bersahaja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, primitif bisa berarti
keadaan yang sangat sederhana, belum maju, terbelakang (tentang peradaban,
kebudayaan misalnya), dan bisa juga bermakna sederhana.[1]
Adapun yang mula pertama sekali menggunakan istilah primitif
dikemukakan oleh Irving Babbit dan para tokoh Humanisme di Amerika. Kata primitif
kadang-kadang dinisbatkan kepada masyarakat, dan ada juga dinisbahkan kepada
agama. Kalau primitif dinisbahkan dengan agama, maka kata itu menjadi sebuah
kalimat, yaitu : “Agama Primitif”.
Menurut pendapat Dr. A.G.Honing sebagaimana yang dikutip oleh
Jirhanuddin dalam bukunya Perbandingan Agama, agama primitif itu adalah :
Susunan tertentu dari manusia, suatu cara tertentu di dalam mengalami dan
mendekati dunia dan Tuhan, suatu pandangan tertentu terhadap segala kehidupan
sekeliling manusia dan suatu mentalitas atau sikap rohani yang tertentu.[2]
Menurut
penulis, agama primitif adalah suatu rangkaian kegiatan yang dipraktekkan dalam
kehidupan masyarakat primitif yang bersumber dari para leluhur untuk mendekati
Tuhan dan menemukan ketenangan batin. Selanjutnya penulis menguraikan
agama-agama yang ada pada masyarakat primitif.
B.
Bentuk-bentuk Agama Primitif
Agama-agama
yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah Animisme, Dinamisme, Monoteisme Politeisme dll, adapun pembahasannya adalah
sebagai berikut :
1.
Animisme
Animisme berasal dari bahasa latin. Asal katanya adalah “anima”
yang berarti “nyawa, nafas, atau roh. Animisme berarti kepercayaan kepada roh
yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya). Animisme
adalah agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda baik yang bernyawa maupun
yang tidak bernyawa mempunyai roh.[3]
Taylor menyebutkan istilah
animisme untuk menyebut semua bentuk kepercayaan dalam makhluk-makhluk berjiwa.
Manifestasinya adalah Roh yang Maha tinggi
hingga pada roh halus yang tak terhitung banyaknya, roh leluhur, roh dalam
objek-objek alam.
Diantaranya berbagai macam roh yang dimaksud, yaitu :
1. Roh yang
berhubungan dengan manusia, yakni jiwa-jiwa manusia sebagai daya vital, roh
leluhur, roh jahat dari orang-orang yang meninggal dalam kondisi-kondisi tidak
wajar.
2. Roh yang berhubungan dengan objek-objek
alamiah bukan manusiawi, seperti air terjun, batu yang menonjol ke permukaan
bumi, pohon-pohon berbentuk aneh, roh dari tempat-tempat yang berbahaya, roh
binatang, roh dari benda-benda angkasa.
3.
Roh yang berhubungan dengan kekuatan alam, seperti angin, kilat,
banjir.
4.
Roh yang berhubungan dengan kelompok-kelompok sosial, dewa-dewa,
setan-setan dan para malaikat.[4]
2.
Dinamisme
Menurut Abu Ahmadi sebagaimana yang dikutip oleh Jirhanuddin dalam
bukunya Perbandingan Agama, dinamisme berasal dari bahasa Yunani “dynamis
atau dynaomos” yang artinya kekuatan atau tenaga. Jadi dinamisme adalah
ialah kepercayaan (anggapan) tentang adanya kekuatan yang terdapat pada berbagai barang, baik yang hidup (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan),
atau yang mati.[5] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, Dinamis memerupakan
kepercayaan bahwa segala sesuatu
mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup.
Pengertian
dinamisme sebagaimana penulis kutip dari Internet, yaitu :
Agama
dinamisme ialah : Agama yang mengandung kepercayaan pada kekuatan gaib yang
misterius. Dalam faham ini ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan
gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari. Kekuatan gaib itu ada
yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah
kekuatan gaib itu disebut ‘mana’ dan dalam bahasa Indonesia ‘tuah atau sakti’.[6]
Selanjutnya Harun Nasution menyebutkan, Dinamisme adalah suatu
paham bahwa ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan
berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari.[7]
Kekuatan gaib itu adalah yang bersifat baik dan ada pula yang
bersifat jahat. Benda yang mempunyai kekuatan gaib baik, disenangi dan dipakai
serta dimakan, agar orang yang memakainya dan memakannya senantiasa dipelihara
dan dilindungi oleh kekuatan gaib yang terdapat di dalamnya. Sedangkan benda
yang mempunyai kekuatan jahat, biasanya ditakuti dan oleh karena itu selalu
dijauhi.[8]
Adanya kekuatan gaib bersifat tidak tetap, ia
dapat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Di samping itu kekuatan
gaib tidak dapat dilihat, yang dapat dilihat hanyalah efek atau bekas dan
pengaruhnya. Umpamanya dalam bentuk kesuburan bagi sebidang tanah, rindang, dan
lebatnya buah bagi sebuah pohon, panjangnya umur seseorang, keberanian yang
luar biasa pada seorang pahlawan perang dan sebagainya. Apabila efek-efek atau pengaruh tersebut telah hilang dari tanah, pohon,
orang dan sebagainya, maka benda yang dianggap membawa kesuburan, kekuatan,
umur panjang, keberanian, dan sebagainya itupun tidak lagi dihargai. Dalam
bahasa Indonesia kekuatan gaib itu disebut dengan “Tuah” atau “Sakti”.[9]
3.
Politheisme
Politheisme
mengandung kepercayaan kepada banyak dewa atau tuhan. Politheisme lawan dari
monotheisme (satu tuhan). Dalam paham politheisme hal-hal yang menimbulkan
perasaan ta’ajub dan dahsyat buikan
lagi dikuasai oleh roh-roh, tapi oleh dewa-dewa.[10]
Menurut
Harun Nasution sebagaimana yang dikiutip oleh Jirhanuddin dalam bukunya Perbandingan
Agama, dalam paham politheisme dewa-dewa telah mempunyai tugas-tugas tetentu.
Ada dewa yang bertugas memeberi sinar atau cahaya dan panas. Dalam agaman mesir
kuno disebut dewa Ra. Dalam agama India disebut dewa Surya dan dalam agama
persia kuno disebut Mithra. Ada juga dewa yang bertugas menurunkan hujan, yang
diberi nama dewa Indera dalam agama India kuno. Selanjutnya ada pula dewa angin
yang disebut dewa Wata dalam Agama India kuno.[11]
Tujuan
beragama dalam paham politheisme bukanlah hanya sesajen dan
persembahan-persembahan kepada dewa-dewa, tetapi juga menyembah dan berdoa
kepada para dewa untuk menjatuhkan amarah pada dewa.[12]
Jadi, kalau mereka berdoa, mereka tidak hanya memohon
kepada satu dewa saja,
melainkan juga kepada dewa lain,
seperti memohon kepada dewa kebaikan untuk memberikan
hasil panen yang melimpah, sekaligus memohon kepada dewa kemurkaan agar jangan
memberikan suatu kemudharatan terhadap panen mereka, dan menghalang-halangi
pekerjaan dewa kebaikan.
C. Pro-Kontra tentang Kepercayaan Primitif
Dalam dunia ilmu
perbandingan agama muncul sebuah
pertanyaan, apakah kepercayaan primitif itu
termasuk agama atau bukan,
hal tersebut menimbulkan dua opsi, Ada pendapat
yang memasukkan primitif sebagai agama dan ada pula pendapat yang tidak memasukkan primitif
sebagai agama.
Meminjam definisi agama yang diungkapkan oleh Edward
Burnet Tylor dan Jhon Goerge Frezer, maka primitif dapat dimasukkan sebagai
agama, karena E.B Tylor mengatakan agama adalah kepercayaan kepada wujud yang
gaib atau spirit. Sedangkan J.G Frezer menjelaskan agama suatu pengikraran atau
pengakuan terhadap wujudnya kekuatan-kekuatan luar biasa (superior) yang
dipercaya mengatur dan mengawasi alam semesta serta kehidupan manusia. Kekuatan
yang super sebagaimana yang tersirat dalam batasan agama seperti diuraiakan di
atas, lalu serta-merta primitif dimasukkan sebagai agama, tampaknya masih belum
bisa memuaskan semua pihak yang berpendapat kepercayaan primitif sebagai suatu
agama.[13]
Maka dari itu, mereka melihat dari sisi lain,
yaitu melihat
elemen-elemen pokok yang terdapat dalam suatu agama secara umum kemudian
meneliti elemen-elemen yang terdapat
dalam kepercayaan primitif, jika terdapat kesamaan, maka kepercayaan primitif
dapat dimasukkan ke dalam agama.
Para
ahli agama menjelaskan bahwa suatu agama harus mengandung 4 (empat) unsur
pokok. Apabila tidak, maka “sesuatu” itu bukan agama. Empat unsur pokok
tersebut ialah :
1.
Adanya
Zat yang sakral.
2.
Adanya
kitab suci.
3.
Adanya
sistem ibadah
4.
Adanya
kelompok/jama’ah.
Mereka
yang berpendapat primitif termasuk agama mencoba menelusuri unsur-unsur pokok
suatu agama seperti yang diungkapkan di atas apakah juga terdapat dalam primitif.
Unsur
yang pertama, “Adanya Zat yang Sakral”. Dalam
kepercayaan primitif juga ditemui adanya kekuatan yang supernatural, boleh jadi
berupa spirit, roh (animus) atau mana, yaitu kekuatan (dynamus).
Malah dalam kepercayaan primitif terdapat adanya unsure zat atau kekuatan yang
luar biasa, yang bersifat Ilahi, dipuja dan disembah dengan bentuk kebaktian,
demi terwujudnya kelanggengan hidup individu dan masyarakat.
Unsur
yang kedua “kitab suci”. Secara fisik diakui unsur
ini memang tidak ada dalam dunia pemangku kepercayaan primitif, namun sesuatu
yang berfungsi sebagai Kitab Suci itu, yakni sebagai dasar atau landasan hidup
keagamaan dalam kalangan primitif juga ada, yaitu dengan tradisi lisan, yang
mendapat dukungan sepenuhnya dan secara kuat oleh apa yang disebut dengan mythos.
Unsur
yang ketiga, dalam kepercayaan primitif, Mythos-lah
yang dipandang sebagai pemberi arahan atau cara seseorang dalam menjalankan
ibadah, seperti :cara memberi sesajen.[14]
Unsur
yang keempat, adanya kelompok atau jamaah,
dalam pemangku kepercayaan primitif juga ditemui yang namanya kelompok atau
jama’ah.
Dari paparan di atas merupakan argumen yang pro bahwa
primitif adalah bagian dari agama, adapun yang kontra apabila primitif
merupakan bagian dari agama, mereka juga memiliki argumen yang kuat. Menurut
kelompok yang tidak setuju, mereka melihat dalam kepercayaan primitif ada
sesuatu yang tidak layak ada dalam sesuatu yang disebut agama. Hal itu ialah
penggunaan “Mantera” dan “Magi”.
Suatu mantera, merupakan kalimat magis yang dinyanyikan
atau diucapkan orang untuk memperoleh hasil-hasil yang dianggap berguna,
seperti yang ia inginkan, umpamanya untuk menimbulkan kasiat magis dari sebuah
benda, antara lain untuk menyembuhkan penyakit dan keinginan lainnya. Di
sinilah keberatan pihak yang menonak kepercayaan primitif sebagai agama.
Kalau mantera bersifat formula atau perkataan (tepatnya
bacaan), maka magi adalah bersifat perbuatan. Magi diartikan
sebagai suatu perbuatan yang menghasilkan proses gaib bagi pencapaian sesuatu
keperluan.
Menurut pihak-pihak yang menolak kepercayaan primitif
sebagai agama adalah disebabkan penilaian mereka terhadap magi itu
sebagai suatu perbuatan yang tidak sewajarnya dalam sesuatu yang disebut agama
dan merusak agama.
Secara logika, Magi memang tidak sewajarnya ada
dalam agama. Sebab superioritas apa yang telah diakui sebagai Tuhan, tentu
tidak memungkinkan lagi adanya kekuatan lain yang mampu menundukannya.[15]
Pemeluk agama, berbeda dengan pelaku magi (tukang sihir)
dan orang-orang agama, pemeluk agama memiliki sikap kagum dan hormat kepada
tujuan-tujuan sakral yang dikejarnya. Baginya tujuan-tujuan itu harus tidak
berlawanan dengan caranya. Di lain pihak pelaku magi seperti “sedang melakukan
bisnis” untuk memperoleh hasil-hasil yang praktis dan yang dipilih secara
seenaknya. Baginya sikap hormat dan kagum itu tidak diperlukan karena dia
adalah manipulator (dalang) dari yang gaib demi tercapainya tujuan-tujuan
pribadinya sendiri sedangkan langganannya, tidak lain adalah penyembah yang
gaib tersebut.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Primitif adalah sebuah kata sifat yang menunjukkan keadaan yang
sederhana, bersahaja. Sedangkan pengertian agama
primitif adalah susunan tertentu
dari manusia, suatu cara tertentu di dalam mengalami dan mendekati dunia dan
Tuhan, suatu pandangan tertentu terhadap segala kehidupan sekeliling manusia
dan suatu mentalitas atau sikap rohani yang tertentu.
Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah Dinamisme,
Animisme, Monoteisme Politeisme. Dalam ilmu perbandingan agama terdapat
perdebatan, apakah primitif dapat dikategorikan sebagai agama atau bukan,
pendapat yang setuju memiliki argumen, yaitu melihat
elemen-elemen pokok yang terdapat dalam suatu agama secara umum kemudian
meneliti elemen-elemen yang terdapat
dalam kepercayaan primitif, dan terdapat kesamaan, yaitu mengandung empat unsur pokok. 1) Adanya Zat yang sakral 2) Adanya kitab suci 3) Adanya sistem ibadah 4) Adanya
kelompok/jama’ah.
Pendapat yang menolak primitif dikategorikan sebagai
agama, karena mereka melihat dalam kepercayaan primitif ada sesuatu yang tidak
layak ada dalam sesuatu yang disebut agama. Hal itu ialah penggunaan “Mantera”
dan “Magi”.
Magi memang tidak sewajarnya ada dalam agama.
Sebab superioritas apa yang telah diakui sebagai Tuhan, tentu tidak
memungkinkan lagi adanya kekuatan lain yang mampu menundukannya.
B.
Kritik dan Saran
Sebagai
seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan.oleh sebab itu,
dalam memandang segala sesuatu penulis sarankan agar dengan hati yang jernih
sehingga mudah bagi kita menerima kebenaran, karena segala sesuatu mempunyai
manfaat. Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata sempurna seperti kata
pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis masih memerlukan
banyak masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
[4]Mariasusai
Dhuvamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 67.
[6]Http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/09/makalah-agama-primitif.html ( di unduh tanggal 25 Februari 2013.
[12]Ibid.
[14]Adapun
yang dimaksud “Cara” (sistem ibadah) itu ialah cara seseorang melakukan sesuatu
kegiatan keagamaan atau kebaktian. Istilah Islam untuk maksud ini adalah
“Ibadah”, atau upacara-upacara pemujaan serta kebaktian sebagaimana lazim
diistilahkan dalam agama Hindu/Budha dan Kristen. Lihat : Jirhanuddin, Perbandingan
Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 60.
[16]Elizabeth K. Nottingham, Agama dan
Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta : PT. RajaGrafindo,
2002, h. 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar