Rabu, 23 Juli 2014

AGAMA DALAM MASYARAKAT PRIMITIF



AGAMA DALAM MASYARAKAT PRIMITIF



Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Perbandingan Agama
Dosen Pembina : Drs. H. Jirhanuddin, M.Ag







Oleh


AHMAD ZARKASI
NIM. 100 211 0339

JUMAIDI
NIM. 100 211 0334

YAKIN SOLEH
NIM. 100 211 0333



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434 H / 2013 M


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama dan Primitif masing-masing memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang-orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi keadaan yg sangat sederhana pada suatu kehidupan.
Pada dasarnya agama primitif mempunyai dua asal-usul yaitu : Pertama suatu ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan yang berupa wahyu yang kemudian diturunkan kepada manusia, yang dimulai dengan diturunkannya Adam kedunia, namun terjadi penyelewengan agama oleh para pemeluknya. Sehingga agama yang pada dasarnya monotheisme menjadi politeisme kemudian dapatmenjadi animisme dan dinamisme . Maka oleh sebab itu Tuhan menurunkan kembali utusannya guna meluruskan penyelewengan tersebut. Kedua agama bersumber pada kajian antropologis, sosiologis, historis, dan psikologis, karena agama merupakan suatu fenomena sosial ataupun spiritual yang mengalami evolusi dari bentuk yang sederhana , biasa disebut dengan agama primitif, kepada bentuk yang sempurna.
Maka dari itu, penulis selanjutnya akan mengupas dalam makalah ini, pengertian agama primitif, dan bentuk-bentuk agama primitif.

B.     Rumusan Masalah
Untuk lebih memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis terlebih dahulu membuat rumusan masalah. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.   Apa pengertian agama primitif?
2.   Bagaimana bentuk-bentuk agama primitif?
3.   Bagaimana pro-kontra tentang kepercayaan primitif?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini, antara lain.
1.   Agar pembaca mengetahui dan memahami pengertian agama primitif.
2.   Agar pembaca mengetahui dan memahami bentuk-bentuk agama primitif.
3.   Agar pembaca mengetahui dan memahami pro-kontra tentang kepercayaan primitif?

D.    Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah diatas maka penulis membatasi pembahasan ini hanya sesuai dengan rumusan masalah. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal diatas tidak penulis uraikan pada makalah ini.

E.     Metodologi Penulisan
            Adapun metodologi penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah research library dengan menggunakan buku perpustakaan dan dari situs Internet sebagai bahan referensi.



a.       
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama Primitif
Primitif adalah sebuah kata sifat yang menunjukkan keadaan yang sederhana, bersahaja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, primitif bisa berarti keadaan yang sangat sederhana, belum maju, terbelakang (tentang peradaban, kebudayaan misalnya), dan bisa juga bermakna sederhana.[1]
Adapun yang mula pertama sekali menggunakan istilah primitif dikemukakan oleh Irving Babbit dan para tokoh Humanisme di Amerika. Kata primitif kadang-kadang dinisbatkan kepada masyarakat, dan ada juga dinisbahkan kepada agama. Kalau primitif dinisbahkan dengan agama, maka kata itu menjadi sebuah kalimat, yaitu : “Agama Primitif”.
Menurut pendapat Dr. A.G.Honing sebagaimana yang dikutip oleh Jirhanuddin dalam bukunya Perbandingan Agama, agama primitif itu adalah : Susunan tertentu dari manusia, suatu cara tertentu di dalam mengalami dan mendekati dunia dan Tuhan, suatu pandangan tertentu terhadap segala kehidupan sekeliling manusia dan suatu mentalitas atau sikap rohani yang tertentu.[2]
Menurut penulis, agama primitif adalah suatu rangkaian kegiatan yang dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat primitif yang bersumber dari para leluhur untuk mendekati Tuhan dan menemukan ketenangan batin. Selanjutnya penulis menguraikan agama-agama yang ada pada masyarakat primitif.

B.  Bentuk-bentuk Agama Primitif
Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah Animisme, Dinamisme, Monoteisme Politeisme dll, adapun pembahasannya adalah sebagai berikut :
1.   Animisme
Animisme berasal dari bahasa latin. Asal katanya adalah “anima” yang berarti “nyawa, nafas, atau roh. Animisme berarti kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya). Animisme adalah agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa mempunyai roh.[3]
 Taylor menyebutkan istilah animisme untuk menyebut semua bentuk kepercayaan dalam makhluk-makhluk berjiwa. Manifestasinya adalah Roh yang Maha tinggi hingga pada roh halus yang tak terhitung banyaknya, roh leluhur, roh dalam objek-objek alam.
Diantaranya berbagai macam roh yang dimaksud, yaitu :
1.   Roh yang berhubungan dengan manusia, yakni jiwa-jiwa manusia sebagai daya vital, roh leluhur, roh jahat dari orang-orang yang meninggal dalam kondisi-kondisi tidak wajar.
2.   Roh yang berhubungan dengan objek-objek alamiah bukan manusiawi, seperti air terjun, batu yang menonjol ke permukaan bumi, pohon-pohon berbentuk aneh, roh dari tempat-tempat yang berbahaya, roh binatang, roh dari benda-benda angkasa.
3.   Roh yang berhubungan dengan kekuatan alam, seperti angin, kilat, banjir.
4.   Roh yang berhubungan dengan kelompok-kelompok sosial, dewa-dewa, setan-setan dan para malaikat.[4]

2.   Dinamisme
Menurut Abu Ahmadi sebagaimana yang dikutip oleh Jirhanuddin dalam bukunya Perbandingan Agama, dinamisme berasal dari bahasa Yunani “dynamis atau dynaomos” yang artinya kekuatan atau tenaga. Jadi dinamisme adalah ialah kepercayaan (anggapan) tentang adanya kekuatan yang terdapat pada berbagai barang, baik yang hidup (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan), atau yang mati.[5] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, Dinamis memerupakan  kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup.
Pengertian dinamisme sebagaimana penulis kutip dari Internet, yaitu :
Agama dinamisme ialah : Agama yang mengandung kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut ‘mana’ dan dalam bahasa Indonesia ‘tuah atau sakti’.[6]

Selanjutnya Harun Nasution menyebutkan, Dinamisme adalah suatu paham bahwa ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari.[7]
Kekuatan gaib itu adalah yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Benda yang mempunyai kekuatan gaib baik, disenangi dan dipakai serta dimakan, agar orang yang memakainya dan memakannya senantiasa dipelihara dan dilindungi oleh kekuatan gaib yang terdapat di dalamnya. Sedangkan benda yang mempunyai kekuatan jahat, biasanya ditakuti dan oleh karena itu selalu dijauhi.[8]
Adanya kekuatan gaib bersifat tidak tetap, ia dapat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Di samping itu kekuatan gaib tidak dapat dilihat, yang dapat dilihat hanyalah efek atau bekas dan pengaruhnya. Umpamanya dalam bentuk kesuburan bagi sebidang tanah, rindang, dan lebatnya buah bagi sebuah pohon, panjangnya umur seseorang, keberanian yang luar biasa pada seorang pahlawan perang dan sebagainya. Apabila efek-efek atau pengaruh tersebut telah hilang dari tanah, pohon, orang dan sebagainya, maka benda yang dianggap membawa kesuburan, kekuatan, umur panjang, keberanian, dan sebagainya itupun tidak lagi dihargai. Dalam bahasa Indonesia kekuatan gaib itu disebut dengan “Tuah” atau “Sakti”.[9]

3.   Politheisme
Politheisme mengandung kepercayaan kepada banyak dewa atau tuhan. Politheisme lawan dari monotheisme (satu tuhan). Dalam paham politheisme hal-hal yang menimbulkan perasaan ta’ajub dan dahsyat buikan lagi dikuasai oleh roh-roh, tapi oleh dewa-dewa.[10]
Menurut Harun Nasution sebagaimana yang dikiutip oleh Jirhanuddin dalam bukunya Perbandingan Agama, dalam paham politheisme dewa-dewa telah mempunyai tugas-tugas tetentu. Ada dewa yang bertugas memeberi sinar atau cahaya dan panas. Dalam agaman mesir kuno disebut dewa Ra. Dalam agama India disebut dewa Surya dan dalam agama persia kuno disebut Mithra. Ada juga dewa yang bertugas menurunkan hujan, yang diberi nama dewa Indera dalam agama India kuno. Selanjutnya ada pula dewa angin yang disebut dewa Wata dalam Agama India kuno.[11]
Tujuan beragama dalam paham politheisme bukanlah hanya sesajen dan persembahan-persembahan kepada dewa-dewa, tetapi juga menyembah dan berdoa kepada para dewa untuk menjatuhkan amarah pada dewa.[12]
Jadi, kalau mereka berdoa, mereka tidak hanya memohon kepada satu dewa saja, melainkan juga kepada dewa lain, seperti memohon kepada dewa kebaikan untuk memberikan hasil panen yang melimpah, sekaligus memohon kepada dewa kemurkaan agar jangan memberikan suatu kemudharatan terhadap panen mereka, dan menghalang-halangi pekerjaan dewa kebaikan.

C. Pro-Kontra tentang Kepercayaan Primitif
Dalam dunia ilmu perbandingan agama muncul sebuah pertanyaan, apakah kepercayaan primitif itu termasuk agama atau bukan, hal tersebut menimbulkan dua opsi, Ada pendapat yang memasukkan primitif sebagai agama dan ada pula pendapat yang tidak memasukkan primitif sebagai agama.
Meminjam definisi agama yang diungkapkan oleh Edward Burnet Tylor dan Jhon Goerge Frezer, maka primitif dapat dimasukkan sebagai agama, karena E.B Tylor mengatakan agama adalah kepercayaan kepada wujud yang gaib atau spirit. Sedangkan J.G Frezer menjelaskan agama suatu pengikraran atau pengakuan terhadap wujudnya kekuatan-kekuatan luar biasa (superior) yang dipercaya mengatur dan mengawasi alam semesta serta kehidupan manusia. Kekuatan yang super sebagaimana yang tersirat dalam batasan agama seperti diuraiakan di atas, lalu serta-merta primitif dimasukkan sebagai agama, tampaknya masih belum bisa memuaskan semua pihak yang berpendapat kepercayaan primitif sebagai suatu agama.[13]
Maka dari itu, mereka melihat dari sisi lain, yaitu melihat elemen-elemen pokok yang terdapat dalam suatu agama secara umum kemudian meneliti elemen-elemen  yang terdapat dalam kepercayaan primitif, jika terdapat kesamaan, maka kepercayaan primitif dapat dimasukkan ke dalam agama.
Para ahli agama menjelaskan bahwa suatu agama harus mengandung 4 (empat) unsur pokok. Apabila tidak, maka “sesuatu” itu bukan agama. Empat unsur pokok tersebut ialah :
1.   Adanya Zat yang sakral.
2.   Adanya kitab suci.
3.   Adanya sistem ibadah
4.   Adanya kelompok/jama’ah.
Mereka yang berpendapat primitif termasuk agama mencoba menelusuri unsur-unsur pokok suatu agama seperti yang diungkapkan di atas apakah juga terdapat dalam primitif.
Unsur yang pertama, “Adanya Zat yang Sakral”. Dalam kepercayaan primitif juga ditemui adanya kekuatan yang supernatural, boleh jadi berupa spirit, roh (animus) atau mana, yaitu kekuatan (dynamus). Malah dalam kepercayaan primitif terdapat adanya unsure zat atau kekuatan yang luar biasa, yang bersifat Ilahi, dipuja dan disembah dengan bentuk kebaktian, demi terwujudnya kelanggengan hidup individu dan masyarakat.
Unsur yang kedua “kitab suci”. Secara fisik diakui unsur ini memang tidak ada dalam dunia pemangku kepercayaan primitif, namun sesuatu yang berfungsi sebagai Kitab Suci itu, yakni sebagai dasar atau landasan hidup keagamaan dalam kalangan primitif juga ada, yaitu dengan tradisi lisan, yang mendapat dukungan sepenuhnya dan secara kuat oleh apa yang disebut dengan mythos.
Unsur yang ketiga, dalam kepercayaan primitif, Mythos-lah yang dipandang sebagai pemberi arahan atau cara seseorang dalam menjalankan ibadah, seperti :cara memberi sesajen.[14]
Unsur yang keempat, adanya kelompok atau jamaah, dalam pemangku kepercayaan primitif juga ditemui yang namanya kelompok atau jama’ah.
Dari paparan di atas merupakan argumen yang pro bahwa primitif adalah bagian dari agama, adapun yang kontra apabila primitif merupakan bagian dari agama, mereka juga memiliki argumen yang kuat. Menurut kelompok yang tidak setuju, mereka melihat dalam kepercayaan primitif ada sesuatu yang tidak layak ada dalam sesuatu yang disebut agama. Hal itu ialah penggunaan “Mantera” dan “Magi”.
Suatu mantera, merupakan kalimat magis yang dinyanyikan atau diucapkan orang untuk memperoleh hasil-hasil yang dianggap berguna, seperti yang ia inginkan, umpamanya untuk menimbulkan kasiat magis dari sebuah benda, antara lain untuk menyembuhkan penyakit dan keinginan lainnya. Di sinilah keberatan pihak yang menonak kepercayaan primitif sebagai agama.
Kalau mantera bersifat formula atau perkataan (tepatnya bacaan), maka magi adalah bersifat perbuatan. Magi diartikan sebagai suatu perbuatan yang menghasilkan proses gaib bagi pencapaian sesuatu keperluan.
Menurut pihak-pihak yang menolak kepercayaan primitif sebagai agama adalah disebabkan penilaian mereka terhadap magi itu sebagai suatu perbuatan yang tidak sewajarnya dalam sesuatu yang disebut agama dan merusak agama.
                Secara logika, Magi memang tidak sewajarnya ada dalam agama. Sebab superioritas apa yang telah diakui sebagai Tuhan, tentu tidak memungkinkan lagi adanya kekuatan lain yang mampu menundukannya.[15]
Pemeluk agama, berbeda dengan pelaku magi (tukang sihir) dan orang-orang agama, pemeluk agama memiliki sikap kagum dan hormat kepada tujuan-tujuan sakral yang dikejarnya. Baginya tujuan-tujuan itu harus tidak berlawanan dengan caranya. Di lain pihak pelaku magi seperti “sedang melakukan bisnis” untuk memperoleh hasil-hasil yang praktis dan yang dipilih secara seenaknya. Baginya sikap hormat dan kagum itu tidak diperlukan karena dia adalah manipulator (dalang) dari yang gaib demi tercapainya tujuan-tujuan pribadinya sendiri sedangkan langganannya, tidak lain adalah penyembah yang gaib tersebut.[16]


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Primitif adalah sebuah kata sifat yang menunjukkan keadaan yang sederhana, bersahaja. Sedangkan pengertian agama primitif adalah susunan tertentu dari manusia, suatu cara tertentu di dalam mengalami dan mendekati dunia dan Tuhan, suatu pandangan tertentu terhadap segala kehidupan sekeliling manusia dan suatu mentalitas atau sikap rohani yang tertentu.
Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah Dinamisme, Animisme, Monoteisme Politeisme. Dalam ilmu perbandingan agama terdapat perdebatan, apakah primitif dapat dikategorikan sebagai agama atau bukan, pendapat yang setuju memiliki argumen, yaitu melihat elemen-elemen pokok yang terdapat dalam suatu agama secara umum kemudian meneliti elemen-elemen  yang terdapat dalam kepercayaan primitif, dan terdapat kesamaan, yaitu mengandung empat unsur pokok. 1) Adanya Zat yang sakral 2) Adanya kitab suci 3) Adanya sistem ibadah 4) Adanya kelompok/jama’ah.
Pendapat yang menolak primitif dikategorikan sebagai agama, karena mereka melihat dalam kepercayaan primitif ada sesuatu yang tidak layak ada dalam sesuatu yang disebut agama. Hal itu ialah penggunaan “Mantera” dan “Magi”.
Magi memang tidak sewajarnya ada dalam agama. Sebab superioritas apa yang telah diakui sebagai Tuhan, tentu tidak memungkinkan lagi adanya kekuatan lain yang mampu menundukannya.

B.  Kritik dan Saran
Sebagai seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan.oleh sebab itu, dalam memandang segala sesuatu penulis sarankan agar dengan hati yang jernih sehingga mudah bagi kita menerima kebenaran, karena segala sesuatu mempunyai manfaat. Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata sempurna seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis masih memerlukan banyak masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.



[1]Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 49.
[2]Ibid.
[3]Ibid.,  hlm. 53.
[4]Mariasusai Dhuvamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 67.
[5]Jirhanuddin, Perbandingan Agama,… hlm. 53.
[7]Ibid.
[8]Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 51.
[9]Ibid.
[10]Ibid., hlm. 60.
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 57.
[14]Adapun yang dimaksud “Cara” (sistem ibadah) itu ialah cara seseorang melakukan sesuatu kegiatan keagamaan atau kebaktian. Istilah Islam untuk maksud ini adalah “Ibadah”, atau upacara-upacara pemujaan serta kebaktian sebagaimana lazim diistilahkan dalam agama Hindu/Budha dan Kristen. Lihat : Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 60.
[15]Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 61.
[16]Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2002, h. 75.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar