NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF
FIKIH SIYASAH (Nomokrasi Islam)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Fikih Siyasah
Dosen Pembina : Drs. Surya Sukti, MA
Oleh
AHMAD
ZARKASI
NIM.
100 211 0339
YAKIN SOLEH
NIM. 100 211 0333
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434
H / 2013 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mengingat syariat tidak menyediakan aturan baku tentang sistem politik dan
pemerintahan, maka umat Islam harus berusaha mengeluarkan nilai-nilai hukum
yang terkandung dalam syariat sehingga dapat ditemukan rumusan yang paling
mungkin untuk menerjemahkan nilia-nilai tersebut ke dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Tak dapat dipungkiri bahwa Islam dan Politik memiliki hubungan yang erat
satu sama lain yang tidak dapat terpisahkan. Fakta tersebut juga didukung oleh
kenyataan sejarah bahwa berkembangnya Islam terkait dengan persoalan politik.
Pendirian negara Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dilanjutkan
dengan sistem khalifah Utsmaniyah yang runtuh tahun 1912 adalah fakta sejarah
yang tidak bisa terbantahkan.
Hal tersebut merupakan sejarah kemajuan Islam, kenyataan sekarang apabila
kita lihat di negara-negara Arab yang diharapkan menjadi pemimpin umat Islam
sedunia seperti pernah dilakukannya zaman Khulafa al-Rasyidin, tampak lebih
menonjol sifat Arabnya daripada sifat Islamnya. Negara Pakistan yang pernah
menghasilkan orang-orang besar muslim, seperti Ali Jinnah, Iqbal, Abul A’la
al-Maududi, pada saat sekarang juga sibuk dengan masalah di dalam negerinya
sendiri.
Berdasarkan hal di atas, maka selanjutnya penulis akan memberikan gambaran
relasi Islam dan politik, bentuk negara dan pemerintahan,
pengertian dan kedudukan negara hukum, dan negara hukum dalam perspektif fikih
siyasah.
B. Rumusan Masalah
Untuk lebih memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis
terlebih dahulu membuat rumusan masalah. Adapun yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana relasi Islam dan politik?
2.
Bagaimana bentuk negara dan pemerintahan?
3.
Apa pengertian dan kedudukan negara hukum?
4.
Bagaimana negara hukum dalam perspektif fikih siyasah?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1.
Agar pembaca memahami dan mengerti relasi Islam dan
politik?
2.
Agar pembaca memahami dan mengerti bentuk negara dan pemerintahan?
3.
Agar pembaca memahami dan mengerti pengertian dan
kedudukan negara hukum?
4.
Agar pembaca memahami dan mengerti negara hukum dalam
perspektif fikih siyasah?
D. Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah di
atas, maka penulis membatasi pembahasan pada makalah ini hanya sesuai yang
terdapat dalam rumusan masalah tersebut. Adapun hal lain yang tidak berhubungan
dengan hal di atas tidak penulis uraikan pada makalah ini.
E.
Metode Penulisan
Adapun metode yang penulis pergunakan dalam
penulisan makalah ini yaitu dengan metode research
library dengan menggunakan buku perpustakaan dan browsing internet sebagai
bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang ada kaitannya dengan makalah yang
penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Relasi Islam dan Politik
Prinsip politik di dalam Islam bukanlah
menganut faham “theocratisme” seperti Gereja pada Abad Pertengahan, di
mana sekumpulan kaum agama mengangkat kaum agama menjadi “Wakil Tuhan” yang
berhak menentukan nasib berjuta-juta rakyat dengan memakai nama Tuhan. Islam
bukan pula membenarkan faham “secularisme” pada zaman sekarang, yang
hendak menghapuskan pengaruh agama dari lapangan politik.[1]
Politik kenegaraan dalam Islam harus berdasarkan ajaran-ajaran Tuhan yang
terdapat dalam agama, dan juga berdasarkan suara rakyat yang diperoleh dalam
musyawarah.
Paradigma relasi Islam dan politik terbagi menjadi tiga pandangan, pertama
mengintegrasikan pola hubungan antara agama dan Negara bersifat formal adalah
Abdul-a’la Al Maududi (1903-1979) pemimpin jama’at Islami, Hasan Al-Banna
(1906-1949), Sayyid Qutb (1906-1949) pentolan gerakan Ikhwanul Muslimin
Ruhullah Ali Khoemaini (pemimpin revolusi Iran). Selain tokoh-tokoh tersebut di
atas, yaitu Al Mawardi, Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, Rasyid Ridho dan
Taqiyuddin An-Nabhani.[2]
Kedua, merupakan anti tesis kelompok pertama yang disebut dengan
kelompok sekularistik. Kelompok ini berpandangan Islam tidak terkait dengan
urusan politik kenegaraan karena agama adalah urusan manusia dengan Tuhannya,
sedangkan negara adalah urusan manusia dengan manusia lainnya. Salah satu tokoh
Islam yang populer adalah Ali Abdul Raziq. Ketiga, kelompok yang
memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik mutualistik, yaitu
hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Negara tidak perlu memakai hukum
Islam secara legal formal, tetapi hanya dijadikan pijakan moral dalam menata
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pandangan simbiosis mutualisme ini
dikemukakan oleh beberapa tokoh, yaitu Nasr Hamid, Abdul Zaid, Muhammad Abduh
dan Abdurrahman Wahid.[3]
Menurut penulis, dari ketiga paradigma di atas, masing-masing memiliki
pandangan yang berbeda, terutama hubungan antara agama dan negara. Pada
kalangan yang memisahkan (separatik sekularistik) tidak terjadi titik
temu dengan kalangan yang menyatukan (organistik integralistik), dan
pandangan moderat (simbiotik mutualistik) menganggap Islam tidak diatur
secara tegas mengenai masalah ketatanegaraan dan tidak pula memisahkan antara
keduanya, akan tetapi di dalam Islam terdapat seperangkat tata nilai atau
prinsip-prinsip dasar, masalah-masalah ketatanegaraan, pemahaman rincian detail
dan praktisnya diserahkan kepada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
B.
Perkembangan Bentuk Negara dan Pemerintahan dalam
Islam
1. Bentuk Negara
Dalam Islam, tidak terdapat tuntunan dalil yang pasti
tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan yang harus dipraktekkan oleh umat
Islam pasca wafatnya Rasulullah Saw. Akibatnya, dalam sejarah politik umat
Islam mulai zaman Khulafa’ur Rasidin sampai runtuhnya dinasti Usmaniyah di
Turki, bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dipakai oleh umat Islam
selalu mengalami perubahan.[4]
Namun apabila dilihat secara historis, ummat Islam telah mempraktekan kehidupan
politik yang beragam dan menjalankan bentuk Negara dan sistem pemerintahan, kedua
bentuk Negara tersebut adalah Negara kesatuan dan serikat (federal), dan
keduanya hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan kondisi yang
dihadapinya.
a. Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah bentuk Negara dimana wewenang kekuasaan
tertinggi dipusatkan dipusat. Kekuasaan
terletak pada pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat mempunyai wewenang untuk
menyerahkan sebagian kekuasaanya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara
kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan
tertinggi tetap berda pada pemerintahan pusat.[5]
Adapun ciri khas dari negara kesatuan adalah :
1)
Adanya supremasi dari Parlemen/Lembaga Perwakilan Rakyat Pusat, dalam kasus
Indonesia adalah MPR.
2)
Tidak adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan.[6]
b. Negara Serikat (Federal)
Bentuk Negara serikat (federal) adalah Negara diberikan
hak untuk mengelola mengatur dirinya sendiri sesuai dengan karakteristik dan
budaya yang dimiliki. Bentuk Negara ini baru diberlakukan pasca renaissanse (peralihan
dari zaman pertengahan ke zaman moderen), Negara serikat (federal) merupakan
pemikiran yang berasal dari Barat
yang pertama kali diperkenalkan C.F. Strong dan K.C.
Wheare.
Negara serikat (federal)
menjadi sebuah alternatif bagi pemerintaan kehidupan demi terciptanya kesejahteraan
hakiki. Inti dari negara yang memakai sistem federal adalah pemberian kebebasan
dan wewenang pada negara-negara bagian untuk mengelola daerahnya
sendiri sesuai dengan karakteristik
yang berada di masing-masing federal
disesuikan dengan kemampuan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
dimilikinya. Tujuannya adalah tercapainya ekonomi dan kesejahteraan.
Bentuk negara serikat (federal) ini diharapkan
dapat meminimalisir tindakan-tindakan
kesewenang-wenangan seperti pengerukan sumber daya alam yang ada di daerah
untuk kepentingan
pusat, kesenjangan antara pusat dan daerah, ketidak adilan dalam masalah
ekonomi dan pembangunan serta terjadinya sentralisasi dalam berbagai bidang
sehingga mengancam eksistensi dalam berbagai bidang yang ada di daerah seperti
budaya, ekonomi, sosial, politik dan hukum.[7]
Adapun ciri khas dari negara serikat (federal) adalah:
1)
Adanya supremasi dari konstitusi di mana federasi itu terwujud.
2)
Adanya pembagian kekuasaan negara-negara serikat (federal) dan
negara-negara bagian.
3)
Adanya suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan satu
perselisihan antara pemerintah federal dan pemerintahan negara bagian.[8]
Menurut penulis, bentuk negara kesatuan dan negara serikat (federal) mempunyai
sistem tersendiri dalam pelaksanaannya. Masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan. Negara kesatuan mempunyai kelebihan adanya keseragaman peraturan
dalam wilayah sesuai wewenang yang terletak pada pemerintahan tertinggi
(presiden atau raja) dalam menentukan segala kebijakannya. Kekurangannya,
segala urusan pemerintahan menumpuk di pusat, sehingga menghambat kelancaran
dalam prosesnya, antara lain proses peninjauan kembali yang menumpuk pada
lembaga Mahkamah Agung. Sedangkan Negara federal memiliki kelebihan dapat
menyesuaikan dengan karakteristik dan budaya yang dimiliki sesuai dengan
kondisi wilayah tersebut, kemudian dikembangkan sesuai dengan kondisi sumberdaya
alam, demi kesejahteraan rakyat secara mutlak. Kekurangannya, tidak semua
wilayah mendapatkan hasil sumber daya alam yang sama, sehingga terjadi
kesenjangan sosial, kurang keseragaman dalam perundang-undangan dan
administrasi sehingga menimbulkan kebingungan berwarga negara dalam berbagai
wilayah.
C. Pengertian dan
Kedudukan Negara Hukum
Secara sederhana yang dimaksud negara hukum adalah suatu
negara yang berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai sebagai
kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi[9] Dalam kepustakaan berbahasa Indonesia telah populer
dengan istilah “negara hukum”. Ada pendapat yang mengatakan istilah negara
hukum merupakan terjemahan dari istilah “rechsstaat” atau “The Rule
of Law”.[10] Konsep
negara hukum di Eropa dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius
Stahl dll dengan menggunakan istilah istilah rechsstaat. Sedangkan di Amerika
Serikat konsep negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan The
Rule of Law.
Secara historis,
pada abad ke XIX konsep negara hukum yang didasarkan pada paham legisme yang
berpandangan bahwa hukum itu sama dengan Undang-undang sehingga tindakan hukum
berarti menegakkan Undang-undang/produk hukum yang dihasilkan badan legislatif,
sehingga apapun Undang-undang yang dihasilkan badan legislatif haruslah
dipatuhi, negara tidak berhak campur tangan. Sehingga dalam praktik para
anggota parlemen yang membuat Undang-undang, dapat membuat produk hukum yang
menguntungkan kaum kapitalis yang didasarkan atas kepentingan anggota parlemen
saja, hal tersebut dinamakan negara hukum formal. Sedangkan negara hukum dalam
arti material melihat bahwa hukum bukan hanya secara formal ditetapkan oleh
lembaga legislatif tetapi yang dipentingkan adalah nilai keadilannya. Seperti
yang berlaku di Inggris misalnya bisa saja Undang-undang dikesampingkan apabila bertentangan dengan rasa keadilan.
Oleh karenanya, penegakan hukum itu berarti penegakan keadilan dan kebenaran.
Perumusan ciri-ciri Negara Hukum pada konferensi di
Bangkok pada tahun 1965 mencirikan
konsep negara hukum yang dinamis atau konsep negara hukum material sebagai
berikut :
1.
Perlindungan konstitusi, artinya selain menjamin hak-hak individu,
konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan
atas hak-hak yang dijamin.
2.
Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3.
Adanya pemilihan Umum yang bebas.
4.
Adanya kebebasan menyatakan pendapat.
5.
Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
6.
Adanya pendidikan kewarganegaraan.[11]
Menurut hadjon, elemen-elemen penting negara
hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah: keserasian hubungan antara
pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan, penyelesaian sengketa secara
musyawarah dan peradilan merupakan saran terakhir jika musyawarah gagal,
keseimbangan antara hak dan kewajiban.[12]
Pemikiran-pemikiran berkaitan dengan konsepsi negara menurut
perspektif fikih siyasah haruslah dilandaskan kepada Al-Quran dan Hadits. Dalam meninjau pemikiran negara dalam Islam dapat pertama-tama
meninjaunya dari Al-Quran sebagai
sumber utama pemikiran Islam. Negara sangat terkait erat dengan kekuasaan
(politik), kekuasaan politik disini relevan dengan kata Al-Hukm.[13]
Kata Al-hukm dan kata-kata yang
terbentuk dari kata tersebut dipergunakan dalam Al-Quran
sejumlah 210 buah. Diantaranya terdapat kata kerja dengan pola hakama “memutuskan
perkara,membuat keputusan” 45 buah ; pola ahkama “mengokohkan” dua kali; dan
pola tahakama
“berhakimkan atau mengikuti keputusan seseorang” sekali. Kata Al Hukm sendiri
merupakan masdar kata kerja hakama-yahkumu-hukman yang
dipergunakan 30 kali. Kata hukm ini dialihbahasakan menjadi
kata hukum dalam
bahasa Indonesia dengan arti “peraturan, ketentuan, atau putusan”. Dalam bahasa
arab kata tersebut dapat dipergunakan secara konotatif perbuatan atau sifat.[14].
Bertolak dari sini, sebagai perbuatan, hukum bermakna
membuat atau menjalankan keputusan, dalam hal ini obyek atau hasil perbuatan,
kata tersebut merujuk kepada sesuatu yang diputuskan, yakni keputusan atau
peraturan seperti yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan kata hukum. makna
tersebut apabila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat maka kata tersebut dapat
mengandung makna pembuat kebijaksanaan atau sebagai upaya pengaturan
masyarakat.
Menurut pendapat penulis, negara hukum adalah negara yang
berdasarkan kepada dasar hukum yang dibuat untuk dijadikan sebuah landasan.
Sedangkan landasan hukum Indonesia terletak pada prinsip Pancasila yang utama
yang dijabarkan di dalam Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, kemudian dilaksanakan oleh
seluruh rakyat Indonesia berdasarkan hukum yang berlaku di dalamnya secara
menyeluruh (Nasional), bagi masyarakat yang melanggar peraturan-peraturan tersebut
dapat dihukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
D.
Negara Hukum dalam Perspektif Fikih Siyasah
Negara Islam
adalah negara yang konstitusional atau negara yang berdasarkan
syariat. Negara ini mempunyai kontitusi
sebagai landasan dan hukum sebagai pedoman.
Konstitusi negara Islam adalan
prinsip dan hukum syariat yang dibawa oleh Al-Quran
dan dijelaskan oleh Sunah Rasulullah yang berkaitan dengan akidah, ibadah, moral,
pergaulan sosial, hubungan baik pribadi, disiplin,
kriminal, administarasi, konstitusi, dan internasional.[15]
Dasar yang paling utama bagi negara adalah bahwa alhakimiyah kekuasan legislatif dan
kedaulatan hukum tertinggi berada di tangan Allah Swt sendiri, dan bahwa
pemerintahan kaum mukminin pada dasarnya dan pada hakikaitnya adalah khalifah
atau perwakilan, dan bukannya pemerintahan yang lepas kendalinya dalam segala
yang diperbuat, tetapi harus bertindak
di bawah undang-undang ilahi yang bersunber dan diambil dari kitab Allah dan
Sunah Rasulnya.
Pendapat penulis mengenai fikih siyasah negara hukum Islam adalah landasan
paling utama adalah Al-Qur’an sebagaimana sumber utama, dan Hadis sebagai
sumber kedua dalam menetapkan suatu hukum, dan ijtihad para ulama sebagai
pegangan untuk memecahkan berbagai macam permasalahan di masyarakat yang tidak
boleh bertentangan dengan sumber utama. Sedangkan menurut negara hukum di
Indonesia landasan paling utama adalah Undang-undang Dasar 1945 sebagai pedoman
setiap rakyat Indonesia, dan selanjutnya peraturan-peraturan yang ada sebagai
pendukung yang tidak boleh bertentangan Undang-undang Dasar 1945.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Negara Madinah yang didirikan Rasulullah Saw
memiliki kecenderungan religius, karena dengan menguasai pemerintahan suatu negara
maka lebih mudah dalam memerangi suku Arab yang menentang dan memusuhi ajaran
Islam, dan agar syariat Islam yang dibawanya dapat dilaksanakan oleh seluruh
rakyatnya. Perkembangan bentuk negara dan pemerintahan terbagi menjadi dua,
yaitu negara kesatuan dan negara serikat (federal). Negara hukum adalah suatu
negara yang berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai sebagai
kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi.
Dasar yang paling utama bagi negara adalah
bahwa alhakimiyah kekuasan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi berada di
tangan Allah Swt sendiri, dan bahwa pemerintahan kaum mukminin pada dasarnya
dan pada hakikaitnya adalah khalifah atau perwakilan, dan bukannya pemerintahan
yang lepas kendalinya dalam segala yang diperbuat, tetapi harus bertindak di
bawah undang-undang ilahi yang bersunber dan diambil dari kitab Allah dan Sunah
Rasulnya.
B.
Kritik dan Saran
Persoalan
politik bukan sekedar permasalahan menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kepimimpinan Negara semata,
melainkan juga permasalahan menata
kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Karena itu, yang penting bukan hanya
pengusaan kekuasaan struktur politik formal saja, melainkan juga proses budaya politik sesuai dengan prinsip-prinsip islami. Bila ini tidak terjadi, maka kenyataan sekularlah (pemisahan agama dan negara) yang akan terwujud, dan hanya akan menjauhkan umat dari tujuan
utamanya.
[1]Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik II : Konsep Politik dan Ideologi Islam,
Jakarta : Bulan Bintang, 1977, hlm. 84.
[2]Khoirul Anam, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer, Yogyakarta
: Ide Pustaka, 2009, hlm. 32.
[5]Ali Geno, Http://aligenoberutu.blogspot.com/2012/04/bentuk-negara-dan-sistem-pemerintah
an.html ( di akses pada tanggal 14 Maret 2013 pukul 19.00 WIB).
[6]A. Djazuli, Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Umat dalam
Rambu-rambu Syariah, Jakarta, Kencana, 2003, hlm. 110.
[7]Khoirul, Anam, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer......,
hlm. 139-140.
[8]A.Djazuli, Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Umat dalam
Rambu-rambu Syariah....., hlm. 110.
[10]Nc, Negara Hukum, Notcupz, blogspot.com/2011/06/negara-hukum.html ( di akses pada tanggal 8 April 2013
pukul 20.30 WIB).
[11]Mohammad Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta :
Gama Media Offset, 1999, hlm. 121.
[13]Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam
Al-Quran, Rajawali Press, Jakarta, 1994, hlm. 159.
[14]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar