Selasa, 22 Juli 2014

NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF FIKIH SIYASAH (Nomokrasi Islam)



NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF
FIKIH SIYASAH (Nomokrasi Islam)


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Fikih Siyasah
Dosen Pembina : Drs. Surya Sukti, MA






Oleh


AHMAD ZARKASI
NIM. 100 211 0339

YAKIN SOLEH
NIM. 100 211 0333






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434 H / 2013 M


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengingat syariat tidak menyediakan aturan baku tentang sistem politik dan pemerintahan, maka umat Islam harus berusaha mengeluarkan nilai-nilai hukum yang terkandung dalam syariat sehingga dapat ditemukan rumusan yang paling mungkin untuk menerjemahkan nilia-nilai tersebut ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tak dapat dipungkiri bahwa Islam dan Politik memiliki hubungan yang erat satu sama lain yang tidak dapat terpisahkan. Fakta tersebut juga didukung oleh kenyataan sejarah bahwa berkembangnya Islam terkait dengan persoalan politik. Pendirian negara Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dilanjutkan dengan sistem khalifah Utsmaniyah yang runtuh tahun 1912 adalah fakta sejarah yang tidak bisa terbantahkan.
Hal tersebut merupakan sejarah kemajuan Islam, kenyataan sekarang apabila kita lihat di negara-negara Arab yang diharapkan menjadi pemimpin umat Islam sedunia seperti pernah dilakukannya zaman Khulafa al-Rasyidin, tampak lebih menonjol sifat Arabnya daripada sifat Islamnya. Negara Pakistan yang pernah menghasilkan orang-orang besar muslim, seperti Ali Jinnah, Iqbal, Abul A’la al-Maududi, pada saat sekarang juga sibuk dengan masalah di dalam negerinya sendiri.
Berdasarkan hal di atas, maka selanjutnya penulis akan memberikan gambaran relasi Islam dan politik, bentuk negara dan pemerintahan, pengertian dan kedudukan negara hukum, dan negara hukum dalam perspektif fikih siyasah.

B.  Rumusan Masalah
Untuk lebih memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis terlebih dahulu membuat rumusan masalah. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.   Bagaimana relasi Islam dan politik?
2.   Bagaimana bentuk negara dan pemerintahan?
3.   Apa pengertian dan kedudukan negara hukum?
4.   Bagaimana negara hukum dalam perspektif fikih siyasah?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1.   Agar pembaca memahami dan mengerti relasi Islam dan politik?
2.   Agar pembaca memahami dan mengerti bentuk negara dan pemerintahan?
3.   Agar pembaca memahami dan mengerti pengertian dan kedudukan negara hukum?
4.   Agar pembaca memahami dan mengerti negara hukum dalam perspektif fikih siyasah?

D. Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi pembahasan pada makalah ini hanya sesuai yang terdapat dalam rumusan masalah tersebut. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal di atas tidak penulis uraikan pada makalah ini.

E.  Metode Penulisan
Adapun metode yang penulis pergunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan metode research library dengan menggunakan buku perpustakaan dan browsing internet sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang ada kaitannya dengan makalah yang penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Relasi Islam dan Politik
Prinsip politik di dalam Islam bukanlah menganut faham “theocratisme” seperti Gereja pada Abad Pertengahan, di mana sekumpulan kaum agama mengangkat kaum agama menjadi “Wakil Tuhan” yang berhak menentukan nasib berjuta-juta rakyat dengan memakai nama Tuhan. Islam bukan pula membenarkan faham “secularisme” pada zaman sekarang, yang hendak menghapuskan pengaruh agama dari lapangan politik.[1] Politik kenegaraan dalam Islam harus berdasarkan ajaran-ajaran Tuhan yang terdapat dalam agama, dan juga berdasarkan suara rakyat yang diperoleh dalam musyawarah.
Paradigma relasi Islam dan politik terbagi menjadi tiga pandangan, pertama mengintegrasikan pola hubungan antara agama dan Negara bersifat formal adalah Abdul-a’la Al Maududi (1903-1979) pemimpin jama’at Islami, Hasan Al-Banna (1906-1949), Sayyid Qutb (1906-1949) pentolan gerakan Ikhwanul Muslimin Ruhullah Ali Khoemaini (pemimpin revolusi Iran). Selain tokoh-tokoh tersebut di atas, yaitu Al Mawardi, Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, Rasyid Ridho dan Taqiyuddin An-Nabhani.[2] Kedua, merupakan anti tesis kelompok pertama yang disebut dengan kelompok sekularistik. Kelompok ini berpandangan Islam tidak terkait dengan urusan politik kenegaraan karena agama adalah urusan manusia dengan Tuhannya, sedangkan negara adalah urusan manusia dengan manusia lainnya. Salah satu tokoh Islam yang populer adalah Ali Abdul Raziq. Ketiga, kelompok yang memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik mutualistik, yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Negara tidak perlu memakai hukum Islam secara legal formal, tetapi hanya dijadikan pijakan moral dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Pandangan simbiosis mutualisme ini dikemukakan oleh beberapa tokoh, yaitu Nasr Hamid, Abdul Zaid, Muhammad Abduh dan Abdurrahman Wahid.[3]
Menurut penulis, dari ketiga paradigma di atas, masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, terutama hubungan antara agama dan negara. Pada kalangan yang memisahkan (separatik sekularistik) tidak terjadi titik temu dengan kalangan yang menyatukan (organistik integralistik), dan pandangan moderat (simbiotik mutualistik) menganggap Islam tidak diatur secara tegas mengenai masalah ketatanegaraan dan tidak pula memisahkan antara keduanya, akan tetapi di dalam Islam terdapat seperangkat tata nilai atau prinsip-prinsip dasar, masalah-masalah ketatanegaraan, pemahaman rincian detail dan praktisnya diserahkan kepada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
                                                                                 
B.  Perkembangan Bentuk Negara dan Pemerintahan dalam Islam
1.   Bentuk Negara
Dalam Islam, tidak terdapat tuntunan dalil yang pasti tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan yang harus dipraktekkan oleh umat Islam pasca wafatnya Rasulullah Saw. Akibatnya, dalam sejarah politik umat Islam mulai zaman Khulafa’ur Rasidin sampai runtuhnya dinasti Usmaniyah di Turki, bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dipakai oleh umat Islam selalu mengalami perubahan.[4] Namun apabila dilihat secara historis, ummat Islam telah mempraktekan kehidupan politik yang beragam dan menjalankan bentuk Negara dan sistem pemerintahan, kedua bentuk Negara tersebut adalah Negara kesatuan dan serikat (federal), dan keduanya hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.


a.    Negara Kesatuan
               Negara kesatuan adalah bentuk Negara dimana wewenang kekuasaan tertinggi dipusatkan dipusat. Kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaanya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap berda pada pemerintahan pusat.[5] Adapun ciri khas dari negara kesatuan adalah :
1)      Adanya supremasi dari Parlemen/Lembaga Perwakilan Rakyat Pusat, dalam kasus Indonesia adalah MPR.
2)      Tidak adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan.[6]

b.   Negara Serikat (Federal)
Bentuk Negara serikat (federal) adalah Negara diberikan hak untuk mengelola mengatur dirinya sendiri sesuai dengan karakteristik dan budaya yang dimiliki. Bentuk Negara ini baru diberlakukan pasca renaissanse (peralihan dari zaman pertengahan ke zaman moderen), Negara serikat (federal) merupakan pemikiran yang berasal dari Barat yang pertama kali diperkenalkan C.F. Strong dan K.C. Wheare.
Negara serikat (federal) menjadi sebuah alternatif bagi pemerintaan kehidupan demi terciptanya kesejahteraan hakiki. Inti dari negara yang memakai sistem federal adalah pemberian kebebasan dan wewenang pada negara-negara bagian untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan karakteristik yang berada di masing-masing federal disesuikan dengan kemampuan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Tujuannya adalah tercapainya ekonomi dan kesejahteraan. Bentuk negara serikat (federal) ini diharapkan dapat meminimalisir tindakan-tindakan kesewenang-wenangan seperti pengerukan sumber daya alam yang ada  di daerah  untuk kepentingan pusat, kesenjangan antara pusat dan daerah, ketidak adilan dalam masalah ekonomi dan pembangunan serta terjadinya sentralisasi dalam berbagai bidang sehingga mengancam eksistensi dalam berbagai bidang yang ada di daerah seperti budaya, ekonomi, sosial, politik dan hukum.[7] Adapun ciri khas dari negara serikat (federal) adalah:
1)      Adanya supremasi dari konstitusi di mana federasi itu terwujud.
2)      Adanya pembagian kekuasaan negara-negara serikat (federal) dan negara-negara bagian.
3)      Adanya suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan satu perselisihan antara pemerintah federal dan pemerintahan negara bagian.[8]

Menurut penulis, bentuk negara kesatuan dan negara serikat (federal) mempunyai sistem tersendiri dalam pelaksanaannya. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Negara kesatuan mempunyai kelebihan adanya keseragaman peraturan dalam wilayah sesuai wewenang yang terletak pada pemerintahan tertinggi (presiden atau raja) dalam menentukan segala kebijakannya. Kekurangannya, segala urusan pemerintahan menumpuk di pusat, sehingga menghambat kelancaran dalam prosesnya, antara lain proses peninjauan kembali yang menumpuk pada lembaga Mahkamah Agung. Sedangkan Negara federal memiliki kelebihan dapat menyesuaikan dengan karakteristik dan budaya yang dimiliki sesuai dengan kondisi wilayah tersebut, kemudian dikembangkan sesuai dengan kondisi sumberdaya alam, demi kesejahteraan rakyat secara mutlak. Kekurangannya, tidak semua wilayah mendapatkan hasil sumber daya alam yang sama, sehingga terjadi kesenjangan sosial, kurang keseragaman dalam perundang-undangan dan administrasi sehingga menimbulkan kebingungan berwarga negara dalam berbagai wilayah.
C.    Pengertian dan Kedudukan Negara Hukum
Secara sederhana yang dimaksud negara hukum adalah suatu negara yang berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi[9] Dalam kepustakaan berbahasa Indonesia telah populer dengan istilah “negara hukum”. Ada pendapat yang mengatakan istilah negara hukum merupakan terjemahan dari istilah “rechsstaat” atau “The Rule of Law”.[10] Konsep negara hukum di Eropa dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl dll dengan menggunakan istilah istilah rechsstaat. Sedangkan di Amerika Serikat konsep negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law.
 Secara historis, pada abad ke XIX konsep negara hukum yang didasarkan pada paham legisme yang berpandangan bahwa hukum itu sama dengan Undang-undang sehingga tindakan hukum berarti menegakkan Undang-undang/produk hukum yang dihasilkan badan legislatif, sehingga apapun Undang-undang yang dihasilkan badan legislatif haruslah dipatuhi, negara tidak berhak campur tangan. Sehingga dalam praktik para anggota parlemen yang membuat Undang-undang, dapat membuat produk hukum yang menguntungkan kaum kapitalis yang didasarkan atas kepentingan anggota parlemen saja, hal tersebut dinamakan negara hukum formal. Sedangkan negara hukum dalam arti material melihat bahwa hukum bukan hanya secara formal ditetapkan oleh lembaga legislatif tetapi yang dipentingkan adalah nilai keadilannya. Seperti yang berlaku di Inggris misalnya bisa saja Undang-undang dikesampingkan  apabila bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karenanya, penegakan hukum itu berarti penegakan keadilan dan kebenaran.
Perumusan ciri-ciri Negara Hukum pada konferensi di Bangkok pada tahun 1965  mencirikan konsep negara hukum yang dinamis atau konsep negara hukum material sebagai berikut :
1.      Perlindungan konstitusi, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2.      Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3.      Adanya pemilihan Umum yang bebas.
4.      Adanya kebebasan menyatakan pendapat.
5.      Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
6.      Adanya pendidikan kewarganegaraan.[11]

Menurut hadjon, elemen-elemen penting negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah: keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan, penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan saran terakhir jika musyawarah gagal, keseimbangan antara hak dan kewajiban.[12] 

Pemikiran-pemikiran berkaitan dengan konsepsi negara menurut perspektif fikih siyasah haruslah dilandaskan kepada Al-Quran dan Hadits. Dalam meninjau pemikiran negara dalam Islam dapat pertama-tama meninjaunya dari Al-Quran sebagai sumber utama pemikiran Islam. Negara sangat terkait erat dengan kekuasaan (politik), kekuasaan politik disini relevan dengan kata Al-Hukm.[13]
 Kata Al-hukm dan kata-kata yang terbentuk dari kata tersebut dipergunakan dalam Al-Quran sejumlah 210 buah. Diantaranya terdapat kata kerja dengan pola hakama “memutuskan perkara,membuat keputusan” 45 buah ; pola ahkama “mengokohkan” dua kali; dan pola tahakama “berhakimkan atau mengikuti keputusan seseorang” sekali. Kata Al Hukm sendiri  merupakan masdar kata kerja hakama-yahkumu-hukman yang dipergunakan 30 kali. Kata hukm ini dialihbahasakan menjadi kata hukum dalam bahasa Indonesia dengan arti “peraturan, ketentuan, atau putusan”. Dalam bahasa arab kata tersebut dapat dipergunakan secara konotatif perbuatan atau sifat.[14].
Bertolak dari sini, sebagai perbuatan, hukum bermakna membuat atau menjalankan keputusan, dalam hal ini obyek atau hasil perbuatan, kata tersebut merujuk kepada sesuatu yang diputuskan, yakni keputusan atau peraturan seperti yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan kata hukum. makna tersebut apabila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat maka kata tersebut dapat mengandung makna pembuat kebijaksanaan atau sebagai upaya pengaturan masyarakat.
Menurut pendapat penulis, negara hukum adalah negara yang berdasarkan kepada dasar hukum yang dibuat untuk dijadikan sebuah landasan. Sedangkan landasan hukum Indonesia terletak pada prinsip Pancasila yang utama yang dijabarkan di dalam  Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, kemudian dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia berdasarkan hukum yang berlaku di dalamnya secara menyeluruh (Nasional), bagi masyarakat yang melanggar peraturan-peraturan tersebut dapat dihukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

D. Negara Hukum dalam Perspektif Fikih Siyasah
Negara Islam adalah negara yang konstitusional atau negara yang berdasarkan syariat. Negara ini mempunyai kontitusi sebagai landasan dan hukum sebagai pedoman. Konstitusi negara Islam adalan prinsip dan hukum syariat yang dibawa oleh Al-Quran dan dijelaskan oleh Sunah Rasulullah yang berkaitan dengan akidah, ibadah, moral, pergaulan sosial, hubungan baik pribadi, disiplin, kriminal, administarasi, konstitusi, dan internasional.[15] Dasar yang paling utama bagi negara adalah bahwa alhakimiyah kekuasan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi berada di tangan Allah Swt sendiri, dan bahwa pemerintahan kaum mukminin pada dasarnya dan pada hakikaitnya adalah khalifah atau perwakilan, dan bukannya pemerintahan yang lepas kendalinya dalam segala yang diperbuat, tetapi harus bertindak di bawah undang-undang ilahi yang bersunber dan diambil dari kitab Allah dan Sunah Rasulnya.   
Pendapat penulis mengenai fikih siyasah negara hukum Islam adalah landasan paling utama adalah Al-Qur’an sebagaimana sumber utama, dan Hadis sebagai sumber kedua dalam menetapkan suatu hukum, dan ijtihad para ulama sebagai pegangan untuk memecahkan berbagai macam permasalahan di masyarakat yang tidak boleh bertentangan dengan sumber utama. Sedangkan menurut negara hukum di Indonesia landasan paling utama adalah Undang-undang Dasar 1945 sebagai pedoman setiap rakyat Indonesia, dan selanjutnya peraturan-peraturan yang ada sebagai pendukung yang tidak boleh bertentangan Undang-undang Dasar 1945.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Negara Madinah yang didirikan Rasulullah Saw memiliki kecenderungan religius, karena dengan menguasai pemerintahan suatu negara maka lebih mudah dalam memerangi suku Arab yang menentang dan memusuhi ajaran Islam, dan agar syariat Islam yang dibawanya dapat dilaksanakan oleh seluruh rakyatnya. Perkembangan bentuk negara dan pemerintahan terbagi menjadi dua, yaitu negara kesatuan dan negara serikat (federal). Negara hukum adalah suatu negara yang berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi.
Dasar yang paling utama bagi negara adalah bahwa alhakimiyah kekuasan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi berada di tangan Allah Swt sendiri, dan bahwa pemerintahan kaum mukminin pada dasarnya dan pada hakikaitnya adalah khalifah atau perwakilan, dan bukannya pemerintahan yang lepas kendalinya dalam segala yang diperbuat, tetapi harus bertindak di bawah undang-undang ilahi yang bersunber dan diambil dari kitab Allah dan Sunah Rasulnya.   

B.  Kritik dan Saran
Persoalan politik bukan sekedar permasalahan menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kepimimpinan Negara semata, melainkan juga permasalahan menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Karena itu, yang penting bukan hanya pengusaan kekuasaan struktur politik formal saja, melainkan juga proses budaya politik sesuai dengan prinsip-prinsip islami. Bila ini tidak terjadi, maka kenyataan sekularlah (pemisahan agama dan negara) yang akan terwujud, dan hanya akan menjauhkan umat dari tujuan utamanya.



[1]Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik II : Konsep Politik dan Ideologi Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1977, hlm. 84.  
[2]Khoirul Anam, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer, Yogyakarta : Ide Pustaka, 2009, hlm. 32.
[3]Ibid., hlm. 33.
[4]Ibid.,  hlm. 130.
[5]Ali Geno, Http://aligenoberutu.blogspot.com/2012/04/bentuk-negara-dan-sistem-pemerintah an.html ( di akses pada tanggal 14 Maret 2013 pukul 19.00 WIB).
[6]A. Djazuli, Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, Jakarta, Kencana, 2003, hlm. 110.
[7]Khoirul, Anam, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer......, hlm. 139-140.
[8]A.Djazuli, Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah....., hlm. 110.
                [9]Muntoha, Demokrasi dan Negara Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta , 2010, hlm. 379. 
[10]Nc, Negara Hukum, Notcupz, blogspot.com/2011/06/negara-hukum.html ( di akses pada tanggal  8 April 2013 pukul 20.30 WIB).
[11]Mohammad Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta : Gama Media Offset, 1999,  hlm. 121.
[12] Ibid., hlm. 143.
[13]Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, Rajawali Press, Jakarta, 1994, hlm. 159.
[14]Ibid.
[15] Yusuf, Qardhawi, Fiqih Negara, Jakarta: Robbani Press, 1997, hlm. 32.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar