Rabu, 23 Juli 2014

KAIDAH ASASIYYAH TENTANG AL-MASYAQQAH TAJLIB AT-TAISIR



KAIDAH ASASIYYAH TENTANG AL-MASYAQQAH TAJLIB AT-TAISIR


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Qawaidul Fiqhiyah
Dosen Pembina : Abdul Helim, M.Ag







Oleh


AHMAD ZARKASI
NIM. 100 211 0339

ANDRIYANTO
NIM. 100 211 0341





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434 H / 2013 M


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menjalani hidup, manusia akan mengalami berbagai peristiwa yang menyebabkannya merasa senang, susah, gembira, sedih, aman, tenang, khawatir dan lain sebagainya. Sebagai agama yang rohmatallil ‘alamin, Islam memberikan perhatian besar pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya.
Syari’at Islam menjaga sebuah prinsip menghilangkan kesukaran dan subjek hukum dalam keseluruhan hukum syar’i yang diatur dengan kaidah-kaidah baku dan dasar-dasar permanen yang dapat dijadikan sebagai media penyimpulan hukum (istinbath) ketika tidak ditemukan dalil syar’i atau ketika asy-syaari’ (pembuat hukum syara’) berdiam diri mengenai status perkara tertentu.
Prinsip kemudahan dalam diskursus pemikiran hukum Islam sangat banyak, namun penulis mencukupkan diri dengan membahas kaidah-kaidah cabang dari kaidah “Kesulitan mendatangkan kemudahan” sebagai perincian dari kaidah ketiga dalam pembahasan qawaid fiqhiyah.

B.  Rumusan Masalah
1.   Bagaimana pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?
2.   Bagaimana dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?
3.   Bagaimana macam-macam Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?

C. Tujuan Penulisan
1.   Agar mengetahui dan memahami pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir.
2.   Agar mengetahui dan memahami dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir.
3.   Agar mengetahui dan memahami macam-macam Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir.

4.       
Bab ii
Pembahasan

A.    Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir
الْمَشَقَّةُ تَجْلبُ التَّيْسِرُ
Artinya : “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Al-Masyaqqah menurut bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan kata al-taysir secara bahasa (etimologis) adalah kemudahan,[1] seperti di dalam hadis Rasulullah saw disebutkan:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ
Artinya : “Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaidah Kesukaran itu dapat menarik kemudahan  artinya kesukaran menyebabkan adanya suatu kemudaha,. hukum yang dipraktiknya menyulitkan mukallaf dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesukaran, maka syariat memudahkannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesukaran[2] Hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesukaran dan kesulitan bagi mukallaf (subjek hukum), maka  syariah memudahkannya sehingga mukkalaf mampu melaksanakannya tanpa tanpa kesukaran dan kesulitan.[3]
Dari paparan di atas terdapat kesukaran yang dihadapi mukallaf, maka diperlukan pengecualian hukum, yang dalam pelaksanaannya diperhatikan tabiat manusia, kondisi dan kemampuan memikul hukum. Akan tetapi ada standar umum yang sebenarnya bukan kesukaran dan karenanya tidak menyebabkan kemudahan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti digigit semut pada waktu sholat, malas berzakat padahal mencapai nishab, atau terasa lapar apabila sedang berpuasa, dalam hal ini Dr.Wahbah az-Zuhaili membagi Al-Masyaqqah (kesukaran) menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1.      Al-Masyaqqah al-‘Azhimah (kesukaran yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan menyebabkan kita tidak bisa melakasanakan ibadah dengan sempurna. Kesukaran semacam ini membawa kemudahan.
2.      Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesukaran yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Kesukaran semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada kesukaran yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada kesukaran yang ringan, maka kemudahan di situ. Hal ini tergantung kondisi seseorang dengan berbagai pertimbangan.
3.      Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesukaran yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, malas naik haji padahal sudah dikategorikan mampu, dan lain sebagainya. Kesukaran (masyaqqah) semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah.[4] Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat, taat kepada perintah Allah lebih utama daripada kesukaran (masyaqqah) yang ringan ini, apalagi masyaqqah ini bisa ditanggulangi.
Dari tiga tingkatan yang penulis kutip berdasarkan pendapat Dr.Wahbah az-Zuhaili di atas, yang menjadi kategori masyaqqah tajlib at-taisir (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan) adalah kategori yang pertama, alasannya karena lebih tepat terhadap kaidah kemudharan harus dihilangkan (al-dharar yuzal), sedangkan pada kategori kedua dan ketiga adalah apa yang dimaksud masyaqqah tajlib at-taisir (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan).
Adapun dalam hal kemudahan (at-taisir) para ulama juga telah menyebutkan sebab-sebab yang menimbulkan (akibat diperbolehkan) kemudahan (rukhsah), yaitu:
1.   Kekurangmampuan bertindak hukum ( النَّقْصُ), Misalnya, orang gila dan anak kecil tidak wajib melaksanakan sholat, puasa, bayar zakat dan naik haji. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan perilaku ini disebut unsur pemaaf.
2.   Kesulitan yang umum (عُمُوْمُ اَلْبَلْوَى), seperti debu yang berserakan di jalan, maka tidak mungkin seseorang untuk menghindar, atau adanya hama tikus yang jumlahnya sangat banyak menyerang satu desa kemudian meninggalkan air kencingnya yang kering.
3.   Bepergian (اسَّفَرُ), Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat jumat.
4.   Keadaan sakit (اَلْمَرَضُ),  Misalnya, boleh bertayamum ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat. Ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang mentruasi.
5.   Keadaan terpaksa (اَلْاءِكْرَاهُ), Seperti di ancam orang lain untuk membatalkan puasa ramadhan, sehingga membahayakan jiwanya.
6.   Lupa (اَلنِّسْيَانُ), Seperti seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa.
7.   Ketidaktahuan (اَلْجَهْلُ), Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian berdagang dengan praktik riba.
Adapun rasionalisasi kemudahan dalam islam ialah, Allah SWT, sebagai musyarri’  memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu allah mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Agar dalam realisasi penghambatan itu tidak terjadi kekeliruan maka dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi kemaslahatan manusia sendiri. Tentunya syariah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan  potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syariah itu bukan untuk kepentingan tuhan melainkan untuk kepentingan manusia sendiri.[5]
Namun tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT memberikan hukum rukhshah yakni kemudahan-kemudahan tertentu dalam kondisi tertentu pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan Azimah seimbang dengan kebolehan melakukan kemudahan (rukhshah). (wahbah as-Zuhaili 1982 : 40).
B.     Dasar Hukum
1.   Al-Qur’an
Apabila kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir(kesukaran itu dapat menarik kemudahan) dikembalikan kepada Al-Qur’an, maka menunjukkan adanya akurasi, di antaranya :
Ÿw . . . ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 . . . ÇËÑÏÈ                           
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya[6]

ƒÌãƒ. . . ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# . . . ÇÊÑÎÈ  

Artinya:Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu[7]
. . . $tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 . . . ÇÐÑÈ  
Artinya:Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan[8]

2.   Hadis
Seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir(kesukaran itu dapat menarik kemudahan) juga terdapat akurasi dengan Hadis Rasulullah Saw, di antaranya :
اِنَّ اللهَ شَرَعَ الدِّيْنَ فَجَعَلَهُ سَهْلًاسَمْعًاوَلَمْ يَجْعَلْهُ ضَيِّقًا (رواه الطبرانى)
Artinya : “Sesungguhnya Allah mensyariatkan agama maka dijadikannya mudah, ringan dan luas dan tidak menjadikannya sempit”. (HR. Tabrani)
اَلدِّيْنُ يُسْرٌ أَحَبُّ الدِّيْنَ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَهُ
Artinya : “Agama itu adalah mudah. Agama yang disenangi Allah yang benar dan mudah”. (HR. Bukhari dan Abu Hurairah)




C.    Macam-macam Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir
1)
إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ إِتَّسَعَ
Artinya : “Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas
Kaidah ini, adalah kaidah yang dibuat oleh asy-Syafii. Maksud dari kaidah ini adalah bahwa apabila sesuatu itu ada kesempitan/kesukaran dalam menjalankannya, maka dalam keadaan yang demikian ini wilayah-wilayahyang semula dilarang menjadi diperbolehkan.[9] Contohnya seorang laki-laki dewasa diharamkan memegang tubuh perempuan dewasa yang bukan mahromnya, namun apabila di suatu daerah hanya terdapat satu orang yang ahli dalam urut tulang dan dia laki-laki, sementara ada perempuan yang tulangnya harus diurut, maka laki-laki yang bukan mahromnya itu boleh menolong (menyentuh dan melihat aurat) perempuan tersebut. Kebalikan dari kaidah ini adalah:
إِذَا إِتَّسَعَ ضَاقَ
Artinya : “Apabila suatu perkara menjadi luas maka hukumnya menyempit
Kaidah ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Contohnya apabila perempuan yang patah tulang telah sembuh karena mendapat pengobatan urut tulang dari laki-laki, maka tukang urut laki-laki tersebut tidak boleh lagi menyentuh dan melihat auratnya.
2)
إِذَا تَعَذَّ رَ الأَصْلُ يُصَارُ إِلَى البَدَلِ
            Artinya : “Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya
            Contohnya: Seseorang yang meminjam barang kepunyaan orang yang dikenalnya, (seperti : Kipas angin, kompor, buku, tipe-X, pulpen, mobil, dan lain-lain) kemudian benda tersebut  telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka penggantinya adalah barang yang sama mereknya, ukurannya, atau diganti dengan harga barang tersebut dengan harga di pasaran. Contoh lain seperti orang yang sulit mendapatkan air maka diperbolehkan bertayamum.

3)
مَا لَا يُمْكِنْ التَحَرُ زْ مِنْهُ مَعْفُو عَنْهُ
Artinya : “Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Contohnya : Seorang laki-laki yang berprofesi sebagai pedagang, maka seringkali yang membeli dagangannya adalah perempuan yang terbuka auratnya, maka dalam kondisi yang demikian tidak mungkin terhindar.
4)
الرُ خَصُ لَا تُنَا طُ بِالْمَعَا صِى
            Artinya : “Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan
Kaidah ini dikaitkan untuk menjaga kemudahan-kemudahan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa).[10] Contohnya seperti orang yang menggunakan rukhsah puasa dengan membatalkannya dengan niat apabila staminanya kembali kuat akan membunuh orang lain. Contoh lain seperti orang yang bepergian ketempat prostitusi, kemudian setelah itu ia kehabisan uang dan merasa kelaparan, dan tidak ditemukan makanan yang halal kemudian ia mendapatkan seekor tikus lalu memakannya. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging tikus.
Berbeda dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk usaha yang halal, bersilaturahmi, atau menuntut Ilmu. Kemudian dipertengahan jalan kehabisan uang serta tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya diperbolehkan dengan sekedar menghilangkan rasa lapar yang membahayakan jiwa.
5)
إِذَا تَعَذَّرَتْ الحَقِيقَةُ يُصَارُ إِلَى المجَازِ
            Artinya : “Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
            Contoh : Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya kepada anak Haji Ishaq”. Padahal semua orang mengetahui bahwa anak Haji Ishaq sudah lama meninggal, yang ada adalah hanyalah cucunya bernama Sarifudin. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.

6)
إِذَاتَعَذَّرَ إِعْمَالُ الكَلَامِ يُهْمَلُ
            Artinya : “Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”
            Contohnya : Seseorang yang menuntut warisan dan dia mengaku saudara sekandung dari si mayit, kemudian setelah di teliti dari kartu keluarga, ternyata si mayit tidak memiliki saudara. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.

7)
يُغْتَفَرُ فِي الدَّ وَامِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِيْ الإِ بْتِدَاءِ
            Artinya : “Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
            Contohnya : Mahasiswa yang menyewa kost atau barak maka diharuskan membayar uang muka oleh pemilik kost atau barak. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin melanjutkan  sewaan berikutnya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
8)
يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَاءِمَا لَا يُغْتَفَرُ فِيْ الدَّ وَامِ
            Artinya : “Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya
Contohnya : Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu bahwa judi, berzinah atau minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia mengetahui bahwa judi, berzinah atau minuman keras hukumnya haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
9)
يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِع مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا
            Artinya : “Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
            Contohnya : Pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah agen, kemudian bawang tersebut dipisahkan dari karung, karena karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual, dan maksud tidak dimaafkan pada yang lain seperti cincin emas yang didapatkan dari bawang tersebut dan diketahui pula adalah kepunyaan pemilik agen.



BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
1.   Asyaqah (kesukaran) menurut istilah adalah jika ditemukan kesukaran dalam sesuatu, maka ia menjadi penyebab syar’I yang dibenarkan untuk mempermudah, meringankan dan menghapus kesukaran dari subjek hukum pada saat melaksanakan aturan-aturan hukum dan segi apa pun.
2.   Dasar hukum tentang adanya kaidah-kaidah di atas termaktub dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, di antaranya sebagai berikut “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu(Q.S. Al-Baqarah: 185), “Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (Q.S. Al-Hajj : 78), dan hadis Rasulullah SAW “Sesungguhnya Allah mensyariatkan agama maka dijadikannya mudah, ringan dan luas dan tidak menjadikannya sempit”. (HR. Tabrani).
3.      Kaidah-kaidah cabang dari kaidah الْمَشَقَّةُ تَجْلبُ التَّيْسِرُ adalah sebagai berikut:
a.       Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan kebalikannya Apabila suatu perkara menjadi luas maka hukumnya menyempit.
b.      Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya.
c.       Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan.
d.      Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.
e.       Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya.
f.       Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan.
g.      Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya.
h.      Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya.
i.        Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya.




B.  Saran
Setelah mempelajari kaidah kesukaran mendatangkan suatu kemudahan, diharapkan mahasiswa dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dengan pertimbangan logika hukum dan akal sehat, karena perkembangan masyarakat semakin pesat tentunya permasalahan-permasalahan baru yang belum dibahas sebelumnya juga semakin beragam, maka diperlukan ijtihad dalam menyikapinya. Ada suatu pendapat yang menyatakan apabila kita memahami kaidah asasiyah maka dapat menjawab berbagai persoalan fikih, baik itu  terkait fikih ibadah, muamalah, siyasah, jinayah, munakahat, dsb, tentunya dengan berlandasan Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum.










[1]A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2007, hlm. 55.
[2]Jaih mubarok, Kaidah Fiqh:Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2002, hlm. 139-140.
[3]A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih ,. . . hlm. 55.
[4]A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2007, hlm. 58.
[5]Muchlis Usman, Kaidah-kaidah istinbath hukum islam, cet.IV, Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2002, hlm.  124.
[6]Q.S. al-Baqarah [2]: 286.
[7]Q.S. al-Baqarah [2]: 185.
[8]Q.S. al-Hajj [22]: 78.
[9]Musbikin, Imam, Qawa’idh al-Fiqhiyyah, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 88.
[10]A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta : Kencana, 2007, hlm. 63.
 

1 komentar: