KAIDAH ASASIYYAH TENTANG AL-MASYAQQAH TAJLIB AT-TAISIR
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Qawaidul Fiqhiyah
Dosen Pembina : Abdul Helim, M.Ag
Oleh
AHMAD
ZARKASI
NIM.
100 211 0339
ANDRIYANTO
NIM. 100 211 0341
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434
H / 2013 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menjalani hidup, manusia akan mengalami berbagai peristiwa
yang menyebabkannya merasa senang, susah, gembira, sedih, aman, tenang,
khawatir dan lain sebagainya. Sebagai agama yang rohmatallil ‘alamin, Islam memberikan
perhatian besar pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya.
Syari’at Islam menjaga sebuah prinsip menghilangkan kesukaran dan
subjek hukum dalam keseluruhan hukum syar’i yang diatur dengan kaidah-kaidah
baku dan dasar-dasar permanen yang dapat dijadikan sebagai media penyimpulan
hukum (istinbath) ketika tidak ditemukan dalil syar’i atau ketika asy-syaari’
(pembuat hukum syara’) berdiam diri mengenai status perkara tertentu.
Prinsip kemudahan dalam diskursus pemikiran hukum Islam sangat
banyak, namun penulis mencukupkan diri dengan membahas kaidah-kaidah cabang
dari kaidah “Kesulitan mendatangkan kemudahan” sebagai perincian dari kaidah
ketiga dalam pembahasan qawaid fiqhiyah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?
2.
Bagaimana
dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?
3.
Bagaimana
macam-macam Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Agar
mengetahui dan memahami pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir.
2.
Agar
mengetahui dan memahami dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir.
3.
Agar
mengetahui dan memahami macam-macam Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir.
4.
Bab ii
Pembahasan
A.
Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah
Tajlib At-Taisir
الْمَشَقَّةُ
تَجْلبُ التَّيْسِرُ
Artinya : “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Al-Masyaqqah menurut bahasa (etimologis) adalah
al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan kata al-taysir secara
bahasa (etimologis) adalah kemudahan,[1]
seperti di dalam hadis Rasulullah saw disebutkan:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ
Artinya : “Sesungguhnya Agama itu mudah”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kaidah Kesukaran itu dapat menarik kemudahan artinya kesukaran menyebabkan adanya suatu
kemudaha,. hukum yang dipraktiknya menyulitkan mukallaf dan pada diri dan
sekitarnya terdapat kesukaran, maka syariat memudahkannya sehingga beban
tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesukaran[2] Hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesukaran dan kesulitan bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariah memudahkannya sehingga mukkalaf mampu
melaksanakannya tanpa tanpa kesukaran dan kesulitan.[3]
Dari paparan di atas terdapat kesukaran yang dihadapi mukallaf,
maka diperlukan pengecualian hukum, yang dalam pelaksanaannya diperhatikan
tabiat manusia, kondisi dan kemampuan memikul hukum. Akan tetapi ada standar
umum yang sebenarnya bukan kesukaran dan karenanya tidak menyebabkan kemudahan
di dalam pelaksanaan ibadah, seperti digigit semut pada waktu sholat, malas
berzakat padahal mencapai nishab, atau terasa lapar apabila sedang berpuasa,
dalam hal ini Dr.Wahbah az-Zuhaili membagi Al-Masyaqqah (kesukaran) menjadi
tiga tingkatan, yaitu :
1.
Al-Masyaqqah
al-‘Azhimah (kesukaran
yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya
anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan menyebabkan kita tidak
bisa melakasanakan ibadah dengan sempurna. Kesukaran semacam ini membawa kemudahan.
2.
Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesukaran
yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Kesukaran semacam
ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada kesukaran yang
sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada kesukaran
yang ringan, maka kemudahan di situ. Hal ini tergantung kondisi seseorang
dengan berbagai pertimbangan.
3.
Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesukaran
yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, malas naik haji padahal sudah dikategorikan
mampu, dan lain sebagainya. Kesukaran (masyaqqah) semacam ini bisa
ditanggulangi dengan mudah dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah.[4]
Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat, taat kepada perintah Allah lebih
utama daripada kesukaran (masyaqqah) yang ringan ini, apalagi masyaqqah
ini bisa ditanggulangi.
Dari tiga tingkatan yang penulis kutip berdasarkan pendapat
Dr.Wahbah az-Zuhaili di atas, yang menjadi kategori masyaqqah tajlib
at-taisir (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan) adalah kategori yang
pertama, alasannya karena lebih tepat terhadap kaidah kemudharan harus
dihilangkan (al-dharar yuzal), sedangkan pada kategori kedua dan ketiga
adalah apa yang dimaksud masyaqqah tajlib at-taisir (Kesukaran itu dapat
menarik kemudahan).
Adapun dalam hal kemudahan (at-taisir) para ulama juga telah
menyebutkan sebab-sebab yang menimbulkan (akibat diperbolehkan) kemudahan (rukhsah),
yaitu:
1.
Kekurangmampuan
bertindak hukum ( النَّقْصُ),
Misalnya, orang gila dan anak kecil tidak wajib melaksanakan
sholat, puasa, bayar zakat dan naik haji. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan
dengan perilaku ini disebut unsur pemaaf.
2.
Kesulitan
yang umum (عُمُوْمُ اَلْبَلْوَى), seperti debu yang berserakan di jalan, maka tidak mungkin seseorang
untuk menghindar, atau adanya hama tikus yang jumlahnya sangat banyak menyerang
satu desa kemudian meninggalkan air kencingnya yang kering.
3.
Bepergian
(اسَّفَرُ), Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat
jumat.
4.
Keadaan
sakit (اَلْمَرَضُ), Misalnya, boleh bertayamum
ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan
Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat. Ditundanya pelaksanaan
had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang mentruasi.
5.
Keadaan
terpaksa (اَلْاءِكْرَاهُ), Seperti di ancam orang lain untuk
membatalkan puasa ramadhan, sehingga membahayakan jiwanya.
6.
Lupa
(اَلنِّسْيَانُ), Seperti seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa.
7.
Ketidaktahuan
(اَلْجَهْلُ), Misalnya,
orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian berdagang dengan
praktik riba.
Adapun
rasionalisasi kemudahan dalam islam ialah, Allah SWT, sebagai musyarri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan
kekuasaan-Nya itu allah mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi
kepada-Nya. Agar dalam realisasi penghambatan itu tidak terjadi kekeliruan maka
dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi kemaslahatan
manusia sendiri. Tentunya syariah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan
dan potensi yang dimiliki seorang hamba,
karena pada dasarnya syariah itu bukan untuk kepentingan tuhan melainkan untuk
kepentingan manusia sendiri.[5]
Namun
tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat potensi atau
kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Dalam kondisi semacam ini, Allah
SWT memberikan hukum rukhshah yakni kemudahan-kemudahan tertentu dalam kondisi
tertentu pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan Azimah
seimbang dengan kebolehan melakukan kemudahan (rukhshah). (wahbah
as-Zuhaili 1982 : 40).
B.
Dasar Hukum
1.
Al-Qur’an
Apabila kaidah “Al-Masyaqqah
Tajlib Al-Taisir” (kesukaran itu
dapat menarik kemudahan) dikembalikan kepada Al-Qur’an, maka menunjukkan adanya
akurasi, di antaranya :
w . . . ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 . . . ÇËÑÏÈ
Artinya : “Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”[6]
Ìã. . . ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# . . .
ÇÊÑÎÈ
.
. . $tBur @yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 . . .
ÇÐÑÈ
2. Hadis
Seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Kaidah “Al-Masyaqqah
Tajlib Al-Taisir” (kesukaran itu
dapat menarik kemudahan) juga terdapat akurasi dengan Hadis Rasulullah Saw, di antaranya :
اِنَّ اللهَ شَرَعَ الدِّيْنَ
فَجَعَلَهُ سَهْلًاسَمْعًاوَلَمْ يَجْعَلْهُ ضَيِّقًا (رواه الطبرانى)
Artinya : “Sesungguhnya Allah mensyariatkan agama
maka dijadikannya mudah, ringan dan luas dan tidak menjadikannya sempit”.
(HR. Tabrani)
اَلدِّيْنُ يُسْرٌ أَحَبُّ الدِّيْنَ
إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَهُ
Artinya : “Agama itu adalah mudah. Agama yang
disenangi Allah yang benar dan mudah”. (HR. Bukhari dan Abu Hurairah)
C.
Macam-macam Kaidah Al-Masyaqqah
Tajlib At-Taisir
1)
إِذَا
ضَاقَ الأَمْرُ إِتَّسَعَ
Artinya : “Apabila
suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”
Kaidah ini, adalah kaidah yang dibuat oleh asy-Syafii.
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa apabila sesuatu itu ada
kesempitan/kesukaran dalam menjalankannya, maka dalam keadaan yang demikian ini
“wilayah-wilayah”yang semula dilarang menjadi diperbolehkan.[9]
Contohnya seorang laki-laki dewasa diharamkan memegang tubuh perempuan dewasa yang
bukan mahromnya, namun apabila di suatu daerah hanya terdapat satu orang yang ahli
dalam urut tulang dan dia laki-laki, sementara ada perempuan yang tulangnya
harus diurut, maka laki-laki yang bukan mahromnya itu boleh menolong (menyentuh
dan melihat aurat) perempuan tersebut. Kebalikan dari kaidah ini adalah:
إِذَا
إِتَّسَعَ ضَاقَ
Artinya : “Apabila
suatu perkara menjadi luas maka hukumnya menyempit”
Kaidah
ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat
pada setiap keadaan. Contohnya apabila perempuan yang patah tulang telah sembuh
karena mendapat pengobatan urut tulang dari laki-laki, maka tukang urut
laki-laki tersebut tidak boleh lagi menyentuh dan melihat auratnya.
2)
إِذَا تَعَذَّ
رَ الأَصْلُ يُصَارُ إِلَى البَدَلِ
Artinya : “Apabila
yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”
Contohnya:
Seseorang yang meminjam barang kepunyaan orang yang dikenalnya,
(seperti : Kipas angin, kompor, buku, tipe-X, pulpen,
mobil, dan lain-lain) kemudian benda tersebut
telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada
pemiliknya, maka penggantinya adalah barang yang sama mereknya, ukurannya, atau
diganti dengan harga barang tersebut dengan harga di pasaran. Contoh lain seperti orang yang sulit
mendapatkan air maka diperbolehkan bertayamum.
3)
مَا لَا
يُمْكِنْ التَحَرُ زْ مِنْهُ مَعْفُو عَنْهُ
Artinya : “Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka
hal itu dimaafkan”
Contohnya : Seorang laki-laki yang berprofesi sebagai pedagang, maka seringkali
yang membeli dagangannya adalah perempuan yang terbuka auratnya, maka dalam
kondisi yang demikian tidak mungkin terhindar.
4)
الرُ خَصُ لَا تُنَا طُ بِالْمَعَا صِى
Artinya : “Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan
kemaksiatan”
Kaidah ini dikaitkan untuk menjaga kemudahan-kemudahan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan
maksiat (kejahatan atau dosa).[10] Contohnya seperti orang yang menggunakan rukhsah puasa dengan
membatalkannya dengan niat apabila staminanya kembali kuat akan membunuh orang
lain. Contoh lain seperti orang yang bepergian ketempat prostitusi, kemudian
setelah itu ia kehabisan uang dan merasa kelaparan, dan tidak ditemukan makanan
yang halal kemudian ia mendapatkan seekor tikus lalu memakannya. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang
menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging tikus.
Berbeda dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang
dibolehkan seperti untuk usaha yang halal, bersilaturahmi, atau menuntut Ilmu.
Kemudian dipertengahan jalan kehabisan uang serta tidak ada makanan kecuali
yang diharamkan, maka memakannya diperbolehkan dengan sekedar menghilangkan rasa
lapar yang membahayakan jiwa.
5)
إِذَا
تَعَذَّرَتْ الحَقِيقَةُ يُصَارُ إِلَى المجَازِ
Artinya : “Apabila
suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut
berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Contoh
: Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya kepada anak Haji
Ishaq”. Padahal semua orang mengetahui bahwa anak Haji Ishaq sudah lama
meninggal, yang ada adalah hanyalah cucunya bernama Sarifudin. Maka dalam hal
ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata
sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah
meninggal.
6)
إِذَاتَعَذَّرَ
إِعْمَالُ الكَلَامِ يُهْمَلُ
Artinya : “Apabila
sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”
Contohnya : Seseorang yang menuntut warisan
dan dia mengaku saudara sekandung dari si mayit, kemudian setelah di teliti
dari kartu keluarga, ternyata si mayit tidak memiliki saudara. Maka perkataan
orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
7)
يُغْتَفَرُ
فِي الدَّ وَامِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِيْ الإِ بْتِدَاءِ
Artinya : “Bisa
dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Contohnya : Mahasiswa
yang menyewa kost atau barak maka diharuskan membayar uang muka oleh pemilik
kost atau barak. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin
melanjutkan sewaan berikutnya,
maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
8)
يُغْتَفَرُ
فِي الإِبْتِدَاءِمَا لَا يُغْتَفَرُ فِيْ الدَّ وَامِ
Artinya : “Dimaafkan
pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
Contohnya : Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu bahwa judi, berzinah atau minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang tersebut dimaafkan untuk
permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia mengetahui bahwa
judi, berzinah atau minuman keras hukumnya haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram
tersebut.
9)
يُغْتَفَرُ
فِي التَّوَابِع مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا
Artinya : “Dapat
dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : Pedagang membeli bawang 5
karung di sebuah agen, kemudian bawang tersebut dipisahkan dari karung, karena
karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual, dan maksud tidak dimaafkan
pada yang lain seperti cincin emas yang didapatkan dari bawang tersebut dan
diketahui pula adalah kepunyaan pemilik agen.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Asyaqah (kesukaran) menurut istilah adalah jika ditemukan kesukaran dalam sesuatu, maka ia menjadi penyebab syar’I yang
dibenarkan untuk mempermudah, meringankan dan menghapus kesukaran dari subjek hukum
pada saat melaksanakan aturan-aturan hukum dan segi apa pun.
2. Dasar hukum tentang adanya kaidah-kaidah di atas termaktub dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits, di antaranya sebagai berikut “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu” (Q.S. Al-Baqarah: 185), “Dan
dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S. Al-Hajj : 78), dan hadis Rasulullah
SAW “Sesungguhnya Allah mensyariatkan agama maka dijadikannya mudah, ringan
dan luas dan tidak menjadikannya sempit”. (HR. Tabrani).
3. Kaidah-kaidah cabang dari kaidah الْمَشَقَّةُ
تَجْلبُ التَّيْسِرُ adalah sebagai berikut:
a.
Apabila
suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan kebalikannya Apabila
suatu perkara menjadi luas maka hukumnya menyempit.
b. Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya.
c.
Apa yang tidak mungkin menjaganya
(menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan.
d. Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan
kemaksiatan.
e. Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka
kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya.
f. Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut
ditinggalkan.
g. Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya.
h.
Dimaafkan pada permulaan tapi tidak
dimaafkan pada kelanjutannya.
i.
Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan
tidak dimaafkan pada yang lainnya.
B. Saran
Setelah mempelajari kaidah kesukaran mendatangkan suatu kemudahan, diharapkan mahasiswa dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dengan pertimbangan
logika hukum dan akal sehat, karena perkembangan masyarakat semakin pesat
tentunya permasalahan-permasalahan baru yang belum dibahas sebelumnya juga
semakin beragam, maka diperlukan ijtihad dalam menyikapinya. Ada suatu pendapat
yang menyatakan apabila kita memahami kaidah asasiyah maka dapat menjawab
berbagai persoalan fikih, baik itu
terkait fikih ibadah, muamalah, siyasah, jinayah, munakahat, dsb,
tentunya dengan berlandasan Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum.
[1]A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Kaidah-kaidah Hukum
Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta : Kencana,
2007, hlm. 55.
[2]Jaih mubarok, Kaidah
Fiqh:Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2002,
hlm. 139-140.
[3]A.Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih ,. . . hlm. 55.
[4]A.Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, Jakarta : Kencana, 2007, hlm. 58.
[5]Muchlis Usman, Kaidah-kaidah istinbath hukum islam, cet.IV,
Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2002, hlm.
124.
[6]Q.S. al-Baqarah
[2]: 286.
[7]Q.S. al-Baqarah
[2]: 185.
[8]Q.S. al-Hajj
[22]: 78.
[9]Musbikin, Imam, Qawa’idh al-Fiqhiyyah, Jakarta
: RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 88.
[10]A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Kaidah-kaidah Hukum
Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta : Kencana,
2007, hlm. 63.
ikut share ya mas... buat referensi :)
BalasHapus