Senin, 21 Juli 2014

PERMA No.2 Tahun 2008 Buku II Bab XX dan XXIV (Ta’min, Obligasi Syariah Mudharabah, Pasar Modal, Reksadana Syariah dan SBI Syariah)



PERMA No.2 Tahun 2008 Buku II Bab XX dan XXIV
(Ta’min, Obligasi Syariah Mudharabah, Pasar Modal, Reksadana Syariah
dan SBI Syariah)



Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Hukum Perdata Islam Indonesia II
Dosen Pembimbing: Eka Suriansyah, MHI



STAIN by icah










Oleh
                                                                 


AHMAD ZARKASI
NIM. 1002110339










SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH TAHUN 1434 H / 2012 M


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Para pemikir hukum Islam menyadari sepenuhnya, terkait masalah-masalah ekonomi syariah, status hukumnya perlu menjadi sorotan, apalagi dalam hal-hal yang hubungannya sudah sangat erat dengan masyarakat, seperti asuransi syari’ah, obligasi syariah, reksadana syariah, sertifikat bank Indonesia syariah yang belum pernah ditetapkan oleh para pemikir hukum Islam di zaman dahulu. Pemikiran mengenai hal-hal tersebut muncul ketika terjadi akulturasi budaya antara Islam dengan budaya Eropa. Namun, bila dicermati melalui kajian yang mendalam maka ditemukan bahwa hal  itu terdapat di dalamnya maslahat sehingga para ahli hukum Islam mengadopsi manajemennya berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
Berdasarkan hal tersebut, para ahli hukum Islam mendorong warga masyarakat Islam untuk membuka perusahaan-perusahaan yang menggunakan prinsip syari’ah, dengan berdasarkan konsep ta’awun, yang disertai dengan rasa tanggung jawab, saling bekerja sama, saling membantu, mewujudkan keselamatan, saling melindungi dan berbagi kesusahan, yang berlandaskan syariah di Indonesia. Diperkuat dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut terkait Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 Buku II Bab XX sampai Bab XXIV.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Peraturan Ta’min dalam PERMA No. 2/2008 Buku II Bab XX?
2.    Bagaimana Peraturan Obligasi Syari’ah Mudharabah dalam PERMA No. 2/2008 Buku II Bab XXI?
3.    Bagaimana Peraturan Pasar Modal dalam PERMA No. 2/2008 Buku II Bab XXII?
4.    Bagaimana Peraturan Reksadana Syari’ah dalam PERMA No. 2/2008 Buku II Bab XXIII?
5.    Bagaimana Peraturan Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah dalam PERMA No. 2/2008 Buku II Bab XXIV?

C.  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah sebelumnya, maka makalah ini dibuat berdasarkan tujuan untuk menyerapi dan membahas lebih mengenai Ta’min, Obligasi Syariah Mudharabah, Pasar Modal, Reksadana Syariah dan SBI Syariah.

D.  Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah diatas maka penulis membatasi pembahasan ini hanya sesuai dengan rumusan masalah. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal diatas tidak penulis uraikan pada makalah ini. 

E.  Metode Penulisan
                 Adapun metode penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode research library dengan menggunakan buku perpustakaan dan dari situs Internet sebagai bahan referensi.


BAB II
PEMBAHASAN


A.  Ta’min
1.    Pengertian Ta’min
            Dalam bahasa Arab at-ta’min berarti asuransi, At-ta’min التَأْ ميْنُ)) diambil dari kata اَمَنَ)) memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut,[1] sebagaimana firman Allah swt :
üÏ%©!$# OßgyJyèôÛr& `ÏiB 8íqã_ NßgoYtB#uäur ô`ÏiB ¤$öqyz ÇÍÈ  
            Artinya : “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy : 4)
            Men-ta’min-kan sesuatu, artinya adalah seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan seseorang mempertanggungjawabkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya.[2]
            Apabila penulis memaknai pengertian at-ta’min diatas, dapat disimpulkan bahwa At-ta’min adalah suatu transaksi perjanjian antara dua pihak, pihak yang pertama memberikan suatu iuran, kemudian pihak yang kedua memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran, apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

2.    Akad yang Membentuk Asuransi Syari’ah
Menurut Hasan Ali dalam bukunya Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam dalam praktik asuransi paling tidak ada dua akad yang membentuknya, yaitu; akad tabarru’[3] dan akad mudharabah[4]. Sedangkan pada PERMA No. 2/2008 pasal 554, Akad yang digunakan pada ta’min dan i’adah ta’min ada tiga yaitu :
a.    Wakalah bil Ujrah[5];
b.    Mudharabah;
c.    Tabarru’.[6]
Prinsip wakalah bil ujrah pada ta’min dan i’adah ta’min ada dua, Pertama, wakalah bil ujrah boleh dilakukan antar perusahaan ta’min, agen sebagai bagian dari perusahaan dengan peserta. Kedua, wakalah bil ujrah dapat diterapkan pada produk ta’min Syari’ah yang mengandung unsur tabungan maupun unsur non tabungan.
Pada PERMA No. 2/2008 pasal 556, Objek wakalah bil ujrah meliputi antara lain:
a.    Kegiatan administrasi
b.    Pengelolaan dana
c.    Pembayaran klaim
d.   Dhaman ishdar/underwriting
e.    Pengelolaan portofolio risiko
f.     Pemasaran/Marketing
g.    Investasi[7]
Kedudukan para pihak dalam akad wakalah bil ujrah:
a.    Perusahaan bertindak sebagai wakil yang mendapat kuasa untuk mengelola dana;
b.    Peserta/pemegang polis sebagai individu, dalam produk tabungan dan non tabungan bertindak sebagai pemberi kuasa untuk mengelola dana;
c.    Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun non tabungan, bertindak sebagai pemberi kuasa untuk mengelola dana;
d.   Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas izin pemberi kuasa/pemegang polis[8];
e.    Akad wakalah bersifat amanah dan bukan tanggungan sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi imbalan yang diterima oleh perusahaan ta’min, kecuali karena kebodohan, wanprestasi, dan perbuatan melawan hukum, di samping sifat akad pada umumnya;
f.     Perusahaan ta’min sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi apabila transaksi yang digunakan adalah pelaksanaan akad wakalah.[9]
3.    Akad Mudharabah Musytarakah pada Ta’min dan I’adah Ta’min
Ketentuan hukum dari akad mudharabah musytarakah pada ta’min dan i’adah ta’min:
a.    Akad yang digunakan adalah akad musytarakah merupakan perpaduan antara pelaksanaan transaksi mudharabah dengan transaksi musyarakah dengan ketentuan yang mengikat pada masing-masing transaksi.[10]
b.    Perusahaan ta’min sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama peserta.
c.    Modal atau dana perusahaan ta’min dan dana peserta diinvestasikan secara bersama-sama dalam portofolio.
d.   Perusahaan ta’min sebagai mudharib mengelola investasi dana tersebut.[11]
Ketentuan hukum dari transaksi mudharabah musytarakah pada ta’min dan i’adah ta’min:
a.    Mudharabah musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan ta’min, karena merupakan bagian dari hukum mudharabah.
b.    Mudharabah musytarakah dapat diterapkan pada produk ta’min dan i’adah ta’min yang mengandung unsur tabungan maupun non tabungan.[12]

B.  Obligasi Syari’ah Mudharabah
Menurut UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995, Obligasi Konvensional yaitu “Surat berharga jangka panjang yang bersifat hutang yang dikeluarkan oleh emiten (bisa berupa badan hukum atau perusahaan, bisa juga dari pemerintah) kepada pemegang obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada priode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo”. Sedangkan Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak ada pendapat yang mengemukakan bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bungaini keluar dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah.[13]
Berdasarkan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, “Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”.
Menurut penulis bahwa Obligasi syariah adalah surat berharga (efek) hutang jangka panjang yang diterbitkan oleh sebuah perusahaan atau pemerintah (emiten) dengan ketentuan suku bunga dan tanggal jatuh tempo tertentu.
Karakteristik obligasi syariah, merupakan bukti kepemilikan suatu asset berwujud atau hak manfaat (beneficial), pendapatan berupa imbalan (kupon), margin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang digunakan, terbatas dari unsure riba, gharar, dan maysir.
Obligasi Syariah Mudharabah ditawarkan dengan ketentuan yang mewajibkan emiten untuk membayar kepada pemegang obligasi tersebut sejumlah pendapatan bagi hasil dan membayar kembali dana Obligasi Syariah Mudharabah pada tanggal jatuh tempo. Pendapatan bagi hasil dibayarkan setiap periode tertentu (3 bulan, 6 bulan, atau setiap tahun). Besarnya pendapatan bagi hasil dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang Obligasi Syariah Mudharabah dengan pendapatan yang dibagihasilkan, yang besarnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten triwulanan yang terakhir diterbitkan sebelum tanggal pembayaran pendapatan bagi hasil yang bersangkutan. Pembayaran pendapatan bagi hasil kepada masing-masing pemegang obligasi akan dilakukan secara proporsional sesuai dengan porsi kepemilikan obligasi syariah yang dimiliki dibandingkan dengan jumlah dana obligasi syariah yang belum dibayarkan kembali.[14]
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2008 pasal 575, Transaksi yang digunakan dalam Obligasi Syari’ah Mudharabah adalah pelaksanaan akad Mudharabah, adapun jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan Syari’ah dengan memperhatikan ketentuan dan prinsip Reksa Dana Syari’ah.
1)   Pendapatan/hasil investasi yang dibagikan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah Mudharabah harus bersih dari unsur non halal;
2)   Nisbah keuntungan dalam Obligasi Syari’ah Mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan, sebelum penerbitan Obligasi Syari’ah Mudharabah;
3)   Pembagian pendapatan/hasil dapat dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dengan ketentuan pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan.
Apabila emiten lalai atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas, maka emiten berkewajiban menjamin pengembalian dana mudharabah, dan pemegang obligasi Syari’ah mudharabah dapat meminta emiten untuk membuat surat pengakuan utang.

C.    Pasar Modal
1.    Prinsip Pasar Modal Syari’ah
Pasar Modal merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Pasar Modal bertindak sebagai penghubung antara para investor dengan perusahaan ataupun institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen keuangan jangka panjang seperti Obligasi, Saham dan lainnya.
Pasar modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya dipandang telah memenuhi prinsip Syari’ah. Suatu efek  dipandang telah memenuhi prinsip Syari’ah apabila telah memperoleh pernyataan kesesuaian Syari’ah.[15]
2.    Emiten yang Menerbitkan Efek Syari’ah
Jenis usaha, produk barang, atau jasa yang diberikan dan akad, transaksi serta cara pengelolaan perusahaan emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek Syari’ah tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syari’ah.
a.    Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
b.    Lembaga keuangan konvensional/ribawi, termasuk perbankan dan ta’min konvensional;
c.    Produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram;
d.   Produsen, distributor, atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat;
e.    Melakukan investasi pada emiten/perusahaan yang pada saat akad tingkat nisbah utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi yang lebih dominan dari modalnya;[16]
Emiten yang bermaksud menerbitkan efek Syari’ah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan transaksi yang sesuai dengan Syari’ah atas efek Syari’ah yang dikeluarkan. Emiten yang menerbitkan efek Syari’ah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi prinsip Syari’ah dan memiliki shariah compliance officer. Dalam hal emiten yang menerbitkan efek Syari’ah ijarah pada saat tertentu tidak memenuhi persyaratan, maka efek yang diterbitkan bukan lagi disebut sebagai efek Syari’ah.[17]

D.  Reksadana Syari’ah
Secara bahasa reksa dana tersusun dari dua konsep, yaitu  reksa yang berarti  pemeliharaan  dan dana yang berarti (himpunan) uang. Dengan demikian secara bahasa reksa dana berarti kumpulan uang yang dipelihara.[18]
Reksa dana merupakan dana bersama yang dioperasikan oleh suatu perusahaan investasi  yang mengumpulkan uang dari pemegang saham dan menginvestasikannya ke dalam saham , obligasi, opsi, komoditas, atau sekuritas pasar uang. Reksa dana seperti  ini menawarkan keunggulan diversifikasi dan manajemen professional kepada investor  .Untuk jasa ini mereka biasanya membebankan suatu biaya manajemen , biasanya 1% atau kurang dari aktiva per tahun.[19]
Reksa dana syariah adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip  syariah islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (sahib al maal/raab al mal) dengan manajer investasi sebagai wakil sahibul al mal maupun antara manajer investasi sebagai wakil sahibul mal dengan penggunaan investasi.[20] Dengan demikian, reksa dana syariah adalah reksa dana yang mengelola dan kebijakan investasinya mengacu kepada syariah islam. Reksa dana syariah tidak akan menginvestasikan dananya pada obligasi dari perusahaan yang mengelolanya atau produknya bertentangan dengan syariat islam misalnya; pabrik minuman beralkohol, industry perternakan babi, jasa keuangan yang melibatkan riba dalam operasionalnya dan bisnis yang mengandung maksiat.
1.    Mekanisme Kegiatan Reksadana Syari’ah
a.       Mekanisme operasional dalam reksadana Syari’ah terdiri atas :
1)   Antara pemodal dengan manajer investasi dilakukan dengan wakalah;
2)   Antara manajer investasi dengan pengguna investasi dilakukan dengan sistem mudharabah.
b.      Karakteristik sistem mudharabah adalah:
1)   Pembagian keuntungan modal antara pemodal yang diwakili oleh manajer investasi dan pengguna investasi berdasarkan pada proporsi yang telah disepakati kedua belah pihak melalui manajer investasi sebagai wakil dan tidak ada jaminan atas hasil investasi tertentu kepada pemodal.
2)   Pemodal hanya menanggung risiko sebesar dana yang telah diberikan.
3)   Manajer investasi sebagai wakil tidak menanggung risiko kerugian atas investasi yang dilakukannya sepanjang bukan karena kelalaiannya.[21]
2.    Hubungan, Hak, dan Kewajiban
a.       Transaksi antara pemodal dengan manajer dilakukan berdasarkan akad wakalah.
b.      Dengan akad wakalah sebagaimana dimaksud, maka pemodal memberikan mandat kepada manajer investasi untuk melaksanakan investasi bagi kepentingan pemodal, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam prospektus.
c.       Para pemodal secara kolektif mempunyai hak atas hasil investasi dalam reksadana Syari’ah.
d.      Pemodal menanggung risiko yang berkaitan dalam reksadana Syari’ah.
e.       Pemodal berhak untuk ijarah waktu menambah atau menarik kembali pernyataannya dalam reksadana Syari’ah melalui manajer investasi.
f.       Pemodal berhak atas bagi hasil investasi sampai saat ditarik kembali pernyataan tersebut.
g.      Pemodal yang telah memberikan dananya akan mendapatkan jaminan bahwa seluruh dananya akan disimpan, dijaga, dan diawasi oleh Bank Kustodian.
h.      Pemodal akan mendapatkan bukti kepemilikan yang berupa unit penyertaan reksadana Syari’ah.[22]

E.  Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah
1. Pengertian dan Karakteristik SBI Syariah
Berdasarkan Peraturan Bank Indoonesia No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah ( selanjutnya disingkat SBIS), bahwa definisi SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syari’ah berjangka waktu pendek dalammata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Hal ini sedikit berbeda dengan SBI Konvensional yang diterbitkan melalui lelang dengan tingkat diskonto yang berbasis bunga (interest), sedangkan SBIS diterbitkan menggunakan akad/kontrak transaksi ju’alah. Akad ju’alah adalah jani atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (‘iwadah/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu perkerjaan. Para peserta yang diperbolehkan untuk mengikuti lelang SBIS diantaranya Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syari’ah (UUS) atau pialang yang bertindak untuk dan atas nama BUS/UUS. Ketentuan lainya, wajib memenuhi persyaratan Financing to Deposit Ratio (FDR) yang ditetapkan Bank Indonesia.
Bank Sentral dapat menerbitkan instrumen moneter berdasarkan prinsip syari’ah yang berupa Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah untuk mengatasi kelebihan likuiditas bank Syari’ah. Akad yang digunakan untuk instrumen Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah adalah akad ju’alah.[23]
1.    Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah berjangka waktu paling kurang satu bulan dan paling lama 12 bulan.
2.    Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah diterbitkan tanpa warkat/scriples.
3.    Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah dapat digunakan kepada Bank Indonesia.
4.    Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.[24]
Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah yang diterbitkan. Bank Indonesia memberikan imbalan pada saat Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah jatuh tempo/waktu.



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
            Dalam bahasa Arab at-ta’min berarti asuransi, memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Sedangkan menurut istilah at-ta’min adalah suatu transaksi perjanjian antara dua pihak, pihak yang pertama memberikan suatu iuran, kemudian pihak yang kedua memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran, apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Dalam PERMA No. 2/2008 Akad yang digunakan pada ta’min dan i’adah adalah 1) Wakalah bil Ujrah, 2) Mudharabah 3) Tabarru’.
Dalam PERMA No. 2/2008 Akad yang digunakan pada ta’min dan i’adah adalah 1) Wakalah bil Ujrah 2) Mudharabah 3) Tabarru’. Pasar modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten , jenis efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya dipandang telah memenuhi prinsip Syari’ah. Suatu efek  dipandang telah memenuhi prinsip Syari’ah apabila telah memperoleh Pernyataan kesesuaian Syari’ah.
Bank Sentral dapat menerbitkan instrumen moneter berdasarkan prinsip syari’ah yang berupa Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah untuk mengatasi kelebihan likuiditas bank Syari’ah. Akad yang digunakan untuk instrumen Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah adalah akad ju’alah.

B.  Kritik dan Saran
Sebagai seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan.oleh sebab itu, dalam memandang segala sesuatu penulis sarankan agar dengan hati yang jernih sehingga mudah bagi kita menerima kebenaran, karena segala sesuatu mempunyai manfaat. Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata sempurna seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis masih memerlukan banyak masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta : Kencana, 2004.
Ali, Zainuddin, Hukum Asuransi Syariah, Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Asri Sitompul, Reksa Dana Pengantar dan Pengenalan Umum, Bandung: Citra Aditya Bakti,2000.
Iqbal, Muhaimin, Asuransi umum syariah dalam praktik, Cet. 1. Jakarta : Gema Insani Press, 2005.
John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan dan Investasi, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Jakarta,2001.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Cet. 1, Bandung : Fokus Media, 2008.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Cet 1, Jakarta : CV Novindo Pustaka Mandiri, 2009.
Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (life and general) : Konsep dan Sistem Operasional, Cet. I, Jakarta : Gema Insani Press, 2004.




[1]Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general) : Konsep dan Sistem Operasional, Cet. I, Jakarta : Gema Insani Press, 2004, h.28.
[2]Ibid.
[3]Dalam konteks akad dalam asuransi syari’ah, tabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu  di antara sesama tafakul (asuransi syari’ah) apabila ada di antaranya yang mendapat musibah. Dana klaim yang diberikan diambil dari rekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta ketika akan menjadi peserta asuransi syari’ah, untuk kepentingan dana kebajikan atau dana tolong-menolong, [3]Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general) : Konsep dan Sistem Operasional, Cet. I, Jakarta : Gema Insani Press, 2004, h. 36.
[4]Mudharabah sebagai suatu kontrak kemitraan (partnership) yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada yang lain untuk melakukan bisnis dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama, Lihat :  Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general) : Konsep dan Sistem Operasional, Cet. I, Jakarta : Gema Insani Press, 2004, h. 329. Lihat juga Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta : Kencana, 2004, h. 141.
[5]Wakalah bil Ujrah yaitu salah satu bentuk akad wakalah di mana peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dengan imbalan pemberian ujrah (fee) agar dikelola, Lihat : Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2008. h. 144.
[6]Akad tabarru` adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Dalam akad tabarru` (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan hanya bertindak sebagai pengelola. Lihat : Defenisi tabarru` menurut Fatwa DSN-MUI, No:21/DSN-MUI/X/2001. Lihat juga Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Cet. 1, Bandung : Fokus Media, 2008, h.119.
[7]Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Cet. 1, Bandung : Fokus Media, 2008, h.119.
[8]Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Polis adalah surat antara orang yang ikut asuransi dengan maskapai asuransi.
[9]Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, . . . h.127.
[10]Dalam beberapa hal, mudharabah adalah bagian dari musytarakah (syirkah), sebagai pembedanya adalah penempatan modal (dana) antara kedua pihak yang terikat kerja sama. Dalam mudharabah, kewajiban untuk menempatkan modal hanya dilakukan oleh satu pihak yang disebut dengan shahib al-maal (pemilik modal), sedangkan pihak lain menempati posisi sebagai mudharib (pengusaha) yang menginvestasikan dana pemillik modal, sedang keuntungannya dibagi sesuai dengan nisbah kesepakatan akad. Sedangkan syirkah (musyarakah) terbentuk dari penempatan modal bersama antara kedua belah pihak, dan keuntungannya dibagi sesuai dengan jumlah modal (dana) yang disertakan. Lihat Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil Dalam Hukum Islam, (Penerj. Fakhriyah Mumtihani), (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996).
[11]Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Cet. 1, Bandung : Fokus Media, 2008, h.121.
[12]Ibid.
[13]Http://zonaekis.com/pengertian-obligasi-syariah/ , di unduh pada tanggal 2 Oktober 2012.
[14]Ibid.
[15]Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Cet. 1, Bandung : Fokus Media, 2008, h.127.
[16]Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Cet. 1, Bandung : Fokus Media, 2008, h.127.
[17]Ibid., h. 129.
[18]Asri Sitompul, Reksa Dana Pengantar dan Pengenalan Umum, Bandung: Citra Aditya Bakti,2000, h. 2.
[19]John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan dan Investasi, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Jakarta,2001.
[20]Fatwa Dewan Syariah Nasional No.20/DSN-MUI/IX/2000 Tentang pedoman pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional,(Jakarta: PT Intermasa 2003), Edisi kedua,h.121.
[21]Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Cet. 1, Bandung : Fokus Media, 2008, h.129-130.
[22]Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Cet. 1, Bandung : Fokus Media, 2008, h.130.
[23]Ibid., h. 135.
[24]Ibid.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar