PERMA No.2 Tahun 2008 Buku II Bab XX dan
XXIV
(Ta’min, Obligasi Syariah Mudharabah, Pasar
Modal, Reksadana Syariah
dan SBI Syariah)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata
Kuliah: Hukum Perdata Islam Indonesia II
Dosen Pembimbing: Eka Suriansyah, MHI
Oleh
AHMAD ZARKASI
NIM. 1002110339
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AL AHWAL
ASY SYAKHSHIYYAH TAHUN
1434 H / 2012 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para pemikir hukum
Islam menyadari
sepenuhnya, terkait masalah-masalah ekonomi syariah, status hukumnya perlu menjadi sorotan, apalagi dalam hal-hal yang
hubungannya sudah sangat erat dengan masyarakat, seperti asuransi syari’ah, obligasi syariah, reksadana syariah, sertifikat bank
Indonesia syariah yang belum pernah
ditetapkan oleh para pemikir hukum Islam di zaman dahulu. Pemikiran mengenai hal-hal tersebut muncul ketika terjadi akulturasi budaya antara Islam dengan budaya
Eropa. Namun, bila dicermati melalui kajian yang mendalam maka ditemukan bahwa hal
itu terdapat di dalamnya maslahat
sehingga para ahli hukum Islam mengadopsi manajemennya berdasarkan prinsip-prinsip
syari’ah.
Berdasarkan hal tersebut, para ahli hukum Islam mendorong warga
masyarakat Islam untuk membuka perusahaan-perusahaan yang menggunakan prinsip
syari’ah, dengan berdasarkan konsep ta’awun, yang disertai dengan rasa tanggung
jawab, saling bekerja sama, saling membantu, mewujudkan keselamatan, saling
melindungi dan berbagi kesusahan, yang berlandaskan syariah di Indonesia. Diperkuat
dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah, oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas
lebih lanjut terkait Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 Buku II Bab XX
sampai Bab XXIV.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Peraturan Ta’min dalam PERMA No. 2/2008 Buku II Bab XX?
2.
Bagaimana
Peraturan Obligasi Syari’ah Mudharabah dalam PERMA No. 2/2008 Buku II Bab XXI?
3.
Bagaimana
Peraturan Pasar Modal dalam PERMA No. 2/2008 Buku II Bab XXII?
4.
Bagaimana
Peraturan Reksadana Syari’ah dalam PERMA No. 2/2008 Buku II Bab XXIII?
5.
Bagaimana
Peraturan Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah dalam PERMA No. 2/2008 Buku
II Bab XXIV?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah sebelumnya, maka makalah ini dibuat berdasarkan tujuan untuk
menyerapi dan membahas lebih mengenai Ta’min, Obligasi Syariah Mudharabah, Pasar
Modal, Reksadana Syariah dan SBI Syariah.
D.
Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan
masalah diatas maka penulis membatasi pembahasan ini hanya sesuai dengan rumusan masalah. Adapun hal
lain yang tidak berhubungan dengan hal diatas tidak penulis uraikan pada
makalah ini.
E.
Metode Penulisan
Adapun
metode penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah
metode research library dengan
menggunakan buku perpustakaan dan
dari situs Internet sebagai bahan referensi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ta’min
1.
Pengertian Ta’min
Dalam bahasa Arab at-ta’min
berarti asuransi, At-ta’min التَأْ ميْنُ)) diambil dari
kata اَمَنَ)) memiliki
arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut,[1]
sebagaimana firman Allah swt :
üÏ%©!$# OßgyJyèôÛr& `ÏiB 8íqã_ NßgoYtB#uäur ô`ÏiB ¤$öqyz ÇÍÈ
Artinya : “Yang telah memberi
makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan.” (QS. Quraisy : 4)
Men-ta’min-kan sesuatu,
artinya adalah seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau
ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau
untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan seseorang
mempertanggungjawabkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya.[2]
Apabila penulis memaknai pengertian
at-ta’min diatas, dapat disimpulkan bahwa At-ta’min adalah suatu
transaksi perjanjian antara dua pihak, pihak yang pertama memberikan suatu
iuran, kemudian pihak yang kedua memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar
iuran, apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan
kesepakatan yang dibuat.
2.
Akad yang Membentuk Asuransi Syari’ah
Menurut Hasan Ali dalam bukunya Asuransi dalam Perspektif Hukum
Islam dalam praktik asuransi paling tidak ada dua akad yang membentuknya,
yaitu; akad tabarru’[3]
dan akad mudharabah[4].
Sedangkan pada PERMA No. 2/2008 pasal 554, Akad yang digunakan pada
ta’min dan i’adah ta’min ada tiga yaitu :
a.
Wakalah
bil Ujrah[5];
b.
Mudharabah;
c.
Tabarru’.[6]
Prinsip
wakalah bil ujrah pada ta’min dan i’adah ta’min ada dua, Pertama,
wakalah bil ujrah boleh dilakukan antar perusahaan ta’min, agen sebagai bagian
dari perusahaan dengan peserta. Kedua, wakalah bil ujrah dapat diterapkan pada produk ta’min Syari’ah
yang mengandung unsur tabungan maupun unsur non tabungan.
Pada
PERMA No. 2/2008 pasal 556, Objek wakalah bil ujrah meliputi antara lain:
a.
Kegiatan
administrasi
b.
Pengelolaan
dana
c.
Pembayaran
klaim
d.
Dhaman
ishdar/underwriting
e.
Pengelolaan
portofolio risiko
f.
Pemasaran/Marketing
g.
Investasi[7]
Kedudukan
para pihak dalam akad wakalah bil ujrah:
a.
Perusahaan
bertindak sebagai wakil yang mendapat kuasa untuk mengelola dana;
b.
Peserta/pemegang
polis sebagai individu, dalam produk tabungan dan non tabungan bertindak
sebagai pemberi kuasa untuk mengelola dana;
c.
Peserta
sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun non tabungan, bertindak sebagai
pemberi kuasa untuk mengelola dana;
d.
Wakil
tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali
atas izin pemberi kuasa/pemegang polis[8];
e.
Akad
wakalah bersifat amanah dan bukan tanggungan sehingga wakil tidak menanggung
risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi imbalan yang diterima oleh
perusahaan ta’min, kecuali karena kebodohan, wanprestasi, dan perbuatan melawan
hukum, di samping sifat akad pada umumnya;
f.
Perusahaan
ta’min sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi
apabila transaksi yang digunakan adalah pelaksanaan akad wakalah.[9]
3.
Akad Mudharabah Musytarakah pada Ta’min dan I’adah Ta’min
Ketentuan
hukum dari akad mudharabah musytarakah pada ta’min dan i’adah ta’min:
a.
Akad
yang digunakan adalah akad musytarakah merupakan perpaduan antara pelaksanaan
transaksi mudharabah dengan transaksi musyarakah dengan ketentuan yang mengikat
pada masing-masing transaksi.[10]
b.
Perusahaan
ta’min sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama
peserta.
c.
Modal
atau dana perusahaan ta’min dan dana peserta diinvestasikan secara bersama-sama
dalam portofolio.
d.
Perusahaan
ta’min sebagai mudharib mengelola investasi dana tersebut.[11]
Ketentuan
hukum dari transaksi mudharabah musytarakah pada ta’min dan i’adah ta’min:
a.
Mudharabah
musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan ta’min, karena merupakan bagian
dari hukum mudharabah.
b.
Mudharabah
musytarakah dapat diterapkan pada produk ta’min dan i’adah ta’min yang
mengandung unsur tabungan maupun non tabungan.[12]
B.
Obligasi
Syari’ah Mudharabah
Menurut
UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995, Obligasi Konvensional yaitu “Surat berharga
jangka panjang yang bersifat hutang yang dikeluarkan oleh emiten (bisa
berupa badan hukum atau perusahaan, bisa juga dari pemerintah) kepada
pemegang obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada priode tertentu dan
melunasi pokok pada saat jatuh tempo”. Sedangkan Obligasi syariah berbeda
dengan obligasi konvensional. Semenjak ada pendapat yang mengemukakan bahwa
bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bungaini keluar
dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan
obligasi syariah.[13]
Berdasarkan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
32/DSN-MUI/IX/2002, “Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka
panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang
Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada
pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali
dana obligasi pada saat jatuh tempo”.
Menurut penulis bahwa Obligasi syariah adalah surat berharga
(efek) hutang jangka panjang yang diterbitkan oleh sebuah perusahaan atau
pemerintah (emiten) dengan ketentuan suku bunga dan tanggal jatuh tempo
tertentu.
Karakteristik obligasi syariah, merupakan
bukti kepemilikan suatu asset berwujud atau hak manfaat (beneficial), pendapatan berupa imbalan (kupon), margin, dan bagi
hasil, sesuai jenis akad yang digunakan, terbatas dari unsure riba, gharar, dan maysir.
Obligasi Syariah Mudharabah
ditawarkan dengan ketentuan yang mewajibkan emiten untuk membayar kepada
pemegang obligasi tersebut sejumlah pendapatan bagi hasil dan membayar kembali
dana Obligasi Syariah Mudharabah pada tanggal jatuh tempo. Pendapatan bagi
hasil dibayarkan setiap periode tertentu (3 bulan, 6 bulan, atau setiap tahun).
Besarnya pendapatan bagi hasil dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah
pemegang Obligasi Syariah Mudharabah dengan pendapatan yang dibagihasilkan,
yang besarnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten triwulanan
yang terakhir diterbitkan sebelum tanggal pembayaran pendapatan bagi hasil yang
bersangkutan. Pembayaran pendapatan bagi hasil kepada masing-masing pemegang
obligasi akan dilakukan secara proporsional sesuai dengan porsi kepemilikan
obligasi syariah yang dimiliki dibandingkan dengan jumlah dana obligasi syariah
yang belum dibayarkan kembali.[14]
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2008 pasal 575, Transaksi
yang digunakan dalam Obligasi Syari’ah Mudharabah adalah pelaksanaan akad
Mudharabah, adapun jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan
dengan Syari’ah dengan memperhatikan ketentuan dan prinsip Reksa Dana Syari’ah.
1)
Pendapatan/hasil
investasi yang dibagikan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah Mudharabah
harus bersih dari unsur non halal;
2)
Nisbah
keuntungan dalam Obligasi Syari’ah Mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan,
sebelum penerbitan Obligasi Syari’ah Mudharabah;
3)
Pembagian
pendapatan/hasil dapat dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dengan
ketentuan pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan.
Apabila emiten lalai atau melanggar syarat perjanjian dan/atau
melampaui batas, maka emiten berkewajiban menjamin pengembalian dana mudharabah,
dan pemegang obligasi Syari’ah mudharabah dapat meminta emiten untuk membuat
surat pengakuan utang.
C.
Pasar
Modal
1.
Prinsip Pasar Modal Syari’ah
Pasar Modal merupakan
kegiatan yang berhubungan dengan penawaran umum dan perdagangan efek,
perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga
dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Pasar Modal bertindak
sebagai penghubung antara para investor dengan perusahaan ataupun institusi
pemerintah melalui perdagangan instrumen keuangan jangka panjang seperti
Obligasi, Saham dan lainnya.
Pasar
modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis
efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya dipandang telah memenuhi
prinsip Syari’ah. Suatu efek dipandang
telah memenuhi prinsip Syari’ah apabila telah memperoleh pernyataan kesesuaian
Syari’ah.[15]
2.
Emiten yang Menerbitkan Efek Syari’ah
Jenis
usaha, produk barang, atau jasa yang diberikan dan akad, transaksi serta cara
pengelolaan perusahaan emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek
Syari’ah tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syari’ah.
a.
Perjudian
dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
b.
Lembaga
keuangan konvensional/ribawi, termasuk perbankan dan ta’min konvensional;
c.
Produsen,
distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram;
d.
Produsen,
distributor, atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan
bersifat mudarat;
e.
Melakukan
investasi pada emiten/perusahaan yang pada saat akad tingkat nisbah utang
perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi yang lebih dominan dari modalnya;[16]
Emiten
yang bermaksud menerbitkan efek Syari’ah wajib untuk menandatangani dan
memenuhi ketentuan transaksi yang sesuai dengan Syari’ah atas efek Syari’ah yang
dikeluarkan. Emiten yang menerbitkan efek Syari’ah wajib menjamin bahwa
kegiatan usahanya memenuhi prinsip Syari’ah dan memiliki shariah compliance
officer. Dalam hal emiten yang menerbitkan efek Syari’ah ijarah pada saat
tertentu tidak memenuhi persyaratan, maka efek yang diterbitkan bukan lagi
disebut sebagai efek Syari’ah.[17]
D. Reksadana Syari’ah
Secara
bahasa reksa dana tersusun dari dua konsep, yaitu reksa yang
berarti pemeliharaan dan dana yang berarti (himpunan) uang. Dengan
demikian secara bahasa reksa dana berarti kumpulan uang yang dipelihara.[18]
Reksa dana merupakan dana bersama
yang dioperasikan oleh suatu perusahaan investasi yang mengumpulkan uang
dari pemegang saham dan menginvestasikannya ke dalam saham , obligasi, opsi, komoditas,
atau sekuritas pasar uang. Reksa dana seperti ini menawarkan keunggulan
diversifikasi dan manajemen professional kepada investor .Untuk jasa ini
mereka biasanya membebankan suatu biaya manajemen , biasanya 1% atau kurang
dari aktiva per tahun.[19]
Reksa dana syariah
adalah reksa dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syariah
islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (sahib al
maal/raab al mal) dengan manajer investasi sebagai wakil sahibul al mal maupun
antara manajer investasi sebagai wakil sahibul mal dengan penggunaan investasi.[20] Dengan
demikian, reksa dana syariah adalah reksa dana yang mengelola dan kebijakan
investasinya mengacu kepada syariah islam. Reksa dana syariah tidak akan
menginvestasikan dananya pada obligasi dari perusahaan yang mengelolanya atau
produknya bertentangan dengan syariat islam misalnya; pabrik minuman
beralkohol, industry perternakan babi, jasa keuangan yang melibatkan riba dalam
operasionalnya dan bisnis yang mengandung maksiat.
1.
Mekanisme Kegiatan Reksadana Syari’ah
a.
Mekanisme
operasional dalam reksadana Syari’ah terdiri atas :
1)
Antara
pemodal dengan manajer investasi dilakukan dengan wakalah;
2)
Antara
manajer investasi dengan pengguna investasi dilakukan dengan sistem mudharabah.
b.
Karakteristik
sistem mudharabah adalah:
1)
Pembagian
keuntungan modal antara pemodal yang diwakili oleh manajer investasi dan
pengguna investasi berdasarkan pada proporsi yang telah disepakati kedua belah
pihak melalui manajer investasi sebagai wakil dan tidak ada jaminan atas hasil
investasi tertentu kepada pemodal.
2)
Pemodal
hanya menanggung risiko sebesar dana yang telah diberikan.
3)
Manajer
investasi sebagai wakil tidak menanggung risiko kerugian atas investasi yang
dilakukannya sepanjang bukan karena kelalaiannya.[21]
2.
Hubungan, Hak, dan Kewajiban
a.
Transaksi
antara pemodal dengan manajer dilakukan berdasarkan akad wakalah.
b.
Dengan
akad wakalah sebagaimana dimaksud, maka pemodal memberikan mandat kepada
manajer investasi untuk melaksanakan investasi bagi kepentingan pemodal, sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam prospektus.
c.
Para
pemodal secara kolektif mempunyai hak atas hasil investasi dalam reksadana
Syari’ah.
d.
Pemodal
menanggung risiko yang berkaitan dalam reksadana Syari’ah.
e.
Pemodal
berhak untuk ijarah waktu menambah atau menarik kembali pernyataannya dalam
reksadana Syari’ah melalui manajer investasi.
f.
Pemodal
berhak atas bagi hasil investasi sampai saat ditarik kembali pernyataan
tersebut.
g.
Pemodal
yang telah memberikan dananya akan mendapatkan jaminan bahwa seluruh dananya akan
disimpan, dijaga, dan diawasi oleh Bank Kustodian.
h.
Pemodal
akan mendapatkan bukti kepemilikan yang berupa unit penyertaan reksadana
Syari’ah.[22]
E. Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah
1. Pengertian dan Karakteristik SBI Syariah
Berdasarkan Peraturan Bank Indoonesia No. 10/11/PBI/2008
tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah ( selanjutnya disingkat SBIS), bahwa
definisi SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syari’ah berjangka
waktu pendek dalammata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Hal
ini sedikit berbeda dengan SBI Konvensional yang diterbitkan melalui lelang
dengan tingkat diskonto yang berbasis bunga (interest), sedangkan SBIS
diterbitkan menggunakan akad/kontrak transaksi ju’alah. Akad ju’alah adalah
jani atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (‘iwadah/ju’l)
atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu perkerjaan.
Para peserta yang diperbolehkan untuk mengikuti lelang SBIS diantaranya Bank
Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syari’ah (UUS) atau pialang yang bertindak untuk dan atas nama
BUS/UUS. Ketentuan lainya, wajib memenuhi persyaratan Financing to Deposit
Ratio (FDR) yang ditetapkan Bank Indonesia.
Bank Sentral dapat menerbitkan instrumen moneter berdasarkan
prinsip syari’ah yang berupa Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah untuk mengatasi
kelebihan likuiditas bank Syari’ah. Akad yang digunakan untuk instrumen
Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah adalah akad ju’alah.[23]
1.
Sertifikat
Bank Indonesia Syari’ah berjangka waktu paling kurang satu bulan dan paling
lama 12 bulan.
2.
Sertifikat
Bank Indonesia Syari’ah diterbitkan tanpa warkat/scriples.
3.
Sertifikat
Bank Indonesia Syari’ah dapat digunakan
kepada Bank Indonesia.
4.
Sertifikat
Bank Indonesia Syari’ah tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.[24]
Bank Indonesia menetapkan dan memberikan imbalan atas Sertifikat
Bank Indonesia Syari’ah yang diterbitkan. Bank Indonesia memberikan imbalan pada
saat Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah jatuh tempo/waktu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bahasa Arab at-ta’min
berarti asuransi, memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman,
dan bebas dari rasa takut. Sedangkan menurut istilah at-ta’min adalah
suatu transaksi perjanjian antara dua pihak, pihak yang pertama memberikan
suatu iuran, kemudian pihak yang kedua memberikan jaminan sepenuhnya kepada
pembayar iuran, apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai
dengan kesepakatan yang dibuat. Dalam PERMA No. 2/2008 Akad yang digunakan pada
ta’min dan i’adah adalah 1) Wakalah bil Ujrah, 2) Mudharabah 3) Tabarru’.
Dalam PERMA No. 2/2008 Akad yang digunakan pada ta’min dan i’adah
adalah 1) Wakalah bil Ujrah 2) Mudharabah 3) Tabarru’. Pasar modal beserta
seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten , jenis efek yang diperdagangkan
dan mekanisme perdagangannya dipandang telah memenuhi prinsip Syari’ah. Suatu
efek dipandang telah memenuhi prinsip
Syari’ah apabila telah memperoleh Pernyataan kesesuaian Syari’ah.
Bank Sentral dapat menerbitkan instrumen moneter berdasarkan
prinsip syari’ah yang berupa Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah untuk mengatasi
kelebihan likuiditas bank Syari’ah. Akad yang digunakan untuk instrumen
Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah adalah akad ju’alah.
B. Kritik dan Saran
Sebagai seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan
kekurangan.oleh sebab itu, dalam memandang segala sesuatu penulis sarankan agar
dengan hati yang jernih sehingga mudah bagi kita menerima kebenaran, karena
segala sesuatu mempunyai manfaat. Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata
sempurna seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu
penulis masih memerlukan banyak masukan yang sifatnya membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Hasan, Asuransi
dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta : Kencana, 2004.
Ali, Zainuddin,
Hukum Asuransi Syariah, Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Asri Sitompul, Reksa
Dana Pengantar dan Pengenalan Umum, Bandung: Citra Aditya Bakti,2000.
Iqbal,
Muhaimin, Asuransi umum syariah dalam praktik, Cet. 1. Jakarta : Gema
Insani Press, 2005.
John Downes
dan Jordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan dan Investasi,
Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Jakarta,2001.
Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah, Cet. 1, Bandung
: Fokus Media, 2008.
Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, Cet 1,
Jakarta : CV Novindo Pustaka Mandiri, 2009.
Sula, Muhammad
Syakir, Asuransi Syariah (life and general) : Konsep dan Sistem Operasional,
Cet. I, Jakarta : Gema Insani Press, 2004.
[1]Muhammad Syakir
Sula, Asuransi Syariah (life and general) : Konsep dan Sistem Operasional,
Cet. I, Jakarta : Gema Insani Press, 2004, h.28.
[2]Ibid.
[3]Dalam konteks akad dalam asuransi
syari’ah, tabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan dengan niat
ikhlas untuk tujuan saling membantu di
antara sesama tafakul (asuransi syari’ah) apabila ada di antaranya yang
mendapat musibah. Dana klaim yang diberikan diambil dari rekening dana tabarru’
yang sudah diniatkan oleh semua peserta ketika akan menjadi peserta
asuransi syari’ah, untuk kepentingan dana kebajikan atau dana tolong-menolong, [3]Muhammad
Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general) : Konsep dan Sistem
Operasional, Cet. I, Jakarta : Gema Insani Press, 2004, h. 36.
[4]Mudharabah sebagai suatu kontrak
kemitraan (partnership) yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil dengan
cara seseorang memberikan modalnya kepada yang lain untuk melakukan bisnis dan
kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan
isi perjanjian bersama, Lihat : Muhammad
Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general) : Konsep dan Sistem
Operasional, Cet. I, Jakarta : Gema Insani Press, 2004, h. 329. Lihat juga
Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta : Kencana,
2004, h. 141.
[5]Wakalah bil Ujrah yaitu salah
satu bentuk akad wakalah di mana peserta memberikan kuasa kepada
perusahaan asuransi dengan imbalan pemberian ujrah (fee) agar dikelola,
Lihat : Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, Cet. 1, Jakarta : Sinar
Grafika, 2008. h. 144.
[6]Akad tabarru` adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan
tujuan kebaikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Dalam
akad tabarru` (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan hanya
bertindak sebagai pengelola. Lihat : Defenisi tabarru` menurut Fatwa
DSN-MUI, No:21/DSN-MUI/X/2001. Lihat juga Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Cet. 1, Bandung
: Fokus Media, 2008, h.119.
[8]Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Polis adalah surat antara orang yang ikut
asuransi dengan maskapai asuransi.
[10]Dalam beberapa
hal, mudharabah adalah bagian dari musytarakah (syirkah),
sebagai pembedanya adalah penempatan modal (dana) antara kedua pihak yang
terikat kerja sama. Dalam mudharabah, kewajiban untuk menempatkan modal
hanya dilakukan oleh satu pihak yang disebut dengan shahib al-maal (pemilik
modal), sedangkan pihak lain menempati posisi sebagai mudharib (pengusaha)
yang menginvestasikan dana pemillik modal, sedang keuntungannya dibagi sesuai
dengan nisbah kesepakatan akad. Sedangkan syirkah (musyarakah)
terbentuk dari penempatan modal bersama antara kedua belah pihak, dan
keuntungannya dibagi sesuai dengan jumlah modal (dana) yang disertakan. Lihat
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil Dalam Hukum
Islam, (Penerj. Fakhriyah Mumtihani), (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima
Yasa, 1996).
[12]Ibid.
[13]Http://zonaekis.com/pengertian-obligasi-syariah/ , di unduh pada
tanggal 2 Oktober 2012.
[14]Ibid.
[18]Asri Sitompul, Reksa Dana Pengantar dan Pengenalan Umum, Bandung: Citra
Aditya Bakti,2000, h. 2.
[19]John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Kamus Istilah
Keuangan dan Investasi, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Jakarta,2001.
[20]Fatwa Dewan Syariah Nasional
No.20/DSN-MUI/IX/2000 Tentang pedoman pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana
Syariah, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional,(Jakarta: PT Intermasa
2003), Edisi kedua,h.121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar