Perbandingan
Teori Kenegaraan (Khawarij, Sunni, Syi’ah, dan Mu’tazilah)
No.
|
Aspek
|
Perbandingan
|
1.
|
Perlu tidaknya pembentukan lembaga khalifah atau pemerintah/imamah
|
1.
Khawarij, bukanlah suatu keharusan atau wajib. Hal ini tergantung kepada kehendak
umat apakah suatu pemerintahan perlu dibentuk atau tidak.
2.
Sunni, keharusan adanya kepala Negara dan pemerintahan itu
sendiri guna mencegah kekacauan.
3.
Syiah, keharusan adanya kepala Negara dan pemerintahan, karena
menurut Ja’fariyah (Imamiyah Itsna Asyariyah). Imama adalah salah satu rukun
agama, dan pada setiap masa harus ada Imam.
4.
Mu’tazilah,
pembentukan khalifah atau pemerintah/imamah tidak wajib
berdasarkan syara, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan
muamalah manusia.
|
2.
|
Siapa yang berhak menduduki jabatan khalifah atau pemerintah/imamah
|
1.
Khawarij, Jabatan khalifah/imam bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan
monopoli suku Quraisy, karena semua bangsa yang mempunyai hak sama, dan lebih
mengutamakan Non Quraisy, umat Islam boleh memilih imam yang disukainya,
walaupun dia seorang hamba dari Ethiopia.
2.
Sunni, Ada beberapa pemikiran yang ungkapkan para ulama Sunni :
-
Suku Qurais ; sebagai syarat kepala negara. Para tokoh yang memegang teori ini adalah
Imam Ghazali, al-Juwaini, al-Baqillani dan al-Mawardi. Ibnu Abi Rabi.
-
Siapa saja yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan kualitas
dan kemampuan, disepakati mayoritas umat Islam dalam pemilihan kepala Negara
yang dilakukan ahl al-hall wa al-‘aqd, dan hasil musyawarah.
3.
Syiah, menurut Syiah Imamiyah jabatan khalifah/imam adalah hak istimewa Ahl-al-Bait
(keluarga Nabi), yaitu Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, manusia tidak
boleh meraba-raba dalam memilih orang orang yang ditentukan Allah sebagai
petunjuk dan pembimbing bagi semua manusia, sebagaimana manusia tidak berhak
menentukan, mencalonkan, atau memilih imam. Pada dasarnya, orang yang
memiliki kepribadian suci yang siap mengemban amanah umum dan memberikan
petunjuk kepada manusia itu tidak boleh ditentukan melainkan Allah swt.
Menurut Syi’ah Ja’fariyah, lewat beberapa nash, Nabi saw menetapkan Ali bin
Abi Thalib sebagai Amirul Mukminin, penerima amanat wahyu, dan Rasulullah
juga menjelaskan para imam setelah Ali adalah 12 orang imam.
4.
Mu’tazilah,
jabatan khalifah/imam bukan
hak istimewa keluarga atau suku tertentu. Apakah ia orang quraisy atau bukan,
sama-sama punya hak atasnya.
|
3.
|
Bagaimana cara memilih khalifah atau pemerintah/imamah
|
1.
Khawarij, Pengangkatan khalifah akan sah hanya berdasarkan pemilihan yang
benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi. Dan
jika imam terpilih, dia tidak boleh mengalah ataupun diserang. Imam menjadi
pemimpin umat Islam selama ia berlaku adil dan barangsiapa meninggalkannya,
maka wajib diperangi untuk membela imam. Tetapi, jika imam cacat dan berlaku
tidak adil, maka ia wajib dipecat atau dibunuh.
2.
Sunni, Ada beberapa pemikiran yang ungkapkan para ulama Sunni :
-
Kekuasaan khalifah adalah dari Tuhan. Khalifah adalah wakil Tuhan
di bumi. Karena itu kekuasaannya dianggap mutlak.
-
pertama, pemilihan pemimpin berdasarkan wasiat
kedua,
pemilihan pemimpin berdasarkan ahl al-hall wa al-‘aqd
ketiga, pemilihan
pemimpin berdasarkan dukungan rakyat.
3.
Syiah,
Khalifah/Imam tidak begitu saja diserahkan kepada umat. Syiah
mengemukakan nash dari Nabi yang menetapkan Ali dan keturunannya untuk
menjadi imam.
4.
Mu’tazilah,
Hak memilih kepala Negara berada di tangan rakyat.
|
4.
|
Bagaimana penyelenggaraan kekuasaan eksekutif (Sultah tanfidziyah)
|
1.
Khawarij, Penyelenggaraan kekuasaan eksekutif asalkan Seorang khalifah berlaku adil, melaksanakan syari’at,
serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan. Jika ia menyimpang, ia wajib
dijatuhi hukuman berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
2.
Sunni, Dalam kepemimpinan Sunni, seorang khalifah harus terbuka dan bersedia
untuk dikontrol dan dikoreksi tanpa harus merasa terhina dan tersinggung.
Setiap kebijaksanaan politik yang diambilnya, harus berani
dipertanggungjawabkan dihadapan wakil-wakil rakyat. Dan wakil-wakil rakyat
baik secara individual maupun kelompok dapat meminta pertanggungjawaban atas
setiap kebijaksanaan plitik yang telah diambil oleh khalifah. Pernyataan di
atas berdasarkan praktek ketatanegaraan yang pernah dilakukan oleh Khulafa al
Rasyidin.
3.
Syiah, Sesuai dengan ajaran Syiah Imamiyah Asyariyah (kelompok syiah yang paling
banyak pengikutnya), selama imam-imam yang maksum itu masih ada dan hadir
hukum yang berlaku adalah hukum yang diberikan Imam-imam itu. Apa yang mereka
perintahkan adalah perintah Allah, apa yang mereka larang itu larangan Allah.
Taat kepada mereka berarti taat kepada Allah, dan menentang mereka berarti
menentang Allah. Dalam kehadiran imam-imam yang maksum itu tidak terdapat
ruang untuk ijtihad rasional.
4.
Mu’tazilah, Tidak terdapat kekuasaan eksekutif yang jelas dalam penyebutan sejarah.
|
5.
|
Bagaimana penyelenggaraan kekuasaan legislatif (Sultah tasyri’iyah)
|
1. Khawarij, penyelenggaraan politik Khawarij bercorak
demokratis, seperti mengenai masalah siapa yang berhak menjadi khalifah yaitu
atas kehendak umat, dan tidak terbatas pada keluarga atau kabilah tertentu
dari kalangan Arab.
2. Sunni, Ahlul
halli wal aqdhi, yaitu kelompok ulama yang berwenang, memiliki otoritas dan mengikat.
Atau lebih dikenal dalam istilah lain, majelis syura. Di NU ( Nahdhatul
‘Ulama) ada Majelis Syura, yang fungsinya sama dengan wilayatul faqih dalam
Syiah. Meski pun dalam prakteknya, berbeda dengan di Iran. Fungsi majelis
syura dikalangan Muslim Sunni sangat lemah bahkan dalam bidang politik tidak
banyak berperan. Jadi hanya memberikan pandangan-pandangan keagamaan, tidak mempunyai
kekuatan nyata.
3. Syiah, Di dalam tradisi
Syiah, ulama- ulama yang betul-betul ahli dalam ilmu syariah, sekitar sepuluh
sampai dengan lima orang, mereka dipilih dan dibentuk semacam dewan. Mereka
inilah yang membentuk sebuah lembaga yang disebut, dalam tradisi Syiah, wilayatul
faqih , wilayatul faqih,
sangat dominan, baik secara agama maupun politik. Itulah yang kita saksikan
di Iran, setelah Revolusi Islam Iran (RII), 1979 , dan sekarang fungsi dan
kedudukan wilayatul faqih sangat dominan. salah satu konsep sentral bagi
Syiah adalah soal politik, yaitu tentang kedudukan imam, kedudukan wakil
imam, yang mutlak tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam
bidang politik. Dan karena itulah, kedudukan imam sangat sentral. Setiap
orang Syiah harus mengikuti imam.
4.
Mu’tazilah, (Tidak ditemukan)
|
6.
|
Bagaimana penyelenggaraan kekuasaan yudikatif (Sultah qadha’iyah)
|
1. Khawarij, penulis menilai bahwa yang menjalankan
kekuasaan yudikatif tidak ada lembaga khusus, karena yang mengontrol adalah
masyarakat sendiri, terlihat dari pemikiran mereka apabila melihat
pemimpinnya menjalankan kekuasaan tidak sesuai syariat, maka dapat diturunkan
dari kekuasaan bahkan dapat dibunuh.
2.
Sunni, mengacu kepada praktik yang dilaksanakan masa Khulafa Rasyidin,
-
Adanya Mahkamah Agung, yang dipimpin oleh seorang ketua
Mahkamah Agung (Qadhi besar), yang berkedudukan di ibu kota negara. Dalam
sejarah tercatat zaid bin Tsabit adalah orang pertama yang menduduki jabatan
ini pada masa pemerintahan umar.
-
Adanya pengadilan tinggi yang dipimpin oleh ketua hakim
tinggi, dan berkedudukan di kota provinsi.
-
Adanya pengadilan negeri (rendah), yang dipimpin oleh
seorang hakim biasa yang berkedudukan di kota kabupaten/kotamadya setempat.
3. Syiah, pada masa klasik, lembaga yudikatif tidak ada,
karena terdapat imam yang maksum, akan tetapi pada konteks sekarang, penulis
contohkan Negara Iran, terdapat lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan
sebagainya. Tetapi di atas lembaga-lembaga itu semua terdapat seorang ilmuan
agama yang memiliki kata akhir, dan di mana perlu, dapat menolak untuk
menyetujui keputusan atau kebijaksanaan yang diambil oleh lembaga-lembaga
tersebut.
4.
Mu’tazilah, Tidak terdapat kekuasaan yudikatif yang jelas dalam penyebutan sejarah.
|
Komentar/Pendapat Penulis :
·
Dari keempat pemikiran yang penulis paparkan
di atas, tidak ada satu aliran pun yang menentukan lama jabatan kepala negara.
Syiah cenderung seumur hidup, Sunni dan Mu’tazilah memandang kekuasaan
kepala negara tidak terbatas. Khawarij berpandangan kepala negara dapat diganti jika tidak dapat melaksanakan tugasnya.
·
Aliran Sunni sistem pemerintahan yang dilakukan oleh kalangan ningrat saja/kaum Quraisy dan monarki (kerajaan), diawali masa Umayyah. Kepala negara sebagai wakil Tuhan di bumi dan cenderung teokrasi (pemerintahan yang berpedoman kepada hukum
tuhan).
·
Aliran teokrasi yang diwakili Syi’ah (kecuali
Zaidiyyah) menganggap kepala negara adalah imam yang ma’sum, diangkat
berdasarkan penunjukkan Allah lewat wasiat Nabi, menjadikan kepala negara
mempunyai otoritas yang tidak terbatas.
·
Ajaran demokratis justru dilahirkan oleh kalangan Khawarij
(kelompok minoritas dari pedalaman) yang menjadi bagian dari reaksi terhadap
kalangan Sunni, Syi’ah, dan Mu’tazilah.
·
Diilhami
oleh John Locke, maka filsuf perancis Baron de Montesquieu
(1689-1755) dalam bukunya L’Esprit
des Lois (The Spirit of
the Laws) mengemukakan
bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu eksekutif,
legislative, dan yudikatif.
Prinsip adanya pembagian kekuasaan di dalam suatu Negara seperti
yang diajukan Montesquieu sebenarnya juga ada dalam Islam, hanya dengan nama
yang lain. Pembagian kekuasaan di dalam Negara Islam terbagi atas :
1.
Khalifah sebagai pemegang kekuasaan (eksekutif)
2.
Majelis Syura sebagai pemegang kekuasaan (legislatif)
3.
Qadhi sebagai pemegang kekuasaan (yudikatif)
·
Posisi lembaga yudikatif yang disebutkan penulis di atas,
harus bebas dari pengaruh pihak manapun juga, baik dari eksekutif ataupun
legislatif.
Sumber rujukan :
As-Saulus, Ali, Imamah & Khilafah, Jakarta :
Gema Insani Press, 1997.
Djaelani, Abdul Qadir, Sekitar Pemikiran Politik Islam,
Jakara : Media Da’wah, 1994.
Syadzali, Munawir, Haji, Islam dan Tata
Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 1990.
Nurdin, Boy, Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam
Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung : PT. Alumni, 2012.
Maududi, Abul A’la Maududi, Hukum dan Konstitusi
Sistem Politik Islam, Bandung : Penerbit Mizan, 1994.
http://politik.kompasiana.com/2012/07/11/pemikiran-politik-sunni-syiah-khawarij-dan-mutazilah-476068.html
http://www.undergroundtauhid.com/mengenal-konsep-imamah-dalam-syiah-tamat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar