Tiga Tipe Hakim, Perlunya Kestabilan
Jiwa Hakim, dan Ijtihad Hakim
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata
Kuliah: Hadis Ahkam II
Dosen Pembimbing: Munib, M.Ag
Oleh
AHMAD ZARKASI
NIM. 1002110339
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434 H / 2012 M
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji
dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan karunia-Nyalah
sehingga makalah dengan judul “Tiga Tipe Hakim, Perlunya Kestabilan Jiwa Hakim, dan
Ijtihad Hakim” ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya, sebagai pemenuhan salah satu tugas Hadis Ahkam II.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi penulisan, susunan kata, maupun
isi materi. Dengan ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini, serta sebagai jembatan ilmu yang
berujung pada intelektualitas.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Palangka
Raya, 13 Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
MOTTO
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR
ISI.......................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................... 2
D. Batasan Masalah................................................................................... 2
E.
Metode Penulisan................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Tiga Tipe Hakim................................................................................... 3
B.
Kestabilan Jiwa Hakim......................................................................... 4
C. Ijtihad Hakim........................................................................................ 6
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................... 9
B. Kritik dan Saran.................................................................................... 9
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan merupakan perkara yang sangat urgen
dan sangat diperlukan bagi masyarakat, maka banyak nash-nash (teks-teks)
pembentukan hukum menarik perhatian padanya, bahkan Rasulullah saw melaksanakan
sendiri, sebagaimana ia juga melimpahkan kepada sebagian sahabat-sahabatnya,
dan dilaksanakan juga oleh para Khalifah-khalifah sesudahnya.
Demi tercapainya sebuah keadilan di dalam
masyarakat, maka diperlukan pula kepiawaian seorang hakim dengan jalan
penetapan, artinya Hakim telah menetapkan suatu hak kepada yang punya, bahwa
penetapan itu sifatnya melaksanakan perintah agama dan bukan menciptakannya
karena perintah seperti itu tetap diperkirakan adanya, sedang penetapan itu
sifatnya menetapkan secara lahir, dan bukannya menetapkan sesuatu yang belum
ada. Dan ada juga yang berpendapat Hakim memutuskan hukum antara manusia dengan
benar, dan memutuskan hukum dengan apa yang diperintahkan Allah swt. Dengan
tanggung jawab yang diemban seorang Hakim, diperlukan sebuah kreatifitas,
kecerdasan, dan berlaku adil dalam segala keputusannya.
Untuk memberikan sedikit gambaran mengenai masalah di atas, maka
pada makalah ini penulis akan membahas Tiga Tipe Hakim, Kestabilan Jiwa Hakim, dan Ijtihad
Hakim.
B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam
penyusunan makalah ini, penulis membuat suatu rumusan masalah yang akan
diangkat sebagai topik pembahasan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini, adalah:
1.
Hadis dan Kandungan Pokok Tiga Tipe Hakim?
2.
Hadis dan Kandungan Pokok Kestabilan Jiwa Hakim?
3.
Hadis dan Kandungan Pokok Ijtihad Hakim?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka
tujuan penulisan yang ingin penulis capai antara lain:
1.
Agar pembaca
dapat mengetahui dan memahami Hadis dan
Kandungan Pokok Tiga Tipe Hakim.
2.
Agar pembaca
dapat mengetahui dan memahami Hadis dan
Kandungan Pokok Kestabilan Jiwa Hakim.
3.
Agar pembaca
dapat mengetahui dan memahami Hadis dan
Kandungan Pokok Ijtihad Hakim.
D.
Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan
masalah di atas, maka penulis membatasi pembahasan ini sesuai yang terdapat
dalam rumusan masalah. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal di
atas tidak penulis uraikan pada makalah ini.
E. Metode
Penulisan
Adapun metode yang penulis pergunakan dalam penulisan
makalah ini yaitu dengan metode research library
dengan menggunakan buku perpustakaan dan
browsing internet sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang ada
kaitanya dengan makalah yang penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan
dalam bentuk makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tiga Tipe Hakim
عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ ا للّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ ا للّهِ ضَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْقُضَاةُ ثَلَا ثَةٌ اِثْنَانِ فى النَّا رِ وَوَاحِدٌ فِى الْجَنَّةِ : رَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بَهِ فَهُوَ فِى الْجَنَّةِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَلَمْ يَقْضِ بِهِ وَجَارَ فِى الْحُكْمِ فَهُوَفِنَّارِوَرَجُلْ لَمْ يَعْرِفِ الْحَقَّ فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّارِ . (رواه الأربعة وصححه الحا كم )
Artinya : “Diriwayatkan dari Buraidah r.a. dia
berkata, Rasulullah SAW telah bersabda, "Hakim-hakim itu ada tiga macam,
yaitu dua orang berada (akan menjadi penghuni) di neraka dan seorang lagi
berada (akan menjadi penghuni) di surga. Seorang hakim yang mengetahui
kebenaran kemudian dia menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut maka
dia berada (akan menjadi penghuni) di surga; Seorang hakim yang mengetahui
kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut dan
menyimpang dari kebenaran dalam menerapkan hukum, dia berada (akan menjadi
penghuni) di neraka; dan seorang hakim yang tidak mengetahui kebenaran,
kemudian menetapkan hukum berdasarkan ketidaktahuannya, dia berada (akan
menjadi penghuni) di neraka.” (H.R. Imam yang empat dan dinyatakan sahih
oleh Al-Hakim)[1]
1.
Keterangan Hadis
Hakim terbagi menjadi tiga
(golongan) yang memiliki karakteristik yang berbeda, dua golongan disebutkan berada (akan menjadi penghuni) di neraka, dan satu golongan berada (akan menjadi penghuni) di surga.[2]
Hakim yang
berkiprah dalam peradilan, mengetahui
kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran maka akan masuk ke dalam surga. Perumpaman
hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum
berdasarkan kebenaran tersebut, bagaikan orang bodoh yang menetapkan hukum
dengan kebodohannya dan kedudukannya adalah di neraka.
Orang bodoh tidak memenuhi
persyaratan seorang hakim yang
menetapkan hukum dengan benar secara kebetulan, ataupun
memutuskan tetapi tidak berdasarkan pengetahuannya, maka dia
terancam masuk ke dalam neraka.
Keputusan hakim yang diberlakukan adalah keputusan
hakim kelompok pertama, yakni hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan
hukum berdasarkan kebenaran tersebut.
2.
Tinjauan Rawi Hadis
Buraidah bin
Al-Hashib bin Abdillah Al-Aslami masuk Islam sebelum Perang Badar, tetapi dia
tidak menyaksikannya. Dia termasuk sahabat yang menyaksikan Ba’iat Ar-Ridwan
dan meriwayatkan 164 hadis. Di antara orang yang meriwayatkan hadis darinya
adalah Abu Al-Malih Amir. Buraidah tinggal di Madinah, kemudian pindah ke
Bashrah, kemudian Khurasan mengikuti
peperangan dan meninggal di sana. Buraidah termasuk sahabat yang paling akhir
meninggal di Khurasan, yaitu pada tahun 62 H pada masa pemerintahan Yazid bin
Mu’awiyah.[3]
B. Perlunya Kestabilan Jiwa Hakim
عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ أَبِىْ بَكْرَةَ قَالَ كَتَبَ اَبُوْ بَكْرَةَ اِلَى ابْنِهِ وَكَا نَ بِسِجْشَا نَ بِاَنْ لَاتَقْضِىَ بَيْن اثْنَيْنِ وَ اَنْتَ غَضْبَانُ فَاِنّىِ سَمِعْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَقُوْلُ لَا يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْن وَهُوَغَضْبَانُ. (متفق عليه)ِ
Artinya : “Dari Abdurrahman bin Abu Bakrah ra. Katanya :
Abu Bakrah pernah menulis surat kepada anaknya yang ketika itu sedang berada di
Sijistan : “Bahwa janganlah engkau memutuskan perkara antara dua orang yang
sedang berselisih, sedang engkau dalam keadaan marah, karena sesungguhnya saya
pernah mendengar Nabi SAW. bersabda : “Janganlah seorang hakim memutuskan
perkara antara dua orang yang berselisih, padahal dia sedang marah” (HR. Bukhari)[4]
1.
Keterangan Hadis
Di dalam hadis
di atas terdapat larangan kepada seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara
dalam keadaan marah/emosi. Hal itu dianjurkan supaya keputusan yang diambil itu
objektif.
Apabila hakim
memutuskan sebuah perkara dalam keadaan marah, maka dalam kondisi seperti itu
dapat mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang benar dan tepat serta
mengeluarkannya dari kestabilan kondisi sehingga tidak dapat berfikir dan
berijtihad.[5]
Hakim wajib untuk selalu mencari
kebenaran, sehingga dia harus menjauhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu
pikirannya. Dia tidak boleh memutusi dikala amat marah atau lapar, sedih yang
mencemaskan, amat takut, mengantuk, atau sibuk hatinya sehingga hal itu akan
memalingkannya dari pengetahuan yang benar dan pemahaman yang cermat.[6]
Seorang hakim
apabila memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi tertentu dari
kondisi-kondisi tersebut di atas dengan benar, maka keputusannya dapat
diterima. Dengan kata lain, larangan untuk memberikan keputusan dalam kondisi
di atas hanyalah merupakan tindakan antisipasi dan kehati-hatian. Demikian pendapat jumhur fuqaha.
Di dalam hadis
tersebut tersirat perintah untuk saling memberikan nasihat di antara sesama
muslim dalam rangka memperbaiki kestabilan kondisi mereka, terlebih lagi bagi
para pemimpin penegak keadilan.
2.
Tinjauan Rawi Hadis
Abu Bakrah
Nafi’ bin Al-Harits bin Kildah Ats-Tsaqafi. Gelar (kunyah) Abu Bakar
diberikan oleh Rasulullah SAW. kepadanya karena dia turun mengendarai untanya
dari benteng Thaif bersama kelompok hamba sahaya lainnya ketika Rasul sedang
mengepung benteng tersebut. Kemudian dia masuk Islam dan Rasul SAW
memerdekakannya. Abu Bakrah termasuk sahabat yang terkemuka. Dia meriwayatkan
122 hadis dan meninggal dunia di Bashrah pada tahun 51 H.[7]
C.
Ijtihad Hakim
عَنْ عَمَرِوبْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَاحَكَمَ الْحَا كِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أصَا بَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ . (متفق عليه)
Artinya : “Diriwayatkan dari
Amru bin Al-Ash. katanya, “Dia mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “Apabila
seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan berijtihad, kemudian ijtihadnya
itu benar, dia akan mendapat dua pahala. Sekiranya hakim itu memutuskan sesuatu
perkara dengan berijtihad, tetapi ijtihadnya itu tidak benar, dia akan
memperoleh suatu pahala.” (Muttafaq’alaih)[8]
1.
Keterangan
Hadis
Berdasarkan
hadis di atas, dapat dipahami bahwa di dalam kebenaran dan ketepatan penetapan
hukum terdapat dua balasan pahala dan di dalam proses pencarian kebenaran,
meskipun salah terdapat satu balasan pahala.
Orang yang
menjadi objek sasaran dari hadis ini adalah mereka yang ahli dalam masalah
hukum, seperti seorang hakim yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu
sebagai seorang hakim, di antaranya adalah pengetahuan dan penguasaan terhadap
Al-Qur’an dan As-Sunah dengan berbagai ilmunya, penguasaan terhadap bahasa yang
tertulis dalam bentuk-bentuk referensi sumber hukum Islam, pengetahuan terhadap
pendapat-pendapat yang dimiliki para ulama, baik pendapat yang disepakati
ataupun pendapat yang diperselisihkan, penguasaan terhadap qiyas yang jali
maupun khafi, dan persyaratan-persyaratan lainnya.
Adapun bagi
orang yang tidak ahli dalam masalah hukum, ketetapan ini (ketentuan dua atau
satu pahala) tidak dapat berlaku. Orang yang tidak ahli dalam masalah hukum,
kemudian dia menetapkan hukum, maka orang tersebut tidak akan memperoleh
pahala, bahkan malah sebaliknya dia mendapat dosa. Ketetapannya tidak dapat
diberlakukan meskipun keputusannya itu sesuai dengan kebenaran.
Ijtihad adalah
mengerahkan kesungguhan dalam mencari, secara terminologi, ijtihad adalah
mengerahkan kemampuan untuk sampai kepada pengetahuan hukum syar’i.[9]
Ijtihad
merupakan salah satu sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan
Al-Hadis. Meskipun keberadaan ijtihad merupakan hasil usaha keras seseorang
yang memiliki kualifikasi tertentu dalam menentukan pendapatnya mengenai
masalah-masalah pelik dan meragukan dalam lapangan hukum, ijtihad memegang
peranan penting dalam agama Islam. Al-Qur’an secara terang-terangan menghargai
akal pikiran dan berulang kali menyeru umat manusia untuk menggunakannya. Lebih
dari itu, Al-Qur’an sangat mencela dan menyamakan derajat orang yang tidak mau
menggunakan akal pikiran dengan binatang, dan bahkan lebih sesat lagi.
2.
Tinjauan Rawi Hadis
Abdullah bin
Amru bin Al-Ash As-Sahmi Al-Qursyi adalah seorang sahabat yang masuk Islam
sebelum ayahnya. Dia termasuk sahabat yang alim, hafizh,’abid, zahid,
dan menjauhkan diri dari perbuatan fitnah. Abdullah bin Amru meriwayatkan 700
hadis. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh orang banyak, di antaranya adalah
Syu’aib bin Muhammad, Sa’id bin Musayyab, dan lain-lain. Ada perbedaan pendapat
mengenai tahun wafatnya. Pendapat yang paling tepat adalah pendapat Ibnu
Hibban, yaitu Abdullah bin Amru meninggal pada tahun 63 H dalam usia 72 tahun. [10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para hakim yang berkecimpung dalam dunia peradilan terbagi menjadi tiga
golongan yang berbeda, dua golongan disebutkan akan menjadi penghuni neraka, dan satu golongan akan menjadi penghuni surga. Hakim yang mengetahui
kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran maka akan masuk ke dalam
surga. hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum
berdasarkan kebenaran maka kedudukannya adalah di neraka. Hakim yang menetapkan hukum dengan benar secara kebetulan, ataupun memutuskan tetapi tidak berdasarkan pengetahuannya, maka dia
terancam masuk ke dalam neraka.
Apabila hakim memutuskan sebuah
perkara maka terdapat larangan memutuskannya dalam keadaan marah/emosi. Hal itu
dianjurkan supaya keputusan yang diambil itu objektif, dan berlaku adil. Seorang
hakim yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu sebagai seorang hakim, apabila
memutuskan perkara kebenaran dan ketepatan penetapan hukum terdapat dua balasan
pahala dan di dalam proses pencarian kebenaran, meskipun salah terdapat pula satu
balasan pahala.
B. Kritik dan Saran
Kedudukan hakim dalam lingkup peradilan
sangatlah urgen, karena hakim merupakan pertahanan terakhir dalam penegakan
hukum, memberikan pelayanan , kepuasan hukum terhadap masyarakat, akan tetapi dalam
tugasnya hakim seringkali bertindak tidak adil, karena ada beberapa faktor,
diantaranya kurangnya ilmu ataupun ada suatu sandiwara.
Diharapkan, para hakim yang menjalankan
tugas-tugasnya dapat bertindak adil dan sesuai dengan tuntutan syariat. Agar penegakan
hukum dapat berjalan sesuai yang kita harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahnan Asy,
Maftuh, Kumpulan Hadist-hadist Pilihan Sahih Bukhari, Surabaya : Terbit
Terang, tt.
Ibnu Hajar Al
Asqalani, Al Imam Al Hafizh, Fathul Bari 36 : Shahih Bukhari, Jakarta :
Pustaka Azzam, 2009.
Madkur, Muhammad Salam, Peradilan Dalam Islam, Surabaya : PT Bina
Ilmu, 1993.
Mahalli, Ahmad
Mudjab dan Hasbullah, Ahmad Rodli, Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih, Jakarta
: Kencana, 2004.
Rahman, Taufik, Hadis-hadis Hukum, Bandung : CV Pustaka Setia, 2000.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 14, Cet. 2, Bandung : Alma’arif, 1988.
[1]Taufik Rahman, Hadis-hadis Hukum, Bandung : CV Pustaka Setia, 2000,
h. 173.
[3]Taufik Rahman, Hadis-hadis Hukum, Bandung : CV
Pustaka Setia, 2000, h. 176.
[4]Maftuh Ahnan Asy, Kumpulan Hadist-hadist Pilihan Sahih Bukhari,
Surabaya : Terbit Terang, tt, h. 241.
[5]Ibid.
[6]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, Cet. 2, Bandung : Alma’arif, 1988, h. 20.
[7]Taufik Rahman, Hadis-hadis Hukum, Bandung : CV
Pustaka Setia, 2000, h. 179.
[8]Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari
36 : Shahih Bukhari, Jakarta : Pustaka Azzam, 2009, h. 250.
[10]Taufik Rahman, Hadis-hadis Hukum, Bandung
: CV Pustaka Setia, 2000, h. 186.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar