Makalah Kelompok V
PRODUK PENGADILAN
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Peradilan di Indonesia
Dosen
Pembimbing : Ilhamsyah, SH., MH.
Oleh
AHMAD RAFUAN
NIM: 1002110345
AHMAD ZARKASI
NIM: 1002110339
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY
SYAKHSHIYYAH
1434
H / 2011
M
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam setiap perkara yang diajukan,
pasti terdapat hasil. Entah hasil tersebut berupa kesimpulan, maupun yang
lainnya. Yang dimaksud dengan hasil disini adalah produk yang dihasilkan
setelah adanya tanggapan dari pengadilan sebagai umpan balik dari pengajuan
perkara.
Produk pengadilan sendiri
bermacam-macam. Meskipun secara garis besar terbagi menjadi dua, yakni putusan
dan penetapan, sebagaimana yang disebutkan oleh Undang-Undang, tapi di dalam
pembahasan nanti akan dibagi menjadi tiga poin besar, dengan ditambah akta
perdamaian.
Penting untuk memahami permasalahan
produk pengadilan sebagai teori awal untuk memasuki dunia peradilan, baik
sebagai pelaksana peradilan maupun bagi pihak-pihak yang dirasa akan terlibat
dalam berbagai perkara di pengadilan. Dan di dalam makalah ini akan dibahas
secara singkat mengenai produk-produk pengadilan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah produk pengadilan?
2. Bagaimanakah putusan dalam pengadilan?
3. Bagaimanakah penetapan dalam pengadilan?
4. Bagaimanakah akta perdamaian dalam
pengadilan?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui produk pengadilan
2. Memahami putusan dalam pengadilan
3. Memahami penetapan dalam pengadilan
4. Memahami akta perdamaian dalam
pengadilan
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Produk Pengadilan
Dalam setiap perkara yang
diselesaikan di pengadilan pasti akan mempunyai hasil. Yang dimaksudkan dengan
hasil disini adalah apa-apa yang dihasilkan oleh pengadilan terkait
penyelesaian perkara atau dapat disebut sebagai produk pengadilan. Adapun
produk pengadilan adalah segala hasil pengadilan, baik berupa putusan,
penetapan, pendapat hukum maupun peraturan yang menjadi bagian integral dan
perwujudan pengadilan sebagai pelaksana penerapan hukum
Produk pengadilan dilahirkan dari
proses pelaksanaan hukum acara peradilan, baik dalam bentuk putusan dengan cara
putusan sela atau akhir maupun penetapan, berupa perkara perdata atau pidana.
Produk pengadilan terbagi menjadi tiga, yakni putusan, penetapan, dan akta
perdamaian.
B. Putusan
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan
adalah,
Suatu pernyataan yang oleh hakim,
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk
itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa
para pihak. Bukan hanya yang diucapkan
saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian
diucapkan oleh hakim di persidangan.[1]
Selain itu putusan juga diartikan
sebagai pernyataan hakim sebagai jawaban atas gugatan dan bantahan para pihak
yang berperkara, yang didasarkan pada pembuktian di persidangan. Setidaknya
seperti itulah putusan yang dimaknai oleh Hari Sasangka di dalam bukunya Hukum
Pembuktian.[2]
Putusan dapat dibagi menjadi
berbagai jenis. Pembagian ini didasarkan pada empat sudut pandang dalam melihat
putusan, yakni:
1. Putusan dilihat dari fungsinya dalam
mengakhiri perkara
a. Putusan akhir
Putusan akhir merupakan putusan yang
mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan
pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan. Putusan
yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri
pemeriksaan yaitu: putusan gugur, putusan verstek yang tidak diajukan verzet,
dan putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang memeriksa.[3]
b. Putusan sela
Putusan sela
adalah putusan yang dijatuhkan saat masih dalam proses pemeriksaan perkara
dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan.[4]
Putusan sela biasanya termuat dalam Berita Acara Persidangan (BAP). Hal-hal
yang memerlukan putusan sela misalnya tentang pemeriksaan prodeo, eksepsi tidak
berwenang, dan yang lainnya. Putusan sela secara umum terbagi menjadi:
1) Putusan preparatoir. Tujuan dari putusan preparatoir merupakan persiapan jalannya
pemeriksaan atau persiapan putusan akhir. Misalnya sebelum hakim memulai
pemeriksaan, lebih dahulu menerbitkan putusan preparatoir tentang tahap-tahap
proses atau jadwal persidangan.[5]
2) Putusan interlocutoir, yakni putusan
yang isinya memerintahkan pembuktian, seperti pemeriksaan saksi, objek
sengketa, dan sebagainya.[6]
2. Putusan dilihat dari kehadiran para
pihak
a. Putusan gugur, yakni putusan yang
menyatakan bahwa gugatan gugur karena penggugat tidak hadir dan tidak pula
mengirimkan wakilnya untuk mengikuti persidangan.[7]
Dalam perkara class action putusan gugur dapat berlaku apabila
seluruh penggugat tidak hadir.
b. Putusan verstek, yakni putusan yang
dijatuhkan secara sepihak oleh hakim yang disebabkan tidak hadirnya tergugat
dan tidak pula mengirimkan wakilnya untuk mengikuti persidangan.[8]
c. Putusan kontradiktoir, yakni putusan
akhir yang pada saat dijatuhkan dalam sidang tidak dihadiri oleh salah satu
atau para pihak.[9]
3. Putusan dilihat dari isinya terhadap
gugatan
a. Tidak menerima gugatan penggugat, yakni putusan
yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan yang disebabkan tidak
terpenuhinya syarat-syarat hukum, baik formil maupun materiil.[10]
b. Menolak gugatan penggugat, yakni putusan
akhir yang menolak gugatan setelah menempuh seluruh tahap pemeriksaan.
Penolakan tersebut disebabkan tidak terbuktinya dalil-dalil gugatan. Penolakan
terhadap gugatan bisa terjadi pada sebagian gugatan ataupun seluruhnya.[11]
Pada poin ini perkara gugatan atau
diterima oleh pengadilan untuk disidangkan, terlepas dari dikabulkan
atau tidaknya gugatan atau tersebut, berbeda
dengan poin sebelumnya dimana berkas gugatan tidak diterima oleh pengadilan
sehingga tidak memungkinkan untuk digelar dalam persidangan.
c. Mengabulkan gugatan penggugat, yakni
putusan akhir yang mengabulkan seluruh gugatan ataupun tuntutan berdasarkan
dalil-dalil pembuktian yang kuat.[12]
4. Putusan dilihat dari akibat hukum yang
ditimbulkan
a. Perkara perdata
1) Putusan diklaratoir, yakni putusan yang bersifat hanya menerangkan dan menegaskan suatu
keadaan hukum semata.[13]
Contohnya pernyataan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum atau status hukum
seseorang.
2) Putusan konstitutif, yakni putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu
keadaan hukum yang baru.[14]
Contohnya adalah putusan perceraian, putusan yang menyatakan seorang jatuh
pailit.
3) Putusan kondemnatoir, yakni putusan yang berisi penghukuman.[15]
Misalnya, dimana pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah
berikut bangunan rumahnya membayar utang.
b. Perkara pidana
1)
Hukuman mati
2)
Hukuman penjara
3)
Hukuman kurungan
4)
Hukuman denda
5)
Hukuman tambahan
a)
Pencabutan
hak tertentu
b)
Perampasan
atau penyitaan barang tertentu
C. Penetapan
Penetapan adalah produk pengadilan berupa
keputusan atas perkara permohonan, sebagaimana yang tertuang dalam Penjelasan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.[16] Berbeda
dengan putusan yang identik dengan perkara gugatan. Jadi bentuk putusan atau
penetapan berkaitan erat dengan sifat atau corak gugatan atau permohonan.
Permohonan disini adalah gugatan yang bersifat volunteer atau sepihak
tanpa adanya pihak lawan, berbeda dengan sengketa yang berarti ada dua pihak
atau lebih yang terlibat konflik dan perselisihan.[17]
Permohonan tidak diajukan untuk
menyelesaikan suatu persengketaan. Permohonan biasanya diajukan untuk
mendapatkan suatu ketetapan atau pengakuan suatu keadaan atau status tertentu.
Misalnya permohonan ditetapkan dan diakui sebagai ahli waris.
D. Akta Perdamaian
Sebenarnya dalam Undang-Undang yang
disebutkan sebagai produk pengadilan hanya ada dua, yakni putusan dan
penetapan. Adapun akta perdamaian dimasukkan ke dalam kategori putusan. Akan
tetapi dalam pembahasan makalah ini, penulis memberikan porsi tersendiri
terhadap pembahasan akta perdamaian.
Akta perdamaian ialah akta yang
dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah para pihak dalam sengketa
kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan. Akta
perdamaian dikeluarkan setelah tercapai kesepakatan para pihak yang bersengketa
untuk berdamai.
Sejatinya hakim wajib mendamaikan
para pihak yang berperkara dalam setiap kesempatan, termasuk dalam tahap
pertama persidangan. Hakim harus selalu menawarkan solusi damai bagi para
pihak. Hal ini selaras dengan asas wajib mendamaikan, khususnya dalam perkara
perdata.
Ketentuan formal dari putusan
perdamaian harus memenuhi beberapa hal berikut ini:[18]
1. Adanya persetujuan kedua belah pihak
2. Mengakhiri sengketa
3. Perdamaian atas sengketa yang telah ada
4. Bentuk perdamaian harus tertulis
5. Akta perdamaian.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
PENUTUP
Kesimpulan
Produk pengadilan dilahirkan dari
proses pelaksanaan hukum acara peradilan, baik dalam bentuk putusan dengan cara
putusan sela atau akhir maupun penetapan, berupa perkara perdata atau pidana.
Produk pengadilan terbagi menjadi tiga, yakni putusan, penetapan, dan akta
perdamaian.
Putusan diartikan sebagai pernyataan
hakim sebagai jawaban atas gugatan dan bantahan para pihak yang berperkara,
yang didasarkan pada pembuktian di persidangan. Putusan dapat dibagi menjadi
berbagai jenis. Pembagian ini didasarkan pada empat sudut pandang dalam melihat
putusan. Pertama, putusan dilihat dari fungsinya dalam mengakhiri perkara,
terbagi menjadi putusan akhir dan putusan sela. Putusan sela terbagi lagi
menjadi putusan preparatoir dan putusan interlocutoir. Yang kedua, putusan
dilihat dari kehadiran para pihak, terbagi menjadi putusan gugur, putusan
verstek, dan putusan kontradiktoir. Selanjutnya, putusan dilihat dari isinya
terhadap gugatan, terbagi menjadi tidak menerima gugatan penggugat, menolak
gugatan penggugat, dan mengabulkan gugatan penggugat. Dan yang terakhir,
putusan dilihat dari akibat hukum yang ditimbulkan, dibedakan atas perkara
perdata dan perkara pidana. Dalam perkara perdata terdapat putusan diklaratoir,
putusan konstitutif, dan putusan kondemnatoir. Adapun dalam perkara pidana
terdapat hukuman mati, hukuman
penjara, hukuman kurungan, hukuman denda, dan hukuman tambahan seperti pencabutan
hak tertentu ataupun perampasan atau penyitaan barang tertentu.
Penetapan adalah produk pengadilan
berupa keputusan atas perkara permohonan. Permohonan disini adalah gugatan yang
bersifat volunteer atau sepihak tanpa adanya pihak lawan, berbeda dengan
sengketa yang berarti ada dua pihak atau lebih yang terlibat konflik dan
perselisihan.
Akta perdamaian ialah akta yang
dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah para pihak dalam sengketa
kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan. Akta
perdamaian dikeluarkan setelah tercapai kesepakatan para pihak yang bersengketa
untuk berdamai.
DAFTAR
PUSTAKA
Harahap,
Yahya, Hukum Acara Perdata, cet. 7,
Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
____________,
Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, cet. V, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Lubis,
Sulaikin, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet.
II, Jakarta: Kencana, 2006.
Manan,
Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata, cet. IV, Jakarta: Kencana, 2006.
Mertokusumo,
Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi VI, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002.
Sasangka,
Hari, Hukum Pembuktian, Bandung: Mandar Maju, 2005.
Sutantio,
Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2005.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, Media Centre, t.t.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar