HIKMAH TASYRI: FALSAFAH HAJI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Filsafat Hukum Islam
Dosen Pembina : Syarifuddin, M.Ag
Oleh
AHMAD
ZARKASI
NIM.
100 211 0339
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL ASY SYAKHSHIYYAH
TAHUN 1434 H / 2013 M
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah kita ketahui bersama bahwa haji adalah ibadah yang
amat mulia. Ibadah haji pula ada syarat
rukun haji yang harus dipenuhi
pula untuk bisa melaksanakan ibadah haji sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis yang
telah dicontohkan beserta juga dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadis mengenai ibadah
haji. Ibadah
tersebut adalah bagian dari rukun Islam bagi orang yang mampu menunaikannya. Keutamaan haji banyak disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadis. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima.
Perintah rukun Islam yang kelima itu wajib bagi yang mampu menjalankannya. Dan
sekarang ini seluruh Umat Islam di dunia sedang mempersiapkan diri untuk
menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan bagi
kaum muslim yang mampu secara material, fisik, maupun keilmuan dengan
berkunjung ke beberapa tempat di Arab Saudi dan melaksanakan beberapa kegiatan
pada satu waktu yang telah ditentukan yaitu pada bulan Dzulhijjah. Berdasarkan
uraian tersebut, penulis selanjutnya membahasa mengenai hikmah ibadah haji.
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang
di atas, maka permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan adalah sebagai
berikut:
1.
Apa pengertian, rukun dan
syarat sah haji?
2.
Apa saja hikmah haji?
3.
Apa saja hikmah ibadah haji?
C.
Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas,
maka makalah ini mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan pengertian, rukun dan syarat sah haji.
2. Untuk mendeskripsikan hikmah haji.
3.
Untuk mendeskripsikan hikmah ibadah haji.
D. Batasan Masalah
Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah di
atas, maka penulis membatasi pembahasan pada makalah ini hanya sesuai yang
terdapat dalam rumusan masalah tersebut. Adapun hal lain yang tidak berhubungan
dengan hal di atas tidak penulis uraikan pada makalah ini.
E.
Metode Penulisan
Adapun metode yang penulis pergunakan dalam
penulisan makalah ini yaitu dengan metode research library
dengan menggunakan buku perpustakaan dan browsing internet sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang ada kaitanya
dengan makalah yang penulis buat dan kemudian penulis menyimpulkan dalam bentuk
makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian, Rukun dan Syarat Sah Haji
Haji secara bahasa (etimologis) berasal dari
bahasa Arab al-hajj (اَÙ„ْØَجُّ),
berarti tujuan, maksud, dan menyengaja untuk perbuatan yang besar dan agung.
Selain itu, al-hajj (اَÙ„ْØَجُّ)
berarti mengunjungi
atau mendatangi. Sedangkan secara istilah (terminologis) adalah perjalanan
mengunjungi Baitullah untuk melaksanakan serangkaian ibadah pada waktu dan
tempat yang telah ditentukan.[1]
Sayyid Sabiq, ahli
fikih kontemporer Mesir (lahir 1915 M), mendefinisikan haji, yakni: “Dengan
sengaja pergi ke Mekah untuk melaksanakan tawaf, Sa’i, wukuf di Arafah, dan
rangkaian manasik haji lainnya, dalam rangka memenuhi panggilan (kewajiban
dari) Allah dan mengharapkan keridhaan Allah.”[2]
Ulama mazhab Syafi’i menetapkan
rukun haji sebanyak enam macam, yaitu Ihram, Tawaf, Sa’i, Memotong minimal tiga
helai rambut, dan tertib, yaitu mendahulukan wukuf dari tawaf ifadah dan potong
rambut, dan mendahulukan tawaf atas Sa’i. Adapun syarat sah haji seperti yang
dikemukakan Abdurrahman al-Jaziri, yaitu:
1. Beragama Islam
Ibadah
haji menjadi sah bila dilaksanakan orang Islam, baik haji itu dilaksanakan oleh
dirinya sendiri atau orang lain. Oleh sebab itu, ibadah haji tidak sah jika
dilaksanakan oleh orang kafir atau murtad.
2. Mumayyiz
Mumayyiz adalah seorang anak
yang sudah dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan bermanfaat dengan
sesuatu yang tidak baik dan mendatangkan mudharat.
3. Waktu yang telah ditentukan
Amalan
ibadah haji harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Waktu pelaksanaan
ibadah haji adalah bulan Syawal, Zulqaidah, dan Sembilan hari pertama bulan
Zulhijjah sampai terbit fajar hari kesepuluh atau yang disebut juga Yaum
an-Nasr, serta hari Tasyrik. Jika amalan dilakukan di luar waktu ini, maka
hajinya tidak sah.[3]
B.
Hikmah Haji
1.
Aspek Sosial
Berkumpulnya umat Islam dari seluruh penjuru
dunia, dengan berbagai ras, bangsa dan bahasa, merupakan satu momentum untuk
mempererat tali persaudaraan, serta untuk bermusyawarah memecahkan
problema-problema bersama, sambil menampakkan ke dunia luar syiar Islam serta
persatuan dan kesatuannya.[4]
Islam juga mengajarkan adanya persamaan, yaitu sama-sama beribadah dan bertaqwa
kepada Allah Swt, tanpa membedakan antara kaya dan miskin, pandai dan awam.[5]
Haji merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan
apabila seorang hamba telah mampu. Allah Swt mensyariatkan ibadah haji agar
umat Islam berkumpul di satu tempat dengan berbagai jenis bangsa, aliran, dan
berjauhan negara serta daerahnya. Apabila umat Islam berkumpul dari tempat yang
jauh, niscaya terjadi perkenalan dan persahabatan.[6]
Bangsa Arab berkenalan dengan bangsa India, bangsaTurki berkenalan dengan
bangsa Cina, bangsa Jawa berkenalan dengan bangsa Dayak, bangsa Banjar
berkenalan dengan bangsa Maroko dan demikian seterusnya. Jadi, dengan
adanya pertemuan umat Islam sedunia, timbul rasa persaudaraan, dan dapat saling
bertukar kepentingan dunia dan akhirat, maka dari ibadah haji ini diperoleh
hikmah adanya persamaan, persatuan dan perdamaian.
2.
Aspek Ekonomi
Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa
berjual beli di bolehkan pada musim haji (Q.S.Al-Baqarah: 198) sehingga dengan
berkumpulnya kaum-kaum muslim dalam satu lokasi dan dengan jumlah yang demikian
besar memberikan kesempatan untuk mengadakan hubungan perdagangan/ekonomi baik
secara langsung ketika itu, maupun tidak langsung.[7]
Suku bangsa yang satu mengenal keadaan perdagangan, perindustrian, pertanian,
dan manfaat lain yang ada pada bangsa lain.
3.
Aspek Etika
Kedatangan kaum muslimin ke Makkah sebagai
pemenuhan panggilan Allah Swt yang dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim as dan
peneladanan beliau demikian pula kedatangan mereka menziarahi kuburan Nabi
Muhammad SAW, walaupun ziarah tersebut tidak termasuk dalam rangkaian ibadah
haji yang di wajibkan tetapi merupakan pengakuan jasa-jasa Nabi nabi tersebut
serta pernyataan penghormatan dan pengagungan kepada mereka.[8]
4.
Aspek Kejiwaan
a)
Ketentraman Jiwa
Haji adalah salah satu cara untuk membersihkan
jiwa dalam arti bahwa seseorang yang berada dalam lingkungan Ka’bah merupakan
arah dan tempat ketika di jadikan Allah Swt untuk menghadap kepada-Nya, akan
merasa dekat denganNya sehingga ia menyampaikan keluhan dan harapannya dalam
suasana kedekatan tersebut dan hal ini menimbulkan rasa kelezatan rohani dan
ketentraman jiwa yang tidak terlukiskan.[9]
b) Pendidikan Akhlak
Jika orang hendak
melakukan haji, sebelum keluar dari rumahnya bertaubat kepada Allah Swt,
mengganti dan berniat tidak melakukan dosa dan kejahatan lagi. Tidak melakukan
semua ibadah haji melainkan ia berkeyakinan bahwa Allah Swt mengampuni dosa dan
menghapusnya dari catatan-catatan amal perbuatannya.[10]
Jika dibujuk oleh
hawa nafsunya untuk melakukan dosa, ia mengusir nafsu untuk berbuat jahat dan
menundukkan kebinalannya, dan segera bertaubat. Jika orang yang melakukan haji
dibujuk oleh hawa nafsunya untuk melakukan dosa atau kejahatan, dia tidak lepas
dari manusia di sekitarnya yang mendidik dan memandang dosa itu dengan matanya
sebagai keburukan.[11]
c) Menyemai Keinsyafan
Ibadah haji pasti memberi keinsafan yang kita
pasti akan bertemu Allah Swt hanya dengan bekalan amal kebaikan dan taqwa.
Pangkat dan harta hanyalah perhiasan duniawi.
d)
Meningkatkan Rasa Syukur
Meningkatkan
rasa syukur sedalam-dalamnya atas segala karunia Allah Swt sehingga mempertebal rasa pengabdian
kepadaNya.[12]
e) Mempertebal Rasa Sabar
Mempertebal
rasa sabar dan meningkatkan ketaatan terhadap ajaran-ajaran agama. Selama
menjalankan ibadah haji, merasakan betapa berat perjuangan yang di hadapi untuk
mendapatkan keridhaan Allah Swt.
5.
Aspek Ibadah
Dalam pelaksanaan ibadah haji, nampak secara
jelas aspek-aspek ibadah, yang dapat dilihat dalam tata cara yang ditetapkan.
Tata cara tersebut apabila di tinjau secara lahiriah, tanpa memperhatikan
makna-makna yang terkandung di dalamnya, dapat menimbulkan
kesalahpahaman-kesalahpahaman, seperti berkeliling (tawaf) di Ka’bah, berjalan
mondar mandir antara bukit Shafa dan Marwah, melontar batu-batu kecil dan
sebagainya, namun walaupun hal-hal tersebut belum/tidak di pahami oleh
seseorang ia harus melaksanakannya sebagai tanda tunduk, patuh dan meneladani
Nabi SAW.[13]
C.
Hikmah Ibadah Haji
1.
Hikmah Wukuf di Arafah
Bahwa para nabi as menyembah Allah dan menjadi Imam di tempat ini, kemudian
diwarisi oleh orang-orang sesudahnya. Mengikuti sunnah para nabi as dalam hal
waktu adalah merupakan pokok. Demikian pula Wukuf Umat Islam di tempat itu adalah
memenuhi ajakan dan memohon agar Allah mengampuni dosa, menghapus kesalahan,
meminta rahmat Allah, dan agar diperkenankan do’a-do’a mereka pada saat-saat
mereka meninggalkan keluarga dan tanah airnya.[14]
Dengan pelaksanaan demikian, berdampak pada aspek kejiwaan hamba yang
melaksanakannya, yaitu ketentraman jiwa, pendidikan akhlak, dan menyemai
keinsyafan.
2.
Hikmah Sa’i antara Shofa dan Marwa
Hikmah disyariatkan Sa’i, bahwa Sayidah Hajar
istri nabi Ibrahim Al Khalil as ketika kesulitan mendapatkan air untuk memberi
minum dia sendiri dan putranya Ismail as ditempat tersebut, berusaha mencari
air dengan merendahkan diri di hadapan Allah Swt, semoga menunjukkan air untuk
menghilangkan haus darinya dan putranya. Maka memancarlah air dari tanah sumur
Zamzam sebagai rahmat Allah Swt yang dikaruniakan jutaan manusia. Tempat para
haji Baitullah mengambil air sampai sekarang.
Apabila orang haji melakukan Sa’i antara Shofa
dan Marwa dengan cara ini, berarti ia memohon kepada Allah Swt agar
menyelamatkannya dari bahaya kesulitan air dan agar Allah Swt melimpahkan
rahmatNya yang luas kepadanya sebagaimana memberikan rahmat kepada Sayidah
Hajar ketika memohon rahmat dan pertolongan kepada Allah Swt.
3.
Hikmah Tawaf
Baitul Haram adalah rumah yang mula-mula
dibangun menjadi tempat manusia memuliakan Penciptanya Yang Maha Tinggi dan
Maha Perkasa, hal yang demikian menjadi adab sopan santun yang sempurna dan
keistimewaan yang utama, jika orang yang menjalankan haji memberikan
penghormatan dan pengagungan dengan sebenar-benarnya.
4.
Hikmah Melempar Jumrah
Hikmah melempar jumrah adalah mengikuti apa yang dilakukan nabi Ibrahim al
Khalil as, Allah Swt menurunkan wahyu kepada nya di tanah yang suci ini untuk
menyembelih putranya dan beliaupun mentaatiNya. Berangkatlah beliau untuk
melaksanakan perintah Allah Swt. Lalu Iblis menggodanya agar tidak melakukan
penyembelihan itu, maka nabi Ibrahim mengambil batu dan melemparnya. Iblis
datang yang kedua kalinya untuk menghadap Sayidah Hajar dan mengejek perbuatan
Ibrahim menyembelih putra dan buah hatinya. Sayidah Hajar pun mengambil batu
dan melemparnya. Yang terakhir Iblis menggoda Ismail dan mengejek perbuatan
ayahnya, seraya mengatakan, bahwa perbuatan itu belum pernah terjadi di dalam
sejarah manusia di dunia sejak Allah Swt menciptakan. Maka Ismail menggenggam
kerikil dan melemparnya.[15]
Iblis menggoda Ibrahim, Sayidah Hajar, dan Ismail yang masing-masing
melemparnya, maka kita mengikuti mereka di dalam melempar Iblis yang dilaknat
Allah Swt. Sebab Iblis adalah musuh Umat Islam dan seluruh manusia, ia hendak
menjerumuskan ke dalam perbuatan maksiat, dan menggoda sebagaimana menggoda
nabi Ibrahim, Ismail, dan Sayidah Hajar.[16]
5.
Hikmah Pakaian Tidak Berjahit dan Berwarna
Putih
Warna putih melambangkan kesucian dan kebersihan yang keduanya nampak jelas
pada pakaian warna putih. Pakaian sederhana yang dikenakan oleh para haji
menunjukkan, bahwa manusia keluar dari hiasan gemerlapan dunia. Keluar dari
dunia yang fana ini. Ia bermunajat kepada Allah Swt dengan pakaian yang tidak
ada bedanya antara raja, presiden, rakyat jelata, menteri, orang kaya, dan
orang miskin.[17]
Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk berpakaian yang tidak berjahit
dan menutup kepala pada waktu ihram, mengisyaratkan bahwa dia bagaikan seorang
bayi yang dibungkus dengan kain yang tidak berjahit, yakni dia tidak berharta
untuk dirinya. Karena kekuasaan hanyalah milik Allah Swt.[18]
6.
Hikmah Cukur Rambut
Potong rambut diperintahkan secara hukum, jika tumbuh rambut dikepalanya.
Adapun apabila rambut di kepalanya tidak tumbuh, maka cukup mengerikkan pisau
di atas kepalanya seperti orang mencukur rambut.[19]
Cukur rambut menjadi penguat dan realisasi akan selesainya masa ihram yang
mendahului Thawaf Wada’. Hikmahnya, jika orang melakukan haji hendak kembali
sesudah menunaikan ibadah haji selayaknya mengucapkan selamat tinggal kepada
Baitul Haram. Adalah termasuk sopan santun, jika manusia mengucapkan selamat
tinggal kepadanya dalam keadaan bersih dan rambut yang teratur. [20]
7.
Hikmah Berjalan Cepat Setengah Lari
Allah Swt mensyari’atkan berjalan cepat karena hikmah yang sangat besar.
Yakni jika Umat Islam berjalan cepat berlari-lari secara masal seperti lautan
yang ombaknya saling berbenturan dan di antara dua gunung, menunjukkan kekuatan
dan kebesaran Umat Islam.[21]
8.
Hikmah Sembelihan
Hikmah menyembelih binatang ternak adalah mengikuti jejak nabi Ibrahim as,
Allah memerintahkan lewat mimpi untuk menyembelih putranya nabi Ismail as,
lantas beliau mentaatinya. Kemudian Allah Swt menggantinya dengan binatang
sembelihan. Dalam hal ini ada dua hikmah, pertama menampakkan ketaatan yang
sempurna kepada Sang Pencipta Yang Maha Tinggi meskipun menyuruh menyembelih
anaknya. Kedua, mensyukuri nikmat Allah Swt berupa tebusan di mana orang yang
menyembelih binatang sembelihan termasuk orang-orang yang bersedekah.[22]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Banyak sekali hikmah haji apabila ditinjau dari berbagai aspek, yaitu aspek
sosial, ekonomi, etika, kejiwaan, dan ibadah. Dalam aspek sosial seperti berkumpulnya
umat Islam dari seluruh penjuru dunia, dengan berbagai ras, bangsa dan bahasa, merupakan
satu momentum untuk mempererat tali persaudaraan, kesempatan untuk mengadakan
hubungan perdagangan/ekonomi baik secara langsung ketika itu, maupun tidak
langsung, kedatangan kaum muslimin ke Makkah sebagai pemenuhan panggilan Allah Swt
yang dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim as dan peneladanan beliau demikian pula
kedatangan mereka menziarahi kuburan Nabi Muhammad SAW,
Aspek kejiwaan dapat menimbulkan ketentraman jiwa, pendidikan akhlak,
menyemai keinsyafan, dan ditinjau dari Aspek Ibadah dalam pelaksanaan ibadah
haji, nampak secara jelas aspek-aspek ibadah, yang dapat dilihat dalam tata
cara yang ditetapkan. Tata cara tersebut apabila di tinjau secara lahiriah,
tanpa memperhatikan makna-makna yang terkandung di dalamnya, dapat menimbulkan
kesalahpahaman-kesalahpahaman, seperti berkeliling (tawaf) di Ka’bah, berjalan
mondar mandir antara bukit Shafa dan Marwah, melontar batu-batu kecil dan
sebagainya, namun walaupun hal-hal tersebut belum/tidak di pahami oleh
seseorang ia harus melaksanakannya sebagai tanda tunduk, patuh dan meneladani
Nabi SAW.
2.
Kritik dan Saran
Sebagai seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan
kekurangan.oleh sebab itu, dalam memandang segala sesuatu penulis sarankan agar
dengan hati yang jernih sehingga mudah bagi kita menerima kebenaran, karena
segala sesuatu mempunyai manfaat. Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata
sempurnaoleh sebab itu penulis masih memerlukan banyak masukan yang sifatnya
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
[1]Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Haji: Penuntun Jama’ah Haji Mencapai
Haji Mabrur, Jakarta: Ciputat Press, 2003, hlm. 1.
[6]Syeikh Ali
Ahmad Al-Jurjawi, Tarjamah Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, Semarang:
Asy Syifa, 1992, hlm. 204.
[10]Syeikh Ali
Ahmad Al-Jurjawi, Tarjamah Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, Semarang:
Asy Syifa, 1992, hlm. 205.
[16]Ibid.
[20]Ibid.
syukronn akhi, materinya sangat bermanfaat, izinn copy akhi,,,
BalasHapus