Jumat, 20 Juni 2014

Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Nama Syekh Nawawi Al-Bantany sudah tidak asing lagi bagi dunia Islam terutama dalam lingkungan ulama-ulama Syafi’iyah, karena beliau memiliki intelektual yang sangat produktif, karya nyata beliau dalam hal menulis kitab banyak sekali, meliputi fikih, tauhid, tasawwuf, tafsir, dan hadis. Jumlahnya tidak kurang dari 115 kitab. Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat Islam melalui karyanya yang selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu.

Syekh Nawawi Al-Bantany termasuk ulama tradisional besar yang telah memberikan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan ilmu fikih di Indonesia. Ia memperkenalkan dan menjelaskan , melalui syarah (komentar) kitab terdahulu yang ia tulis untuk mendidik generasi sesudahnya dalam hal memberikan pengajaran.

Kehadiran makalah ini diharapkan menambah pengetahuan para pembaca, terutama untuk membantu mahasiswa/i dalam mempelajari perkembangan pemikiran hukum islam, yaitu seorang tokoh yang sangat disegani dalam dunia Islam yaitu: Syekh Nawawi Al-Bantany, terkait mengenai; biografi, karya-karya fikih, gambaran kitab karya-karya fikih, pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn, corak pemikiran, metode istinbat al-Ahkam dan pengaruh pemikiran beliau dalam Hukum Islam.

B.     Rumusan Masalah

Untuk lebih memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis terlebih dahulu membuat rumusan masalah. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana Biografi Syekh Nawawi Al-Bantany?
2.      Apa saja Karya-karya Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany?
3.      Bagaimana Gambaran Kitab Karya-karya Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany?
4.      Bagaimana Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn?
5.      Bagaimana Corak Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany?
6.      Apa saja Metode Istinbat al-Ahkam yang digunakan Syekh Nawawi Al-Bantany?
7.      Bagaimana Pengaruh Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantany dalam Hukum Islam?




C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini, antara lain.
1.      Agar pembaca mengetahui dan memahami Biografi Syekh Nawawi Al-Bantany.
2.      Agar pembaca mengetahui dan memahami Karya-karya Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany.
3.      Agar pembaca mengetahui dan memahami Gambaran Kitab Karya-karya Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany.
4.      Agar pembaca mengetahui dan memahami Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn.
5.      Agar pembaca mengetahui dan memahami Corak Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany.
6.      Agar pembaca mengetahui dan memahami Metode Istinbat yang dipergunakan Syekh Nawawi Al-Bantany.
7.      Agar pembaca mengetahui dan memahami Pengaruh Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantany dalam Hukum Islam.

D.    Batasan Masalah

Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah diatas maka penulis membatasi pembahasan ini hanya sesuai dengan rumusan masalah. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal diatas tidak penulis uraikan pada makalah ini.

E.     Metode Penulisan

            Adapun metode penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode research library dengan menggunakan buku perpustakaan dan dari situs Internet sebagai bahan referensi.







BAB II
PEMBAHASAN

A.   Biografi Syekh Nawawi Al-Bantany

1.    Kelahiran

Pada 1230 H, bertepatan dengan 1814 M di Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara, lahir seorang laki-laki bernama Nawawi,[1] Nama lengkap Nawawi adalah Abu Abd al-Mu’thi Muhammad Ibn  ‘Umar at-Tanara al-Jawi al-Bantany.

Di kalangan nusantara dikenal dengan nama Syekh Nawawi Banten,[2] dan di kalangan keluarga dengan sebutan Abu Abdul Mu’thiy. Nawawi meninggal dunia di Mekah pada tanggal 25 Syawal 1340/1897 M.[3] Bapaknya bernama KH Umar bin Arabi, seorang penghulu dan ulama di Tanara, Banten. Ibunya Jubaidah, penduduk asli Tanara. Ia tertua dari empat saudara laki-laki, Ahmad Syihabbuddin, Said, Tamim, Abdullah dan dua saudara perempuan. Syakila dan Syahriya. Dari silsilah keturunan ayahnya, Nawawi merupakan salah satu keturunan Maulana Hasanuddin (Sultan Hasanuddin), putra Maulana Syarif Hidayatullah, satu dari sembilan ulama walisongo yang  menyebarkan Islam di jawa.

Pada umur lima belas tahun, Nawawi berangkat ke Mekah dan menetap disana. Selama mukim di Mekah, Nawawi tinggal di lingkungan syi’ib Ali,[4] di  mana banyak orang setanah airnya menetap. Pemukiman ini terletak kira-kira 500 meter dari Masjidilharam. Rumahnya bersebelahan dengan rumah Syekh Arsyad dari Batavia[5] dan Syekh Syukur ‘Alwan dan Madrasah Darul Ulum.

Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).[6]

Beliau mempunyai dua isteri, Nasimah dan Hamdanah. Dari Nasimah dilahirkan : Maryam, Nafisah dan Ruqayyah. Dari isteri kedua, Hamdanah Cuma satu anak perempuan bernama Zahro. Dari seluruh penelitian yang ada, tidak diketahui kalau Nawawi mempunyai anak laki-laki dari kedua isterinya.[7]

2.    Pendidikan

Semenjak kecil Syekh Nawawi Al-Bantany  memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah memahami pelajaran yang sudah diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Syekh Nawawi Al-Bantany  banyak memberikan Pertanyaan-pertanyaan kepada ayahnya yang membuat ayahnya bingung karena kekritisannya. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya ke berbagai Pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung dari ayahnya (yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara), kemudian berguru kepada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.

Syekh Nawawi telah mengajar banyak orang. Pada usia beliau yang belum mencapai 15 tahun, Sampai kemudian karena karomahnya yang telah banyak menarik perhatian dalam usia yang semuda itu, beliau mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang semakin hari bertambah banyak. Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekkah, seperti Syekh Khâtib As-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamîd Daghestani, Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Junaid Al-Betawi.

Guru yang paling berpengaruh adalah Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Junaid Al-Betawi dan Syekh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekkah. Lewat ketiga Syekh inilah karakter beliau terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syekh Muhammad Khâtib dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Madinah.[8]

B.  Karya-karya Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany

Syekh Nawawi Al-Bantany, tokoh yang menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Mekah, dikenal sebagai salah satu ulama yang berpengaruh besar dalam perkembangan Islam di kepulauan Melayu-Indonesia. Ketokohannya terletak, antara lain, pada fakta bahwa ia memberikan sumbangan besar  bagi pembentukan Islam dengan corak tertentu di Nusantara. Banyak ulama di Indonesia di akhir abad sembilan belas dan awal abad dua puluh menjadi murid Syekh Nawawi Al-Bantany selama mereka menuntut ilmu keislaman di Mekah atau setidaknya terpengaruh olehnya melalui pembacaan karya-karyanya. Karya-karya Syekh Nawawi Al-Bantany yang luas dipergunakan di kurikulum pesantren pada zaman sekarang ini menjadi bukti lain atas peranan pentingnya dalam kesarjanaan di Nusantara.

Sebagai seorang ulama, Syekh Nawawi Al-Bantany terbilang yang sangat produktif mengarang kitab. Ia mulai sudah menulis ketika sudah menetap di Mekah setelah tidak betah dengan Belanda sebagai pengabdi Intelektual. Menurut beberapa orang yang meneliti karya-karya beliau, ada sekitar 115 (seratus lima belas) buah kitab lahir dari tangannya. Namun ada pula yang menyebutkan 99 (sembilan puluh sembilan) buah kitab, yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu agama.[9] Produktifitasnya dalam menulis kitab memang hampir-hampir tak terbendung. Seorang murid Syekh Nawawi Al-Bantany bernama Syekh Abdus Satar ad-Dahlawi menceritakan, salah satu keistimewaan Syekh Nawawi Al-Bantany kemampuan mengarang kitab sambil mengajar. Ketika dia mengajar para murid-muridnya, ditengah-tengah itu pula beliau menuliskan karya-karyanya. Puluhan sampai ratusan kitab yang lahir dari tangannya itu juga terdiri dari beragam dan kajian pembahasan.

Menurut Brockelmann seperti yang dikutip Asep dalam bukunya Yahudi dan Nasrani dalam Al-quran, Karya Syekh Nawawi Al-Bantany meliputi delapan cabang utama ilmu keislaman, yakni tafsir, hadis, fikih, ushuluddin, tasawuf, biografi Nabi, tata bahasa Arab, dan retorika.[10]

Adapun karya-karya fikih Syekh Nawawi Al-Bantany diantaranya :

1.    Karya-karya Fikih
a.    Al-‘Iqd at-Thamrin, 1296/1878, Al-Wahhabiyah, sebuah penjelasan atas 601 pertanyaan karya Ahmad bin Muhammad Zahid, yang diubah dalam bentuk oleh sejawatnya, Mustafa bin Ustman al-Jawi al-Qaruti dengan judul Fath al-Mubin;
b.    Fath al-Mujib, 1276/1859, Bulaq, komentar atas Al-Manaqib al-Hajj karya Muhammad bin Muhammad al-Shirbini al-Khatib;
c.    Kasyifat as-Shija’, 1292/1875, komentar atas Al-Safinat al-Naja karya Salim bin samir dari Shihr; Sullamu at-Taufiq yang ditulis oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (wafat 1272 H/ 1855 M).
d.   Maraqi al-Ubudiyyah, 1287/1873, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyya, komentar atas Bidayat al-Hidayah karya Al-Ghazali;
e.    Mirqat Su’ud at-Tashdiq, 1292/1875, (tp), komentar atas Sullam at-Tawfiq ila Mahabbat Allah ‘ala at-Tahqiq karya Abdullah al-Ba’lawi;
f.     Nihayat az-Zayn, 1297/1897, Al-Wahhabiyah, anotasi atas Qurrat al-‘Ayn bi Muhimmat ad-Din karya Zainuddin Abd al-Aziz al-Malibari;
g.    Qut ‘al-Habib al-Gharib, judul lain bagi At-Tawsih, 1301/1833, (tp), anotasi atas Fath al-Qarib karya Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, karya komentar atas At-Taqrib karangan Abu Shuja’al-Isfahani;
h.    Suluk al-Munajat, 1297/1897, Bulaq, komentar atas Al-Safinat as-Sala karangan Abdullah bin Yahya al-Hadhrami;
i.      Suluk al-Jadda, 1300/1882, Al-Wahhabiyyah;
j.      ‘Uqud al-Lujayn fi Bayan al-Huquq az-Zawjayn, 1296/1878, Kairo: Al-Wahhabiyyah, kitab singkat tentang kewajiban suami isteri.[11]

C.  Gambaran Kitab Karya-karya Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany

1.    Uqud Al-Lujayn

Secara umum kitab ‘Uqud al-Lujayn yang ditulis sekitar 2 (dua) abad yang lalu (1294 H), merupakan buah hasil karya dari Syekh Nawawi Al-Bantany yang tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab fikih yang membahas tentang hak dan kewajiban suami isteri yang ditulis oleh ulama mayoritas bermazhab Syafi’i.

Untuk mengetahui bagaimana konsep pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn agaknya perlu untuk melihat bagaimana kerangka dari kitab ‘Uqud al-Lujayn tersebut, yaitu kitab ‘Uqud al-Lujayn terdiri hanya satu jilid (buku) saja, terdiri dari 22 (dua puluh dua) halaman, dan empat bab serta penutup. Kitab ini menggunakan bahasa Arab, dan sistematika dari kitab ‘Uqud al-Lujayn itu adalah sebagai berikut:

Bab pertama, menerangkan kewajiban-kewajiban suami terhadap isteri yang wajib dipenuhi. Bab kedua, menerangkan kewajiban-kewajiban isteri terhadap suami yang wajib dipenuhi oleh isteri. Bab ketiga, menerangkan tentang keutamaan shalatnya seorang isteri di dalam rumahnya sendiri. Bab keempat, menerangkan haramnya seorang pria memandang wanita lain (bukan mahram) atau sebaliknya. Termasuk kategori laki-laki di sini adalah anak laki-laki yang beranjak dewasa (remaja). Penutup, dijelaskannya mengenai hal ihwal kaum perempuan modern, paling tidak pada zaman ketika beliau masih hidup.


2.    Kasyifat as-Shija’

Kitab selanjutnya yang dikarang oleh Syekh Nawawi Al-Bantany adalah Kasyifat as-Shija’, juga merupakan kitab yang sangat terkenal.

       Kitab Kasyifah al-Saja adalah syarah atas kitab Safinat al-Naja fi Ushul al-Din wa al-Fiqh, sebuah buku kecil karya al-Syeikh Salim ibn Sumair al-Hadrami. Uraian fikih dalam buku kecil ini dinyatakan oleh penulisnya adalah dalam mazhab Imam al-Syafi'i. Meskpun disebutkan oleh penulisnya, kitab kecil ini berisi uraian tentang ushuluddin dan fikih, namun ternyata dalam isi-nya jauh lebih banyak bidang fikhnya. Bahasan dalam kitab ini dipilah-pilah pada bentuk-bentuk fasal, yang meliputi 66 fasal; hanya 2 fasal yang pertama yang berisi uraian bidang ushul al-din, yaitu tentang jumlah rukun Islam, rukun Iman, dan makna kalimat tahlil. Selebihnya, yaitu 63 fasal, adalah bidang fikih, yang dimulai dengan tanda-tanda kedewasaan (baligh), dan diakhiri dengan uraian tentang puasa.[12]

3.    Maraqi al-'Ubudiyyah

Al-Ghazali menulis kitab yang diberi nama Bidayat al-Hidayat.[13] Kitab ini berisi petunjuk-petunjuk praktis tentang amalan ibadah, menghindari maksiat, dan hubungan baik. Corak petunjuk-petunjuk itu lebih bersifat tata krama, oleh karena itu, kitab ini bisa dimasukkan pada kategori kitab akhlak. Kemudian kitab tersebut disyarahi oleh Syekh Nawawi Al-Bantany, Karena ada syarah, maka kitab Bidayat al-Hidayat disebut kitab matan. Kitab syarah tersebut kemudian diberi nama dengan Maraqi al-'Ubudiyat.

D.  Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany dalam Kitab ‘Uqud al-Lujayn

1.    Tentang Kewajiban suami

a). Menurut Syekh Nawawi Al-Bantany dalam Kitab ‘Uqud al-Lujayn seorang suami wajib bergaul dengan isterinya secara baik dan patut, bertutur kata baik, dan bisa membahagiakannya. Contoh hal itu seperti berhias untuk sang isteri. Berhias merupakan perbuatan utuk memperindah diri supaya orang lain tertarik dan senang melihatnya. Dalam hal ini Syekh Nawawi Al-Bantany mengutip firman Allah dalam surat an-Nisa (4) : 19 :
4. . . £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ÇÊÒÈ. . .                                                                          
 Artinya : “. . .dan pergaulilah wanita-wanita (isteri-isterimu) dengan baik. . .” (QS. An-Nisa (4) : 19).

 b). Memberi nafkah, suami wajib memenuhi sandang dan pangan kepada isteri. Dalam menanggung nafkah sehari-hari ini suami dituntut menunaikannya sesuai dengan kemampuan dan usahanya. Artinya suami tidak memaksakan diri dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan isteri tersebut di luarkemampuannya. Hal ini menurutnya sebagaimana hadis Nabi saw :

حَقُ الْمرْاة عَلَى الزَوْج اَنْ يُطْعمَهَا ا دَا اَطْعَمَ وَ يَكْسُوْ هَا ادَا ا كْتَسَى وَ لَا يَضْر ب الْوَجْهَ وَلاَ يُقْبَحْ وَلاَ يَهْجُرْ الاَفى البَيْت.
                   
                     Artinya : “Kewajiban suami terhadap isteri adalah memberikan sandang dan pangan seperti yang ia peroleh, selain itu dilarang memukul wajah, menjelek-jelekkannya, dan dilarang menghindarinya kecuali di rumah.

Dalam hal tanggungan nafkah, pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany tidak ada perbedaan tentang wajibnya nafkah dengan pemikiran ulama lainnya. Yang ada hanya tentang besarnya nafkah. Dan dalam hal besarnya nafkah, menurutnya tidak ada jumlah tertentu untuk kadar nafkah bagi keluarga. Ini kembali kepada kondisi masing-masing dan adat kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat atau apa yang diistilahkan oleh Alquran dan sunnah dengan urf[14] yang tentu saja dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.

c) Mengajari isteri dalam masalah agama.[15] Salah satunya ibadah wajib dan sunnah yang terdiri dari salat, zakat, puasa, haji dan sebagainya. Seorang isteri menurut Syekh Nawawi Al-Bantany, wajib menetap di rumah dan tidak  boleh pergi kemana-mana. Apabila suami dapat mengajarkan isterinya, maka isteri tidak boleh keluar rumah untuk bertanya kepada ulama. Jika suami tidak dapat mengajar isteri karena ketidaktahuan yang disebabkan sedikitnya ilmu yang dimiliki, maka sebagai gantinya dialah yang harus bertanya kepada ulama, lalu menerangkan jawaban orang yang memberi fatwa itu kepada isterinya, dan isterinya tidak boleh keluar rumah. Jika suami tidak sanggup bertanya kepada ulama maka isteri, boleh keluar untuk bertanya bahkan hukumnya wajib, dan suami berdosa kalau melarangnya. Jika isteri telah mengetahui tentang kewajiban-kewajiban maka ia tidak boleh keluar mendatangi majlis taklim kecuali dengan izin dari ridha suaminya.




2.    Tentang kewajiban isteri

a). Syekh Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn menyatakan bahwasanya seorang isteri dalam keadaan bagaimanapun wajib taat kepada suaminya kecuali dalam perkara maksiat.[16] Hal ini dikarenakan suami telah memberi mahar dalam pernikahan serta memberi nafkah sehari-hari terhadap keluarganya. Dalam hal ini Syekh Nawawi Al-Bantany mengutip firman Allah dalam surat an-Nisa (4) : 34:

Î4. . . àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 . . . ÇÌÍÈ  
                       Artinya : “. . .Wanita-wanita yang saleh ialah yang taat dan melakukan pemeliharaan, ketika suaminya tidak ada, dengan pemeliharaan Allah. . .” (QS. An-Nisa (4) : 34.

b) Seorang isteri haruslah menetap di dalam rumah. Dan termasuk dosa besar bila seorang isteri keluar rumah tanpa izin suaminya, sekalipun dengan alasan bertakziyah untuk orang tuanya.

       Hal ini didasarkan pada sebuah hadis:

وَ اَ يُمَا ا مْرَا ة خَرَجَتْ منْ دَارْهَا بغَيْر ادْن زَوْ جهَا لعَنَتهَا الملا ئكَهُ حَتَي تَرْجعَ.
                       Artinya : “Dan wanita yang keluar rumah tanpa izin suaminya, maka ia dilaknat oleh para malaikat hingga ia kembali.”

c) Menutup anggota badannya dari penglihatan laki-laki,[17] Syekh Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn juga mensyarahkan bahwasanya isteri juga wajib menutup wajah dan telapak tangannya dari penglihatan laki-laki lain. Menurutnya, wajah dan telapak tangan itu haram, baik dengan syahwat atau tidak. Ia juga menyebut hadis :

لكُل ابْن أَدَ مَ حَظُ منَ الزَ نَا, فَا لعَيْنَا ن وَ ز نَا هُمَا ا لنَظَرُ , وَاليَدَان تَزْ نيَ ن وَزنَا هُمَا ا لْبطْشُ , وَالَرَ جُلَا ن تَزْ نيَا ن وَز نَا هُمَا المْشُي, وَ الفَمُ يَز نى وَزهُ الْقُبْلة, وَالْقَلْبُ يَهمَ أَوْ يَتَمَلَى, وَيَصْدُ قُ دَ الكَ الفَرْ ج أ وْ يَكْدبُهُ. نَا

Artinya : “Setiap anak Adam memiliki bagian zina. Dua mata berzina, dan zina keduanya adalah memandang. Kedua tangan berzina, dan zina keduanya adalah memukul. Kedua kaki berzina dan keduanya adalah berjalan (pada kejahatan). Mulut juga berzina, zina mulut adalah mencium. Sedangkan zina hati adalah bercita-cita dan mengharapkan perkara yang tidak halal, lalu kemaluannya membenarkan atau mendustakan hal itu (untuk berbuat atau meninggalkannya).

E.  Corak Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany

Syekh Nawawi Al-Bantany dalam berbagi uraian pemikiran banyak mengemukakan ayat-ayat Alquran, sunnah dan pemikiran salaf al-salih[18] baik masa klasik maupun abad pertengahan dalam memperkuat pendapatnya.

Syekh Nawawi Al-Bantany juga mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunnya yang dianggap relevan dengan situasi sekarang secara turun temurun, dikatakan relevan[19] karena menurutnya hasil pemikiran itu selalu terbuka untuk dikritrik bahkan ditinggalkan.[20]

Corak pemikirannya, menekankan pada pemberian Syarh dan hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya, namun ada keberanian mengkritisi atau mengubah dan mengembangkan substansi materi pemikiran para pendahulunya sehingga ia membangun pemikirannya sendiri. Dengan adanya perluasan pengembangan bahkan berbeda dengan yang di Syarh dan yang di hasyiyah, apalagi dikuatkan dengan karya monumental dan orisinilnya yakni tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzir al-Musfir an Wujuh Mahasin at-Ta’wih, juga dikenal dengan Marah Labid li Kasyf Ma’na Qur’an Majid yang bukan Syarh ataupun hasyiyah.

Hal-Hal yang mewarnai pemikiran pendidikannya paling tidak ada empat yaitu: 1) perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada abad klasik, abad pertengahan dan abad modern; 2) latar belakang pendidikan keagamaan dan penguasaannya, ilmu keagamaannya yang sangat mumpuni; 3) prinsip-prinsip ajaran madzhab (Syafi’i) dan tarekat (Qadiriyah-Naqsabandiyah) yang dianutnya, dan 4) para mu’allim, para guru-guru yang mendidik dan membentuk kepribadiannya.

Dalam bidang fiqih Syekh Nawawi al-Bantany mengikuti mazhab imam Syafii. Melalui karya-karya fikihnya, diantaranya ‘Uqud al-Lujayn, Syarh Safinat an-Naja, Syarah Sullam at-Taufiq, Kasyifat as-Shija’, dan lain sebagainya.

Mengenai Ijtihad dan taklid, ia berpendapat bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak ialah Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hambali. Bagi mereka haram bertaklid itu, sedangkan orang-orang selain mereka, baik sebagai mujtahid fi al-mazhab, mujtahid al-mufti, maupun orang-orang awam/masyarakat biasa, wajib taklid kepada salah satu mazhab dari mujtahid mutlak.[21]

Adapun menurut penulis, hal yang demikian malah  mengakibatkan adanya faham bahwa pintu Ijtihad telah tertutup, karena yang disebut mujtahid mutlak hanya mengacu kepada empat mazhab itu saja dan selebihnya tidak dikategorikan sebagai mujtahid mutlak, dan diwajibkan bertaklid bagi masyarakat awam.

F.   Metode Istinbat Syekh Nawawi al-Bantany

Metode Istinbat yang digunakan Syekh Nawawi al-Bantany dalam menggali suatu hukum Islam dikenal dengan istilah Ta’liq wa Takhrij karena beliau memang seorang tokoh ahli hadis.

1.    Ta’liq

Ta'liq yang berasal dari kata 'allaqa - yu'alliqu - ta'liqan, yang bermakna mengaitkan, menggantungkan, mensyaratkan dan seterusnya. Jadi di dalam metode Istinbat al-ahkam yang digunakan Syekh Nawawi al-Bantany, yaitu  mengaitkan atau bersandar kepada pendapat para ulama dengan memberikan suatu syarah terhadap kitab-kitab yang telah ada sebelumnya.

2.    Takhrij

Kata takhrij secara bahasa (etimologis) mempunyai arti: إجتماع أمرين متضادين في شيئ واحد  , Artinya: berhimpun dua hal yang saling bertentangan dalam satu sesuatu.[22] Secara istilah (terminologis), yaitu mengeluarkan suatu hadits dari sumber-sumbernya, berikut memberikan hukum atasnya, atau Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Jadi di dalam metode istinbat beliau, menggunakan metode takhrij dalam perumusan hukum islam.



G. Pengaruh Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantany dalam Hukum Islam

Setelah beliau menghasilkan berbagai macam karya, tentunya juga banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan hukum islam, terhadap dunia islam termasuk juga di Indonesia.

Karya-karya Syekh Nawawi Al-Bantany tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Syekh Nawawi Al-Bantany dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Syekh Nawawi Al-Bantany diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Syekh Nawawi Al-Bantany sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Syekh Nawawi Al-Bantany memang mendominasi kurikulum Pesantren.[23]

Penulis mengemukakan pula dalam penyebaran untuk memperkenalkan Kitab-kitab Syekh Nawawi al-Bantany, ada beberapa tokoh yang tidak lepas pengaruhnya diantaranya K.H Hasyim Asy’ari, Syekh K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Abdul karim.

Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Syekh Nawawi Al-Bantany sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany.
Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual dari generasi pelanjut Syekh Nawawi al-Bantany ini lambat laun bergeser masuk dalam bidang politik. Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren membentuk sebuah komite yang disebut dengan “Komite Hijaz” yang terdiri dari 11 ulama pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, seorang kiai produk perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasi dengan raja Saudi yang akan memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis secara intens organisasi ini kemudian mengalami perubahan nama dari Nahdlatul Wathan sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa Syekh Nawawi Al-Bantany merupakan sosok ulama yang menjadi berpengaruh dalam tradisi keintelektualan NU.[24]

Karena pemikirannya merupakan memiliki kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang gerakan pemurnian dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya perumusan manhaj al-Fikr tawaran Syekh Nawawi Al-Bantany banyak diuraikan kembali oleh para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya.[25] Bahkan tidak berlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut dari arus pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Syekh Nawawi Al-Bantany dilahirkan pada tahun 1814 M//1230 H di Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara, Adapun karya beliau banyak sekali karena beliau merupakan penulis yang sangat produktif ada sekitar 115 (seratus lima belas) buah kitab lahir dari tangannya.
Adapun karya beliau dalam berbagai karya memberikan kontribusi terhadap dunia pendidikan terutama pendidikan pesantren yang hingga saat ini menjadi rujukan utama, tidak terlepas pula hukum Islam/fikih yang merupakan hasil karya beliau. Diantaranya : Al-‘Iqd at-Thamrin, Fath al-Mujib, Kasyifat as-Shija’, Maraqi al-Ubudiyyah, Mirqat Su’ud at-Tashdiq, Nihayat az-Zayn, Qut ‘al-Habib al-Gharib, Suluk al-Munajat, Suluk al-Jadda, Uqud al-Lujayn fi Bayan al-Huquq az-Zawjayn.
Hal-Hal yang mewarnai corak pemikirannya ada empat yaitu: 1) perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada abad klasik, abad pertengahan dan abad modern; 2) latar belakang pendidikan keagamaan dan penguasaannya, ilmu keagamaannya yang sangat mumpuni; 3) prinsip-prinsip ajaran madzhab (Syafii) dan tarekat (Qadiriyah-Naqsabandiyah) yang dianutnya, dan 4) para mu’allim, para guru-guru yang mendidik dan membentuk kepribadiannya.
Beliau pula penganut mazhab Syafii, dapat dilihat dari berbagai karya-karya kitab fikihnya, ‘Uqud al-Lujayn, Syarh Safinat an-Naja, Syarah Sullam at-Taufiq, Kasyifat as-Shija’, dan lain sebagainya.
Metode istinbat yang lazim beliau pergunakan dalam hukum islam, Alqur’an, Sunnah, Ijma’,Qiyas, dan Urf.
Pemikiran beliau pun memberikan andil besar dalam penyebaran hukum Islam, bukan hanya di Indonesia pada khususnya, tetapi juga terhadap belahan dunia islam.

B.  Kritik dan Saran

Dengan perkembangan pada zaman sekarang ini yang begitu pesat dalam dunia teknologi, ditambah dengan semakin dimudahkannya akses berbagai ilmu pengetahuan, sehingga berdampak positif untuk terus menggali berbagai macam ilmu pengetahuan, tidak hentinya pula kita mempelajari Perkembangan Pemikiran Hukum Islam karena dengan hal tersebut kita dapat mengetahui berbagai perkembangan dari masa Nabi Muhammad Saw, Masa Sahabat, Tabiit Tabiin, dan hingga masa sekarang.
Marilah kita terus mempelajari Perkembangan Pemikiran Hukum Islam, bukan karena hanya sekedar mata kuliah, akan tetapi marilah kita niatkan untuk pengembangan potensi diri dan bahkan tidak menutup kemungkinan dapat memberikan sumbangan terhadap dunia keilmuan, karena menuntut ilmu itu hukumnya wajib  sampai kita keliang lahat.


[1]Munir Amin Samsul, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi Al Bantani, Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2009, h. 1.
[2]Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Alquran, Jakarta : Teraju, 2004.
[3]Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syekh Nawawi Al Bantani Indonesia, Jakarta : Sarana Utama, 1978, h. 95.
[4]Ibid.
[5]Batavia adalah nama kota Jakarta pada masa kekuasaan kolonial di Indonesia. Orang Indonesia saat itu menyebutnya Betawi. Sejarahnya berawal dari tahun 1611, ketika orang Belanda berhasil membangun sebuah pos perdagangan di Jayakarta sebagai penghormatan terhadap leluhurnya, yakni suku bangsa Bataaf atau batavier, orang Belanda memberi nama pos perdagangan ini Batavia, Lihat : Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 3 (Jakarta : PT Delta Pamungkar, 1997), h. 204.
[6]Ibid. h. 24.
[7]Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syekh Nawawi Al Bantani Indonesia, Jakarta : Sarana Utama, 1978, h. 32.
[8]Muhammad Kasthalani, Skripsi; Relasi Jender Menurut Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany, STAIN Palangka Raya, 2005, h. 29.
[9]Ibid., h. 31-32.              
[10]Ibid., h. 32. Retorika adalah seni keterampilan adalah seni keterampilan berbicara atau berpidato yang efektif, dengan tujuan mempengaruhi khalayak pendengar secara persuasif. Lihat : Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 14, Jakarta : PT Delta Pamungkar, 1997, h. 188.
[11]Muhammad Kasthalani, Skripsi; Relasi Jender Menurut Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany, STAIN Palangka Raya, 2005, h. 32.
[12]Lihat: pada alamat website, http://perpushalwany.blogspot.com/2009/05/syekh-muhammad-nawawi-al-jawi-al.html, diunduh pada tanggal 20 Maret 2012.
[13]Ibid.
[14]Urf adalah apa yang biasa dijalankan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan perkataan lain, ialah adat kebiasaan. Lihat : Hanafie, Usul Fiqh, (Djakarta : Widjaya, 1971),  h. 154-155.
[15]Muhammad Kasthalani, Skripsi; Relasi Jender Menurut Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany, STAIN Palangka Raya, 2005, h. 86.
[16]Ibid., h. 86.
[17]Ibid.
[18]Salaf adalah orang yang terdahulu, dan salih adalah ulama-ulama terdahulu yang sholeh. (Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia).
[19]Relevan adalah bersangkut-paut; berguna secara langsung (Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia).
[20]Lihat: Moh. Afiful Khoir, Konsep Pendidikan Islam Syekh Nawawi al-Banteni, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008, h. 8.
[21]Ensiklopedi Islam, Jilid 4, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtia Baru Van Hoeve, 1997, h. 24.
[22]Lihat: Sukardi, Makalah Diskusi pada Jurusan Tafsir Hadis STAI Persis: Bandung, 2007, h. 1.
[23]Lihat: pada alamat website, http://salikiin.blogspot.com/2012/03/syaikh-nawawi.html, di unduh pada tanggal 20 Maret 2012.
[24]Ibid.
[25]Konferensi adalah rapat atau pertemuan untuk berunding atau bertukar pendapat mengenai suatu masalah yang dihadapi bersama, (Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar