BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nama Syekh Nawawi Al-Bantany sudah tidak asing lagi bagi
dunia Islam terutama dalam lingkungan ulama-ulama Syafi’iyah, karena beliau
memiliki intelektual yang sangat produktif, karya nyata beliau dalam hal menulis
kitab banyak sekali, meliputi fikih, tauhid, tasawwuf, tafsir, dan hadis.
Jumlahnya tidak kurang dari 115 kitab. Melalui karya-karyanya yang tersebar di
pesantren-pesantren sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten
ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat Islam melalui karyanya yang
selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu.
Syekh Nawawi Al-Bantany termasuk ulama tradisional besar
yang telah memberikan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan ilmu fikih
di Indonesia. Ia memperkenalkan dan menjelaskan , melalui syarah (komentar)
kitab terdahulu yang ia tulis untuk mendidik generasi sesudahnya dalam hal
memberikan pengajaran.
Kehadiran
makalah ini diharapkan menambah pengetahuan para pembaca, terutama untuk
membantu mahasiswa/i dalam mempelajari perkembangan pemikiran hukum islam,
yaitu seorang tokoh yang sangat disegani dalam dunia Islam yaitu: Syekh Nawawi Al-Bantany, terkait mengenai; biografi,
karya-karya fikih, gambaran kitab karya-karya fikih, pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn, corak
pemikiran, metode istinbat al-Ahkam dan pengaruh pemikiran
beliau dalam Hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
Untuk
lebih memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis terlebih dahulu membuat
rumusan masalah. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana
Biografi Syekh Nawawi Al-Bantany?
2.
Apa saja
Karya-karya Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany?
3.
Bagaimana Gambaran Kitab
Karya-karya Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany?
4.
Bagaimana Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn?
5.
Bagaimana Corak Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany?
6.
Apa saja Metode Istinbat al-Ahkam
yang digunakan Syekh Nawawi Al-Bantany?
7.
Bagaimana
Pengaruh Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantany dalam Hukum Islam?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
yang ingin penulis capai dalam penulisan makalah ini, antara lain.
1.
Agar pembaca
mengetahui dan memahami Biografi Syekh
Nawawi Al-Bantany.
2. Agar pembaca mengetahui dan memahami Karya-karya Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany.
3. Agar pembaca mengetahui dan memahami Gambaran Kitab Karya-karya Fikih Syekh
Nawawi Al-Bantany.
4. Agar pembaca mengetahui dan memahami Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn.
5. Agar pembaca mengetahui dan memahami Corak Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany.
6. Agar pembaca mengetahui dan memahami Metode Istinbat yang
dipergunakan Syekh Nawawi Al-Bantany.
7. Agar pembaca mengetahui dan memahami Pengaruh
Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantany dalam Hukum Islam.
D. Batasan Masalah
Mengingat
begitu luasnya hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah diatas maka
penulis membatasi pembahasan ini hanya sesuai dengan rumusan masalah. Adapun hal lain yang tidak berhubungan dengan hal diatas tidak
penulis uraikan pada makalah ini.
E. Metode
Penulisan
Adapun metode
penulisan yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode research library dengan menggunakan buku perpustakaan dan dari situs
Internet sebagai bahan referensi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Syekh Nawawi Al-Bantany
1.
Kelahiran
Pada
1230 H, bertepatan dengan 1814 M di Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Banten bagian
utara, lahir seorang laki-laki bernama Nawawi,[1] Nama
lengkap Nawawi adalah Abu Abd al-Mu’thi Muhammad Ibn ‘Umar at-Tanara al-Jawi al-Bantany.
Di kalangan
nusantara dikenal dengan nama Syekh Nawawi Banten,[2]
dan di kalangan keluarga dengan sebutan Abu Abdul Mu’thiy. Nawawi meninggal
dunia di Mekah pada tanggal 25 Syawal 1340/1897 M.[3] Bapaknya
bernama KH Umar bin Arabi, seorang penghulu dan ulama di Tanara, Banten. Ibunya
Jubaidah, penduduk asli Tanara. Ia tertua dari empat saudara laki-laki, Ahmad
Syihabbuddin, Said, Tamim, Abdullah dan dua saudara perempuan. Syakila dan
Syahriya. Dari silsilah keturunan ayahnya, Nawawi merupakan salah satu
keturunan Maulana Hasanuddin (Sultan Hasanuddin), putra Maulana Syarif
Hidayatullah, satu dari sembilan ulama walisongo yang menyebarkan Islam di jawa.
Pada
umur lima belas tahun, Nawawi berangkat ke Mekah dan menetap disana. Selama
mukim di Mekah, Nawawi tinggal di lingkungan syi’ib Ali,[4]
di mana banyak orang setanah airnya
menetap. Pemukiman ini terletak kira-kira 500 meter dari Masjidilharam.
Rumahnya bersebelahan dengan rumah Syekh Arsyad dari Batavia[5]
dan Syekh Syukur ‘Alwan dan Madrasah Darul Ulum.
Ketenaran beliau di Makkah
membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz
adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh
Keluarga Saud).[6]
Beliau mempunyai dua isteri,
Nasimah dan Hamdanah. Dari Nasimah dilahirkan : Maryam, Nafisah dan Ruqayyah.
Dari isteri kedua, Hamdanah Cuma satu anak perempuan bernama Zahro. Dari
seluruh penelitian yang ada, tidak diketahui kalau Nawawi mempunyai anak
laki-laki dari kedua isterinya.[7]
2. Pendidikan
Semenjak kecil Syekh Nawawi Al-Bantany memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah
memahami pelajaran yang sudah diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Syekh
Nawawi Al-Bantany banyak memberikan Pertanyaan-pertanyaan
kepada ayahnya yang membuat ayahnya bingung karena kekritisannya. Melihat
potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah
mengirimkannya ke berbagai Pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat
bimbingan langsung dari ayahnya (yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan
Tanara), kemudian berguru kepada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada
Kyai Yusuf, Purwakarta.
Syekh Nawawi telah mengajar banyak
orang. Pada usia beliau yang belum mencapai 15 tahun, Sampai kemudian karena
karomahnya yang telah banyak menarik perhatian dalam usia yang semuda itu,
beliau mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar
murid-muridnya yang semakin hari bertambah banyak. Pada usia 15 tahun beliau
menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekkah, seperti
Syekh Khâtib As-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamîd
Daghestani, Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Syekh Ahmad Zaini
Dahlan, Syekh Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Junaid Al-Betawi.
Guru yang paling berpengaruh adalah
Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Junaid Al-Betawi dan Syekh Ahmad Dimyati,
ulama terkemuka di Mekkah. Lewat ketiga Syekh inilah karakter beliau terbentuk.
Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam
pikirannya, yaitu Syekh Muhammad Khâtib dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan, ulama
besar di Madinah.[8]
B. Karya-karya
Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany
Syekh Nawawi Al-Bantany,
tokoh yang menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Mekah, dikenal sebagai
salah satu ulama yang berpengaruh besar dalam perkembangan Islam di kepulauan
Melayu-Indonesia. Ketokohannya terletak, antara lain, pada fakta bahwa ia
memberikan sumbangan besar bagi
pembentukan Islam dengan corak tertentu di Nusantara. Banyak ulama di Indonesia
di akhir abad sembilan belas dan awal abad dua puluh menjadi murid Syekh Nawawi
Al-Bantany selama mereka menuntut ilmu keislaman di Mekah atau setidaknya
terpengaruh olehnya melalui pembacaan karya-karyanya. Karya-karya Syekh Nawawi
Al-Bantany yang luas dipergunakan di kurikulum pesantren pada zaman sekarang
ini menjadi bukti lain atas peranan pentingnya dalam kesarjanaan di Nusantara.
Sebagai seorang
ulama, Syekh Nawawi Al-Bantany terbilang yang sangat produktif mengarang kitab.
Ia mulai sudah menulis ketika sudah menetap di Mekah setelah tidak betah dengan
Belanda sebagai pengabdi Intelektual. Menurut beberapa orang yang meneliti
karya-karya beliau, ada sekitar 115 (seratus lima belas) buah kitab lahir dari
tangannya. Namun ada pula yang menyebutkan 99 (sembilan puluh sembilan) buah
kitab, yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu agama.[9]
Produktifitasnya dalam menulis kitab memang hampir-hampir tak terbendung.
Seorang murid Syekh Nawawi Al-Bantany bernama Syekh Abdus Satar ad-Dahlawi
menceritakan, salah satu keistimewaan Syekh Nawawi Al-Bantany kemampuan
mengarang kitab sambil mengajar. Ketika dia mengajar para murid-muridnya,
ditengah-tengah itu pula beliau menuliskan karya-karyanya. Puluhan sampai
ratusan kitab yang lahir dari tangannya itu juga terdiri dari beragam dan
kajian pembahasan.
Menurut Brockelmann seperti yang dikutip
Asep dalam bukunya Yahudi dan Nasrani dalam Al-quran, Karya Syekh Nawawi
Al-Bantany meliputi delapan cabang utama ilmu keislaman, yakni tafsir, hadis,
fikih, ushuluddin, tasawuf, biografi Nabi, tata bahasa Arab, dan retorika.[10]
Adapun
karya-karya fikih Syekh Nawawi Al-Bantany diantaranya :
1. Karya-karya Fikih
a.
Al-‘Iqd at-Thamrin, 1296/1878,
Al-Wahhabiyah, sebuah penjelasan atas 601 pertanyaan karya Ahmad bin Muhammad
Zahid, yang diubah dalam bentuk oleh sejawatnya, Mustafa bin Ustman al-Jawi
al-Qaruti dengan judul Fath al-Mubin;
b.
Fath al-Mujib, 1276/1859,
Bulaq, komentar atas Al-Manaqib al-Hajj karya Muhammad bin Muhammad
al-Shirbini al-Khatib;
c. Kasyifat
as-Shija’, 1292/1875,
komentar atas Al-Safinat al-Naja karya Salim bin samir dari Shihr; Sullamu at-Taufiq yang ditulis oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (wafat 1272 H/ 1855
M).
d.
Maraqi al-Ubudiyyah, 1287/1873, Dar
al-Ihya al-Kutub al-Arabiyya, komentar atas Bidayat al-Hidayah karya
Al-Ghazali;
e.
Mirqat Su’ud at-Tashdiq, 1292/1875,
(tp), komentar atas Sullam at-Tawfiq ila Mahabbat Allah ‘ala at-Tahqiq
karya Abdullah al-Ba’lawi;
f.
Nihayat az-Zayn, 1297/1897,
Al-Wahhabiyah, anotasi atas Qurrat al-‘Ayn bi Muhimmat ad-Din karya
Zainuddin Abd al-Aziz al-Malibari;
g.
Qut ‘al-Habib al-Gharib, judul lain bagi At-Tawsih,
1301/1833, (tp), anotasi atas Fath al-Qarib karya Muhammad bin Qasim
al-Ghazzi, karya komentar atas At-Taqrib karangan Abu Shuja’al-Isfahani;
h.
Suluk al-Munajat, 1297/1897,
Bulaq, komentar atas Al-Safinat as-Sala karangan Abdullah bin Yahya
al-Hadhrami;
i.
Suluk al-Jadda, 1300/1882,
Al-Wahhabiyyah;
j.
‘Uqud al-Lujayn fi Bayan al-Huquq
az-Zawjayn, 1296/1878,
Kairo: Al-Wahhabiyyah, kitab singkat tentang kewajiban suami isteri.[11]
C. Gambaran
Kitab Karya-karya Fikih Syekh Nawawi Al-Bantany
1.
‘Uqud
Al-Lujayn
Secara umum
kitab ‘Uqud al-Lujayn yang ditulis sekitar 2 (dua) abad yang lalu (1294
H), merupakan buah hasil karya dari Syekh Nawawi Al-Bantany yang tidak jauh
berbeda dengan kitab-kitab fikih yang membahas tentang hak dan kewajiban suami
isteri yang ditulis oleh ulama mayoritas bermazhab Syafi’i.
Untuk mengetahui
bagaimana konsep pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud
al-Lujayn agaknya perlu untuk melihat bagaimana kerangka dari kitab ‘Uqud
al-Lujayn tersebut, yaitu kitab ‘Uqud al-Lujayn terdiri hanya satu jilid
(buku) saja, terdiri dari 22 (dua puluh dua) halaman, dan empat bab serta
penutup. Kitab ini menggunakan bahasa Arab, dan sistematika dari kitab ‘Uqud
al-Lujayn itu adalah sebagai berikut:
Bab pertama,
menerangkan kewajiban-kewajiban suami terhadap isteri yang wajib dipenuhi. Bab
kedua, menerangkan kewajiban-kewajiban isteri terhadap suami yang wajib
dipenuhi oleh isteri. Bab ketiga, menerangkan tentang keutamaan shalatnya
seorang isteri di dalam rumahnya sendiri. Bab keempat, menerangkan haramnya
seorang pria memandang wanita lain (bukan mahram) atau sebaliknya. Termasuk
kategori laki-laki di sini adalah anak laki-laki yang beranjak dewasa (remaja).
Penutup, dijelaskannya mengenai hal ihwal kaum perempuan modern, paling tidak
pada zaman ketika beliau masih hidup.
2.
Kasyifat as-Shija’
Kitab selanjutnya yang dikarang oleh Syekh
Nawawi Al-Bantany adalah Kasyifat as-Shija’, juga merupakan kitab yang sangat
terkenal.
Kitab
Kasyifah al-Saja adalah syarah atas kitab Safinat al-Naja fi
Ushul al-Din wa al-Fiqh, sebuah buku kecil karya al-Syeikh Salim ibn Sumair
al-Hadrami. Uraian fikih dalam buku kecil ini dinyatakan oleh penulisnya
adalah dalam mazhab Imam al-Syafi'i. Meskpun disebutkan oleh penulisnya,
kitab kecil ini berisi uraian tentang ushuluddin dan fikih, namun ternyata
dalam isi-nya jauh lebih banyak bidang fikhnya. Bahasan dalam kitab ini
dipilah-pilah pada bentuk-bentuk fasal, yang meliputi 66 fasal; hanya 2 fasal
yang pertama yang berisi uraian bidang ushul al-din, yaitu tentang jumlah rukun
Islam, rukun Iman, dan makna kalimat tahlil. Selebihnya, yaitu 63 fasal,
adalah bidang fikih, yang dimulai dengan tanda-tanda kedewasaan (baligh), dan
diakhiri dengan uraian tentang puasa.[12]
3.
Maraqi al-'Ubudiyyah
Al-Ghazali
menulis kitab yang diberi nama Bidayat al-Hidayat.[13] Kitab
ini berisi petunjuk-petunjuk praktis tentang amalan ibadah, menghindari
maksiat, dan hubungan baik. Corak petunjuk-petunjuk itu lebih bersifat tata
krama, oleh karena itu, kitab ini bisa dimasukkan pada kategori kitab
akhlak. Kemudian kitab tersebut disyarahi oleh Syekh Nawawi Al-Bantany, Karena ada syarah, maka kitab Bidayat
al-Hidayat disebut kitab matan. Kitab syarah tersebut kemudian diberi nama
dengan Maraqi al-'Ubudiyat.
D. Pemikiran Syekh
Nawawi Al-Bantany dalam Kitab ‘Uqud al-Lujayn
1.
Tentang Kewajiban suami
a). Menurut Syekh Nawawi Al-Bantany dalam Kitab ‘Uqud al-Lujayn seorang
suami wajib bergaul dengan isterinya secara baik dan patut, bertutur kata baik,
dan bisa membahagiakannya. Contoh hal itu seperti berhias untuk sang isteri.
Berhias merupakan perbuatan utuk memperindah diri supaya orang lain tertarik
dan senang melihatnya. Dalam hal ini Syekh Nawawi Al-Bantany mengutip firman Allah dalam surat an-Nisa (4)
: 19 :
4. . .
£`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ÇÊÒÈ. . .
Artinya : “. . .dan pergaulilah
wanita-wanita (isteri-isterimu) dengan baik. . .” (QS. An-Nisa (4) : 19).
b).
Memberi nafkah, suami wajib memenuhi sandang dan pangan kepada isteri. Dalam
menanggung nafkah sehari-hari ini suami dituntut menunaikannya sesuai dengan
kemampuan dan usahanya. Artinya suami tidak memaksakan diri dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan isteri tersebut di luarkemampuannya. Hal ini menurutnya
sebagaimana hadis Nabi saw :
حَقُ الْمرْاة
عَلَى الزَوْج اَنْ يُطْعمَهَا ا دَا اَطْعَمَ وَ يَكْسُوْ هَا ادَا ا كْتَسَى وَ
لَا يَضْر ب الْوَجْهَ وَلاَ يُقْبَحْ وَلاَ يَهْجُرْ الاَفى البَيْت.
Artinya : “Kewajiban suami terhadap
isteri adalah memberikan sandang dan pangan seperti yang ia peroleh, selain itu
dilarang memukul wajah, menjelek-jelekkannya, dan dilarang menghindarinya
kecuali di rumah.
Dalam hal tanggungan nafkah, pemikiran Syekh Nawawi
Al-Bantany tidak ada
perbedaan tentang wajibnya nafkah dengan pemikiran ulama lainnya. Yang ada
hanya tentang besarnya nafkah. Dan dalam hal besarnya nafkah, menurutnya tidak
ada jumlah tertentu untuk kadar nafkah bagi keluarga. Ini kembali kepada
kondisi masing-masing dan adat kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat
atau apa yang diistilahkan oleh Alquran dan sunnah dengan urf[14]
yang tentu saja dapat berbeda antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain.
c) Mengajari isteri dalam masalah agama.[15] Salah
satunya ibadah wajib dan sunnah yang terdiri dari salat, zakat, puasa, haji dan
sebagainya. Seorang isteri menurut Syekh Nawawi Al-Bantany, wajib menetap di rumah dan tidak boleh pergi kemana-mana. Apabila suami dapat
mengajarkan isterinya, maka isteri tidak boleh keluar rumah untuk bertanya
kepada ulama. Jika suami tidak dapat mengajar isteri karena ketidaktahuan yang
disebabkan sedikitnya ilmu yang dimiliki, maka sebagai gantinya dialah yang
harus bertanya kepada ulama, lalu menerangkan jawaban orang yang memberi fatwa
itu kepada isterinya, dan isterinya tidak boleh keluar rumah. Jika suami tidak
sanggup bertanya kepada ulama maka isteri, boleh keluar untuk bertanya bahkan
hukumnya wajib, dan suami berdosa kalau melarangnya. Jika isteri telah mengetahui
tentang kewajiban-kewajiban maka ia tidak boleh keluar mendatangi majlis taklim
kecuali dengan izin dari ridha suaminya.
2.
Tentang kewajiban isteri
a). Syekh Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud al-Lujayn menyatakan
bahwasanya seorang isteri dalam keadaan bagaimanapun wajib taat kepada suaminya
kecuali dalam perkara maksiat.[16] Hal ini
dikarenakan suami telah memberi mahar dalam pernikahan serta memberi nafkah
sehari-hari terhadap keluarganya. Dalam hal ini Syekh Nawawi Al-Bantany mengutip firman Allah dalam surat an-Nisa (4)
: 34:
Î4. . . àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4
. . .
ÇÌÍÈ
Artinya : “. . .Wanita-wanita yang
saleh ialah yang taat dan melakukan pemeliharaan, ketika suaminya tidak ada,
dengan pemeliharaan Allah. . .” (QS. An-Nisa (4) : 34.
b) Seorang isteri haruslah menetap di dalam
rumah. Dan termasuk dosa besar bila seorang isteri keluar rumah tanpa izin
suaminya, sekalipun dengan alasan bertakziyah untuk orang tuanya.
Hal
ini didasarkan pada sebuah hadis:
وَ اَ يُمَا ا
مْرَا ة خَرَجَتْ منْ دَارْهَا بغَيْر ادْن زَوْ جهَا لعَنَتهَا الملا ئكَهُ حَتَي
تَرْجعَ.
Artinya : “Dan wanita yang keluar rumah
tanpa izin suaminya, maka ia dilaknat oleh para malaikat hingga ia kembali.”
c) Menutup anggota badannya dari penglihatan
laki-laki,[17]
Syekh
Nawawi Al-Bantany dalam kitab ‘Uqud
al-Lujayn juga mensyarahkan bahwasanya isteri juga wajib menutup wajah dan
telapak tangannya dari penglihatan laki-laki lain. Menurutnya, wajah dan
telapak tangan itu haram, baik dengan syahwat atau tidak. Ia juga menyebut
hadis :
لكُل ابْن أَدَ
مَ حَظُ منَ الزَ نَا, فَا لعَيْنَا ن وَ ز نَا هُمَا ا لنَظَرُ , وَاليَدَان تَزْ
نيَ ن وَزنَا هُمَا ا لْبطْشُ , وَالَرَ جُلَا ن تَزْ نيَا ن وَز نَا هُمَا
المْشُي, وَ الفَمُ يَز نى وَزهُ الْقُبْلة, وَالْقَلْبُ يَهمَ أَوْ يَتَمَلَى,
وَيَصْدُ قُ دَ الكَ الفَرْ ج أ وْ يَكْدبُهُ.
نَا
Artinya : “Setiap anak Adam memiliki bagian
zina. Dua mata berzina, dan zina keduanya adalah memandang. Kedua tangan
berzina, dan zina keduanya adalah memukul. Kedua kaki berzina dan keduanya
adalah berjalan (pada kejahatan). Mulut juga berzina, zina mulut adalah
mencium. Sedangkan zina hati adalah bercita-cita dan mengharapkan perkara yang
tidak halal, lalu kemaluannya membenarkan atau mendustakan hal itu (untuk
berbuat atau meninggalkannya).
E. Corak Pemikiran
Syekh
Nawawi Al-Bantany
Syekh Nawawi Al-Bantany dalam berbagi
uraian pemikiran banyak mengemukakan ayat-ayat Alquran, sunnah dan pemikiran
salaf al-salih[18]
baik masa klasik maupun abad pertengahan dalam memperkuat pendapatnya.
Syekh
Nawawi Al-Bantany juga mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai dan
pemikiran para pendahulunnya yang dianggap relevan dengan situasi sekarang
secara turun temurun, dikatakan relevan[19]
karena menurutnya hasil pemikiran itu selalu terbuka untuk dikritrik bahkan
ditinggalkan.[20]
Corak pemikirannya, menekankan pada
pemberian Syarh dan hasyiyah terhadap pemikiran pendahulunya, namun ada
keberanian mengkritisi atau mengubah dan mengembangkan substansi materi pemikiran
para pendahulunya sehingga ia membangun pemikirannya sendiri. Dengan adanya
perluasan pengembangan bahkan berbeda dengan yang di Syarh dan yang di
hasyiyah, apalagi dikuatkan dengan karya monumental dan orisinilnya yakni
tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzir al-Musfir an Wujuh Mahasin at-Ta’wih,
juga dikenal dengan Marah Labid li Kasyf Ma’na Qur’an Majid yang bukan
Syarh ataupun hasyiyah.
Hal-Hal yang mewarnai pemikiran
pendidikannya paling tidak ada empat yaitu: 1) perkembangan pemikiran
pendidikan Islam pada abad klasik, abad pertengahan dan abad modern; 2) latar
belakang pendidikan keagamaan dan penguasaannya, ilmu keagamaannya yang sangat
mumpuni; 3) prinsip-prinsip ajaran madzhab (Syafi’i) dan tarekat (Qadiriyah-Naqsabandiyah) yang dianutnya, dan 4) para mu’allim,
para guru-guru yang mendidik dan membentuk kepribadiannya.
Dalam bidang fiqih Syekh Nawawi
al-Bantany mengikuti mazhab imam Syafii. Melalui karya-karya fikihnya,
diantaranya ‘Uqud al-Lujayn, Syarh Safinat an-Naja, Syarah Sullam at-Taufiq,
Kasyifat as-Shija’, dan lain sebagainya.
Mengenai
Ijtihad dan taklid, ia berpendapat bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak
ialah Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hambali. Bagi mereka haram
bertaklid itu, sedangkan orang-orang selain mereka, baik sebagai mujtahid fi
al-mazhab, mujtahid al-mufti, maupun orang-orang awam/masyarakat biasa, wajib
taklid kepada salah satu mazhab dari mujtahid mutlak.[21]
Adapun menurut penulis, hal yang demikian
malah mengakibatkan adanya faham bahwa pintu
Ijtihad telah tertutup, karena yang disebut mujtahid mutlak hanya mengacu
kepada empat mazhab itu saja dan selebihnya tidak dikategorikan sebagai
mujtahid mutlak, dan diwajibkan bertaklid bagi masyarakat awam.
F.
Metode Istinbat
Syekh Nawawi al-Bantany
Metode Istinbat yang digunakan Syekh
Nawawi al-Bantany dalam menggali suatu hukum Islam dikenal dengan istilah
Ta’liq wa Takhrij karena beliau memang seorang tokoh ahli hadis.
1.
Ta’liq
Ta'liq yang berasal dari kata 'allaqa
- yu'alliqu - ta'liqan, yang bermakna mengaitkan, menggantungkan,
mensyaratkan dan seterusnya. Jadi di dalam metode Istinbat al-ahkam yang
digunakan Syekh Nawawi al-Bantany, yaitu
mengaitkan atau bersandar kepada pendapat para ulama dengan memberikan
suatu syarah terhadap kitab-kitab yang telah ada sebelumnya.
2.
Takhrij
Kata takhrij secara bahasa (etimologis)
mempunyai arti: إجتماع
أمرين متضادين في شيئ واحد ,
Artinya: berhimpun dua hal yang saling bertentangan dalam satu sesuatu.[22]
Secara istilah (terminologis), yaitu mengeluarkan suatu hadits dari
sumber-sumbernya, berikut memberikan hukum atasnya, atau Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits
pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan
menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Jadi di dalam metode istinbat
beliau, menggunakan metode takhrij dalam perumusan hukum islam.
G.
Pengaruh Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantany dalam Hukum Islam
Setelah
beliau menghasilkan berbagai macam karya, tentunya juga banyak memberikan
pengaruh terhadap perkembangan hukum islam, terhadap dunia islam termasuk juga
di Indonesia.
Karya-karya Syekh Nawawi
Al-Bantany tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di
Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Syekh Nawawi
Al-Bantany dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan
Thailand. Karya Syekh
Nawawi Al-Bantany diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao
(Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di
Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama
di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu
Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan
di Malaysia, mengajar karya-karya Syekh Nawawi Al-Bantany sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di
Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah
meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang
tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Syekh Nawawi Al-Bantany memang mendominasi kurikulum Pesantren.[23]
Penulis mengemukakan pula dalam penyebaran
untuk memperkenalkan Kitab-kitab Syekh Nawawi al-Bantany, ada beberapa tokoh
yang tidak lepas pengaruhnya diantaranya K.H Hasyim Asy’ari, Syekh K.H. Kholil
Bangkalan Madura, dan Syekh Abdul karim.
Mereka di berbagai
pesantren merupakan ujung tombak dalam keilmuan tradisional Islam. Para kiai
didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan
karya-karya Syekh
Nawawi Al-Bantany sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Syekh Nawawi
Al-Bantany.
Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual
dari generasi pelanjut Syekh Nawawi al-Bantany ini lambat laun bergeser masuk dalam bidang politik. Ketika
kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan
Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren
membentuk sebuah komite yang disebut dengan “Komite Hijaz” yang
terdiri dari 11 ulama pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab
Hasbullah dari Jombang Jatim, seorang kiai produk perguruan
Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasi dengan raja Saudi yang akan
memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan
bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini
kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam
wilayah politik praktis secara intens organisasi ini kemudian mengalami
perubahan nama dari Nahdlatul Wathan sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU). Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa Syekh Nawawi Al-Bantany merupakan sosok ulama yang menjadi berpengaruh dalam tradisi
keintelektualan NU.[24]
Karena pemikirannya merupakan memiliki kecenderungan
pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang gerakan pemurnian dan pembaharuan.
Kehadiran NU adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran
intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya perumusan manhaj al-Fikr tawaran
Syekh
Nawawi Al-Bantany banyak diuraikan kembali oleh para ulama NU sebagai
garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap
konferensinya.[25]
Bahkan tidak berlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut dari
arus pemikiran Syekh
Nawawi Al-Bantany
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syekh Nawawi Al-Bantany dilahirkan pada tahun 1814 M//1230 H di Desa
Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara, Adapun karya beliau banyak
sekali karena beliau merupakan penulis yang sangat produktif ada sekitar 115
(seratus lima belas) buah kitab lahir dari tangannya.
Adapun karya
beliau dalam berbagai karya memberikan kontribusi terhadap dunia pendidikan
terutama pendidikan pesantren yang hingga saat ini menjadi rujukan utama, tidak
terlepas pula hukum Islam/fikih yang merupakan hasil karya beliau. Diantaranya
: Al-‘Iqd at-Thamrin, Fath al-Mujib, Kasyifat as-Shija’, Maraqi
al-Ubudiyyah, Mirqat Su’ud at-Tashdiq, Nihayat az-Zayn, Qut
‘al-Habib al-Gharib, Suluk al-Munajat, Suluk al-Jadda, Uqud al-Lujayn fi Bayan
al-Huquq az-Zawjayn.
Hal-Hal yang
mewarnai corak pemikirannya ada empat yaitu: 1) perkembangan pemikiran
pendidikan Islam pada abad klasik, abad pertengahan dan abad modern; 2) latar
belakang pendidikan keagamaan dan penguasaannya, ilmu keagamaannya yang sangat
mumpuni; 3) prinsip-prinsip ajaran madzhab (Syafii) dan tarekat (Qadiriyah-Naqsabandiyah) yang dianutnya, dan 4) para mu’allim,
para guru-guru yang mendidik dan membentuk kepribadiannya.
Beliau pula penganut mazhab Syafii,
dapat dilihat dari berbagai karya-karya kitab fikihnya, ‘Uqud al-Lujayn,
Syarh Safinat an-Naja, Syarah Sullam at-Taufiq, Kasyifat as-Shija’, dan
lain sebagainya.
Metode istinbat yang lazim beliau
pergunakan dalam hukum islam, Alqur’an, Sunnah, Ijma’,Qiyas, dan Urf.
Pemikiran beliau pun memberikan andil
besar dalam penyebaran hukum Islam, bukan hanya di Indonesia pada khususnya,
tetapi juga terhadap belahan dunia islam.
B. Kritik dan Saran
Dengan
perkembangan pada zaman sekarang ini yang begitu pesat dalam dunia teknologi,
ditambah dengan semakin dimudahkannya akses berbagai ilmu pengetahuan, sehingga
berdampak positif untuk terus menggali berbagai macam ilmu pengetahuan, tidak
hentinya pula kita mempelajari Perkembangan Pemikiran Hukum Islam karena dengan
hal tersebut kita dapat mengetahui berbagai perkembangan dari masa Nabi
Muhammad Saw, Masa Sahabat, Tabiit Tabiin, dan hingga masa sekarang.
Marilah kita
terus mempelajari Perkembangan Pemikiran Hukum Islam, bukan karena hanya
sekedar mata kuliah, akan tetapi marilah kita niatkan untuk pengembangan
potensi diri dan bahkan tidak menutup kemungkinan dapat memberikan sumbangan
terhadap dunia keilmuan, karena menuntut ilmu itu hukumnya wajib sampai kita keliang lahat.
[1]Munir Amin
Samsul, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi Al Bantani,
Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2009, h. 1.
[2]Asep Muhammad
Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Alquran, Jakarta : Teraju, 2004.
[3]Chaidar, Sejarah
Pujangga Islam Syekh Nawawi Al Bantani Indonesia, Jakarta : Sarana Utama,
1978, h. 95.
[5]Batavia adalah
nama kota Jakarta pada masa kekuasaan kolonial di Indonesia. Orang Indonesia
saat itu menyebutnya Betawi. Sejarahnya berawal dari tahun 1611, ketika orang
Belanda berhasil membangun sebuah pos perdagangan di Jayakarta sebagai
penghormatan terhadap leluhurnya, yakni suku bangsa Bataaf atau batavier, orang
Belanda memberi nama pos perdagangan ini Batavia, Lihat : Ensiklopedi
Nasional Indonesia, Jilid 3 (Jakarta : PT Delta Pamungkar, 1997), h. 204.
[7]Chaidar, Sejarah
Pujangga Islam Syekh Nawawi Al Bantani Indonesia, Jakarta : Sarana Utama,
1978, h. 32.
[8]Muhammad Kasthalani, Skripsi; Relasi Jender Menurut Pemikiran Syekh Nawawi
Al-Bantany, STAIN Palangka Raya, 2005, h. 29.
[10]Ibid., h. 32. Retorika adalah seni keterampilan adalah seni
keterampilan berbicara atau berpidato yang efektif, dengan tujuan mempengaruhi
khalayak pendengar secara persuasif. Lihat : Ensiklopedi Nasional
Indonesia, Jilid 14, Jakarta : PT Delta Pamungkar, 1997, h. 188.
[11]Muhammad
Kasthalani, Skripsi; Relasi Jender
Menurut Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany, STAIN Palangka Raya, 2005, h. 32.
[12]Lihat: pada alamat
website, http://perpushalwany.blogspot.com/2009/05/syekh-muhammad-nawawi-al-jawi-al.html, diunduh pada tanggal 20 Maret 2012.
[13]Ibid.
[14]Urf adalah apa
yang biasa dijalankan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan
perkataan lain, ialah adat kebiasaan. Lihat : Hanafie, Usul Fiqh,
(Djakarta : Widjaya, 1971), h. 154-155.
[15]Muhammad
Kasthalani, Skripsi; Relasi Jender
Menurut Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantany, STAIN Palangka Raya, 2005, h.
86.
[17]Ibid.
[18]Salaf adalah orang
yang terdahulu, dan salih adalah ulama-ulama terdahulu yang sholeh. (Lihat:
Kamus Besar Bahasa Indonesia).
[20]Lihat: Moh. Afiful Khoir, Konsep
Pendidikan Islam Syekh Nawawi al-Banteni, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2008, h. 8.
[21]Ensiklopedi
Islam,
Jilid 4, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtia Baru Van Hoeve,
1997, h. 24.
[23]Lihat:
pada alamat website, http://salikiin.blogspot.com/2012/03/syaikh-nawawi.html, di unduh pada tanggal 20 Maret 2012.
[24]Ibid.
[25]Konferensi adalah rapat
atau pertemuan untuk berunding atau bertukar pendapat mengenai suatu masalah
yang dihadapi bersama, (Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar