Kata Imamah
berakar dari kata umma, yaummu yang berarti pemimpin, orangnya
disebut imam, yang berarti pemimpin. Jadi, kata imamah berarti kepemimpinan.
Menurut Ali Syari’ati, imamah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner
yang berbeda dengan rezim-rezim politik lainnya, karena tujuannya membimbing
manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi kebenaran dan kekuatan yang
akan mengarahkan manusia menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian dalam
mengambil keputusan.[1]
Kata Imam
lebih banyak digunakan untuk orang yang membawa kebaikan. Di samping itu di
dalam kepustakaan Islam sering dibedakan antara imam yang berkedudukan sebagai
kepala negara atau yang memimpin umat Islam dan imam dalam arti yang
mengimami shalat. Untuk yang pertama sering digunakan istilah al-Imamah
al-Udhum atau al-Imamah al-Kubra sedangkan untuk yang kedua sering
disebut al-Imamah Shugra. Biasanya, kata-kata imam hanya digunakan untuk
menyebut seseorang yang memimpin di dalam bidang agama.[2]
Al-Mawardi
berpendapat Imam adalah suatu kedudukan/jabatan yang diadakan untuk mengganti
tugas kenabian di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.[3]
Berdasarkan paparan
di atas dapat ditarik benang merah, bahwa Imamah yang dimaksud adalah
kepemimpinan umat Islam, yang dalam literatur Islam terbagi kedalam dua hal,
pertama Orang yang berkedudukan sebagai kepala negara dan orang yang mengimami
shalat.
Apabila dilihat
dalam konteks sejarah, banyak pendapat berbagai golongan dalam memaknai Imam
atau pemimpin, di antaranya Khawarij, Syiah, Sunni dan Mu’tazilah. Dari segi
wajib tidak menjadi Imam, pengangkatannya, syarat-syaratnya dan berbagai
pelaksanaannya. Hal tersebut tidak ada keseragaman antara satu dengan yang
lain, karena mempunyai argumen tersendiri. Seperti masalah perlu tidaknya
Imamah dalam suatu masyarakat. Seperti pandangan firqoh-firqoh berikut:
1. Khawarij, bukanlah suatu keharusan atau wajib. Hal ini tergantung kepada kehendak
umat apakah suatu pemerintahan perlu dibentuk atau tidak.
2. Sunni, keharusan adanya kepala Negara dan pemerintahan
itu sendiri guna mencegah kekacauan.
3. Syiah, keharusan adanya kepala Negara dan pemerintahan,
karena menurut Ja’fariyah (Imamiyah Itsna Asyariyah). Imama adalah salah satu
rukun agama, dan pada setiap masa harus ada Imam.
Mu’tazilah, pembentukan khalifah atau pemerintah/imamah tidak wajib berdasarkan syara, melainkan atas dasar pertimbangan
rasio dan tuntutan muamalah manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar