Sabtu, 04 Januari 2014

Konsep Imamah dan Daulah



Kata Imamah berakar dari kata umma, yaummu yang berarti pemimpin, orangnya disebut imam, yang berarti pemimpin. Jadi, kata imamah berarti kepemimpinan. Menurut Ali Syari’ati, imamah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang berbeda dengan rezim-rezim politik lainnya, karena tujuannya membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi kebenaran dan kekuatan yang akan mengarahkan manusia menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan.[1]
Kata Imam lebih banyak digunakan untuk orang yang membawa kebaikan. Di samping itu di dalam kepustakaan Islam sering dibedakan antara imam yang berkedudukan sebagai kepala negara atau yang memimpin umat Islam dan imam dalam arti yang mengimami shalat. Untuk yang pertama sering digunakan istilah al-Imamah al-Udhum atau al-Imamah al-Kubra sedangkan untuk yang kedua sering disebut al-Imamah Shugra. Biasanya, kata-kata imam hanya digunakan untuk menyebut seseorang yang memimpin di dalam bidang agama.[2]
Al-Mawardi berpendapat Imam adalah suatu kedudukan/jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian di dalam memelihara agama dan mengendalikan dunia.[3]
Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik benang merah, bahwa Imamah yang dimaksud adalah kepemimpinan umat Islam, yang dalam literatur Islam terbagi kedalam dua hal, pertama Orang yang berkedudukan sebagai kepala negara dan orang yang mengimami shalat.
Apabila dilihat dalam konteks sejarah, banyak pendapat berbagai golongan dalam memaknai Imam atau pemimpin, di antaranya Khawarij, Syiah, Sunni dan Mu’tazilah. Dari segi wajib tidak menjadi Imam, pengangkatannya, syarat-syaratnya dan berbagai pelaksanaannya. Hal tersebut tidak ada keseragaman antara satu dengan yang lain, karena mempunyai argumen tersendiri. Seperti masalah perlu tidaknya Imamah dalam suatu masyarakat. Seperti pandangan firqoh-firqoh berikut:
1.   Khawarij, bukanlah suatu keharusan atau wajib. Hal ini tergantung kepada kehendak umat apakah suatu pemerintahan perlu dibentuk atau tidak.
2.   Sunni, keharusan adanya kepala Negara dan pemerintahan itu sendiri guna mencegah kekacauan.
3.   Syiah, keharusan adanya kepala Negara dan pemerintahan, karena menurut Ja’fariyah (Imamiyah Itsna Asyariyah). Imama adalah salah satu rukun agama, dan pada setiap masa harus ada Imam.
Mu’tazilah, pembentukan khalifah atau pemerintah/imamah tidak wajib berdasarkan syara, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan muamalah manusia.


[1]Khoirul Anam, Fiqih Siyasahdan Wacana Politik Kontenporer, Yogyakarta: Ide Pustaka, 2009, hlm. 150.
[2]Djazuli,A, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 56.
[3]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar